Perdebatan Atribut Islam Nusantara ala Jokowi

Minggu, 21 Juni 2015 – 05:02 WIB
Perdebatan Atribut Islam Nusantara ala Jokowi. Foto JPNN.com

jpnn.com - ISLAM apakah yang kita peluk sekarang? Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam Jawa, Islam kosmopolitan, Islam liberal, Islam konservatif, atau Islam-Islam lainnya?

Seabrek atribut itu bisa ditempelkan di belakang “Islam” dan, setiap kali atribut tersebut ditempelkan, selalu saja timbul interpretasi bermacam-macam yang bisa menjurus pada debat berkepanjangan.

BACA JUGA: Penentuan Awal Ramadan Kamis, 18 Juni 2015 Berpotensi Bersamaan

Ketika beberapa tahun silam Islam diberi atribut ”liberal”, pro-kontra pun ter sulut seperti api yang memakan rumput ke ring.

Beberapa tahun ber jalan, perde batan itu nyaris tidak meng hasilkan apa-apa, kecuali debat wacana.

BACA JUGA: Dari Bekasi Jam 8 Malam, Jam 7 Pagi Masih di Cikampek

Agenda-agenda yang dilempar aktivis Islam  liberal  tetap  menjadi  wacana, sementara  kelompok-kelompok  yang geregetan ingin memberangus gerakan Islam liberal pelan-pelan menyurut dan nyaris tak terdengar lagi.

Beberapa waktu belakangan ini muncul kembali perdebatan setelah Islam diberi atribut ”Nusantara” oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasti tidak ada yang baru dalam perdebatan tersebut.

BACA JUGA: Tiket KA Online Dinilai Efektif

Itu adalah perdebatan yang berlangsung seumur Republik Indonesia. Sejak para founding fathers kita menggagas dasar negara, perdebatan tersebut mengemuka dalam kemasan yang berbeda.

Islam Nusantara adalah sebuah gagasan akulturasi Islam. Nilai-nilai tertentu dalam Islam ”disesuaikan” dengan budaya  Nusantara.  

Alasannya,  ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya yang terlebih dahulu tumbuh subur.  Karena  itu,  tidak  seharusnya budaya  tersebut  dihilangkan  begitu saja.

Islam yang tumbuh di Nusantara adalah Islam khas Nusantara dengan berbagai pernik budayanya yang berbeda dari Islam yang masuk dari jazirah Arab dengan kultur yang berbeda.

Kubu  lain  meyakini  bahwa  Islam adalah ajaran yang utuh dan komplet sekaligus murni. Tidak boleh ada tambahan pernik-pernik budaya atau nilai lokal yang akan menodai kemurnian Islam yang berfondasi tauhid.

Sejarah mencatat, Islam diterima secara  luas  di  tanah  Jawa  karena strategi  dakwah  yang  menekankan pada akulturasi budaya. Yang terjadi kemudian  adalah  perpaduan  antara tradisi Hindu-Buddha dengan tradisi baru Islam.

Sering tradisi-tradisi itu bisa menyatu, tetapi sering juga tidak berkesesuaian sehingga menimbulkan pertentangan berkepanjangan. Tradisi tahlil adalah salah satu contoh proyek akulturasi  yang  sampai  sekarang membelah para pemeluk Islam menjadi dua kutub yang berseberangan.

Clifford Geertz dalam Agama Jawa menyebut tiga aliran, santri, abangan, dan priyayi. Santri adalah kelompok yang lebih puritan dalam menyelenggarakan agama. Abangan adalah kelompok Islam Nusantara yang akulturatif.

Priyayi adalah kelompok elite sosial yang dalam tradisi agama lebih dekat ke kelompok abangan. Studi tersebut tetap relevan sampai sekarang.  

Definisi  Islam  Nusantara ala Jokowi memang belum jelas betul. Secara umum, maksudnya adalah Islam  yang  lebih  toleran  pada  tradisi Nusantara yang dalam hal ini harus dibaca sebagai Jawa.

Mau tidak mau, Islam Nusantara adalah Islam yang dicap sebagai sinkretis karena penerimaannya  terhadap unsur-unsur budaya Jawa yang kental dengan warna Hindu dan Buddha.

Dalam  prinsip  tauhid,  tentu  saja sinkretisme tidak diberi tempat. Pemurnian  akidah  menjadi  hal  yang mutlak. Dikotomi antara sinkretis dan tauhid  tidak  akan  mudah  dikikis.

Yang penting adalah bagaimana keduanya bisa saling menghormati. Islam Nusantara ala Jokowi adalah Islam yang toleran, tidak hanya terhadap rembesan budaya, tetapi juga toleran terhadap iman yang lain sehingga Islam tetap harus bisa menerima kebhinekaan sebagai bagian dari sunnatullah.

Sudah jelas, Islam adalah rahmatan lilalamin,  rahmat  bagi  seluruh alam. Itulah tantangan bagi umat Islam.  Yakni,  bagaimana  umat  Islam bisa  menempatkan  dirinya  sebagai sumber  rahmat  bagi  seluruh  alam.

Ketika menjadi minoritas, Islam harus menunjukkan   penghormatannya kepada yang mayoritas. Ketika menjadi mayoritas, Islam harus bisa mengayomi kelompok minoritas. Dengan begitu, Islam akan bisa menampilkan wajah  sebagai  sumber  kebahagiaan bagi semesta alam. (opi/awa/jpnn)


Dhimam Abror Djurai
Ketua Harian KONI Jatim

BACA ARTIKEL LAINNYA... H-4 ASDP Seberangkan 46.980 Pemudik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler