Perempuan Afghanistan Dibikin Buta Gegara Punya Pekerjaan, Ayahnya Malah Membantu Pelaku

Rabu, 11 November 2020 – 05:49 WIB
Kelas khusus perempuan di Afghanistan. Foto: AP

jpnn.com, KABUL - Hal terakhir yang dilihat Khatera, 33 tahun, adalah tiga pria dengan sepeda motor yang menyerangnya, tepat setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di sebuah kantor polisi di Provinsi Ghazni di Afghanistan tengah.

Para pria itu menembaki dan menusuk matanya dengan pisau. Ketika ia bangun di rumah sakit, semuanya gelap.

BACA JUGA: Amerika Serikat Akui Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian di Afghanistan

"Saya bertanya kepada dokter, mengapa saya tidak bisa melihat apa-apa? Mereka mengatakan kepada saya bahwa mata saya masih diperban karena luka. Tapi saat itu, saya tahu mata saya telah diambil," katanya.

Dia dan otoritas lokal menyalahkan militan Taliban yang melakukan serangan itu dan mengatakan para penyerang bertindak atas petunjuk dari ayahnya, yang secara keras menentang dia bekerja di luar rumah. Taliban menyangkal terlibat dalam serangan tersebut.

BACA JUGA: Waduh, Afghanistan Setuju Bebaskan 400 Anggota Taliban Paling Berbahaya

Bagi Khatera, serangan itu tidak hanya menyebabkan penglihatannya hilang, tetapi juga ia kehilangan impian yang telah ia perjuangkan, yaitu untuk memiliki karier mandiri. Ia beberapa bulan lalu bergabung dengan kepolisian Ghazni sebagai petugas di divisi kejahatan.

"Saya berharap saya pernah bertugas di kepolisian setidaknya satu tahun. Jika ini terjadi pada saya setelah itu, itu akan tidak terlalu menyakitkan. Ini terjadi terlalu cepat. Saya baru bekerja dan mewujudkan impian saya selama tiga bulan," katanya kepada Reuters.

BACA JUGA: Menlu Retno Marsudi: Kepentingan Rakyat Afghanistan Harus Diutamakan

Menurut para aktivis hak asasi manusia, werangan terhadap Khatera, yang hanya menggunakan satu nama, menunjukkan kecenderungan yang berkembang menyangkut reaksi yang intens dan sering kali kekerasan terhadap perempuan yang bekerja, terutama dalam peran publik. Dalam kasus Khatera, menjadi polisi juga bisa membuat geram Taliban.

Para aktivis HAM meyakini bahwa peningkatan kekerasan itu merupakan campuran norma-norma sosial konservatif Afghanistan, dan Taliban yang semakin berani dan mendapatkan pengaruh pada saat Amerika Serikat menarik pasukannya dari negara itu.

Taliban saat ini sedang bernegosiasi di Doha, Qatar, dengan pemerintah Afghanistan untuk berupaya membuat kesepakatan damai.

Banyak pihak memperkirakan Taliban akan secara resmi kembali berkuasa, tetapi proses perundingan berjalan lambat. Selain itu, telah terjadi peningkatan pertempuran dan serangan terhadap para pejabat dan wanita terkemuka di Afghanistan.

"Meskipun situasi perempuan Afghanistan dalam peran publik selalu berada dalam bahaya, lonjakan kekerasan baru-baru ini di seluruh negeri telah memperburuk keadaan," kata Samira Hamidi, juru kampanye Amnesty International Afghanistan.

"Langkah-langkah besar menyangkut hak-hak perempuan di Afghanistan selama lebih dari satu dekade tidak boleh menjadi korban dari kesepakatan damai apa pun dengan Taliban."

Impian Khatera sebagai seorang anak adalah bekerja di luar rumah. Setelah bertahun-tahun berusaha meyakinkan ayahnya, tetapi tidak berhasil, ia mendapatkan dukungan dari suaminya.

Tapi ayahnya, katanya, tidak menyerah untuk menentang keinginan putrinya.

"Sering kali, saat saya pergi bertugas, saya melihat ayah saya mengikuti saya, dia mulai menghubungi Taliban di daerah sekitar dan meminta mereka untuk mencegah saya pergi ke tempat saya bekerja," katanya.

Khatera mengatakan ayahnya memberi salinan kartu identitasnya kepada Taliban, untuk membuktikan bahwa putrinya bekerja untuk polisi.

Juru bicara kepolisian Ghazni mengonfirmasi bahwa mereka yakin Taliban berada di balik serangan itu dan bahwa ayah Khatera telah ditahan. Reuters tidak dapat menghubungi ayah Khatera secara langsung untuk meminta komentar.

Seorang juru bicara Taliban mengatakan kelompok itu mengetahui kasus tersebut, tetapi itu adalah masalah keluarga dan mereka tidak terlibat.

Khatera dan keluarganya, termasuk lima anaknya, sekarang bersembunyi di Kabul, tempat ia memulihkan diri dan berduka atas kehilangan kariernya.

Ia sulit tidur, melompat ketika ia mendengar suara sepeda motor. Ia juga terpaksa memutuskan kontak dengan keluarga besarnya, termasuk ibunya, yang menyalahkan Khatera atas penangkapan ayahnya.

Khatera sangat berharap seorang dokter di luar negeri, entah bagaimana caranya, bisa memulihkan sebagian penglihatannya.

"Jika memungkinkan, saya bisa melihat lagi, saya akan melanjutkan pekerjaan saya dan bertugas di kepolisian lagi," katanya.

Khatera menambahkan bahwa ia membutuhkan penghasilan untuk menghindari kemiskinan. "Tapi alasan utamanya adalah hasrat saya untuk bekerja di luar rumah." (ant/dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler