JAKARTA - Peredaran obat di Indonesia ternyata sudah melewati ambang batas normal. Tercatat, sebanyak 15 ribu jenis obat beredar di pasaran. Ironisnya sebagian besar didominasi obat yang tidak bermanfaat.
"Di luar negeri 3000-4000 obat yang beredar dan itu sudah cukup untuk mengatasi segala jenis penyakit. Di Indonesia malah 15 ribu, angka yang sangat besar," kata Ketua Lembaga Kajian Kesehatan dan Pembangunan (LKKP) Amir Hamzah Pane kepada wartawan di Jakarta, Jumat (27/1).
Jika pemerintah tidak mengubah sistem yang ada, Amir memprediksikan, akan bertambah lagi jumlahnya sehingga menyulitkan pengawasan. "Sistem harus secepatnya diperbaiki, misalnya melalui pembatasan jenis obat yang tidak bermanfaat," ucapnya.
Mengenai penetapan harga obat-obatan yang masih dalam perlindungan paten, menurut dia bersifat sentralistis. Dalam artian ditentukan principal, contohnya Pfizer. Sedangkan distributor untuk merek Norvask dan Tensivask, yakni Anugerah Argon Medica, tidak punya kewenangan untuk menetapkan harga.
Menyinggung kasus Pfizer dan Dexa yang digugat KPPU melakukan kartel, Amir memastikan kalau hampir semua perusahaan farmasi yang punya ikatan antara principal dan subsidiary, melakukan hal sama. Sehingga kalau seandainya Pfizer dan Dexa dituduh melakukan kartel, maka hampir semua perusahaan harusnya juga kena tuduhan tersebut.
"Kenapa terjadi perbedaan harga satu negara dengan negara yang lain? Karena sentralistis itu Pfizer menetapkan kalau harga di Indonesia beda dengan negara lain, seperti region India dan Brazil misalnya, dimana di negara tersebut mendapatkan subsidi silang. Dexa tidak bisa menentukan seenaknya harga obat, karena merek Norvask itu juga ada di pasar internasional, di mana masing-masing region punya pricing strategy yang berbeda. Nah kalau mereka membuat komitmen seperti itu, kok dibilang kartel?," bebernya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Potensi Perikanan Belum Tergarap Maksimal
Redaktur : Tim Redaksi