jpnn.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan peluang Indonesia untuk masuk ke jurang resesi sangat kecil, hanya 3 persen.
Perekonomian Indonesia tetap kuat ditopang oleh indikator makro yang positif dan ditopang ekonomi domestik.
BACA JUGA: Kabar Resesi Ekonomi Amerika Bikin Rupiah Hari Ini Bertaji, Ganas!
Berdasarkan leading indicator CEIC seperti keuangan moneter, pasar tenaga kerja, dan industri, perekonomian Indonesia masih diperkirakan menguat. Bahkan Indonesia berada di bawah indikator 100, sehingga jauh dari sinyal resesi.
Tidak hanya akan minim resiko resesi, dengan berbagai indikator perekonomian yang positif di tengah ancaman krisis global maupun stagflasi, pemerintah optimistis, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan berada pada kisaran 5,3 persen hingga 5,9 persen.
BACA JUGA: Ekonom Indef: Indonesia Kemungkinan Tak Resesi Tahun Ini
“Proyeksi pertumbuhan ekonomi kita di 2022 ini masih optimistis di 5,2 persen dan diharapkan di 2023 kita bisa tingkatkan antara 5,3 persen hingga 5,9 persen,” kata Menko Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini, Rabu (3/8/2022).
Probabilitas Indonesia untuk masuk ke jurang resesi diakui sejumlah ekonom sangat kecil.
BACA JUGA: DPR Apresiasi Jokowi Menggenjot Investasi di Tengah Resesi Global
Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan jika dilihat dari indikator makro ekonomi, kondisi Indonesia lebih baik di antara emerging market lain yang mengalami resesi seperti El salvador, Srilangka, Ghana, yang kondisinya ada tekanan.
“Utang kita ada peningkatan, terutama utang pemerintah, tetapi kita diimbangi windfall profit dari komoditas, ini blessing in disguise di kala negara lain bermasalah, karena kenaikan komoditas kita justru dapat ekstra,” kata David Sumual, Rabu (3/8/2022).
Kekuatan ekonomi domestik adalah penopang perekonomian nasional.
“Kita ekonomi 60% ditopang domestik, saya tidak khawatir ada resesi atau stagflasi global karena domestic economy kita besar sekali. Malah ini kesempatan untuk mendorong substitusi impor. Kalau ada barang yang sulit kita dapat,” ucap David.
Selain itu iklim investasi di Indonesia juga kian menggeliat. Semenjak pandemi, masyarakat mulai terbiasa dengan kebiasaan berinvestasi.
“Saya lihat peranan domestik cukup baik, untuk SBN, perlu pendalaman finansial kepada masyarakat supaya terbiasa untuk investasi di pasar modal,“ kata David.
Meski begitu ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menjaga momentum perekonomian nasional tetap positif, yaitu menjaga inflasi dan daya beli masyarakat, likuiditas valas juga stok pangan.
“Pasokan pangan dalam negeri, karena kita lihat harga pupuk meningkat ada kekhawatiran cuaca ada perkiraan banyak ahli bahwa kita akan masuk ke El Nino, karena tahun ini basah, tahun depan biasanya sekarang lebih kering. Pangan terutama beras harus bisa diperhatikan,” tegas David.
Hal senada diungkapkan Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata mengatakan, kemungkinan Indonesia mengalami resesi di 2023 hanya 2 persen.
“Indonesia kemungkinan resesi tahun 2023 hanya 2% dengan metode markov switching dynamic model. Hal tersebut karena perekonomian indonesia ditopang sangat kuat oleh permintaan domestik. Selain itu pasar financial dan valas indonesia cenderung robust dari gejolak eksternal dibandingkan masa lalu,” ujar Anton.
Komoditas Beras
Pakar pertanian dari IPB University Dwi Andreas Santosa mengungkap tidak ada persoalan terkait stok komoditas pangan domestik. Ia mengaku tidak melihat adanya indikasi kelangkaan atau kekurangan stok. Meski demikian, ia menekankan agar menjaga komoditas beras.
Peneliti CORE (Center of Reform on Economics) itu juga mengungkap pemerintah juga harus memperhatikan nasib dan kesejahteraan petani. Jika harga terlalu rendah, petani akan akan sangat menderita.
"Itu yang perlu menjadi fokus perhatian pemerintah. Jangan fokus terlalu kuat ke upaya menurunkan inflasi pangan. Lihat sajalah produsen pangan di Indonesia seperti apa nasibnya," tambahnya.
Dia juga menekankan agar mewaspadai produksi beras nasional yang kini mendapati tren penurunan. Hal itu didasarkan kondisi dua tahun terakhir.
Menurut dia, produksi padi seharusnya bisa melonjak tinggi karena adanya fenomena La Nina yang mendukung peningkatan produksi padi. Padahal, selama 20 tahun terakhir, La Nina selalu membuat produksi padi melonjak.(fri/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari