Di antara kasus itu, 82 persen atau 924 kasus adalah kasus cerai gugat (istri menceraikan suami, red). Sementara, sisanya 18 persen atau 371 kasus yaitu cerai talak, dimana suami yang menceraikan istri.
Panitera Muda Hukum dan Petugas Informasi Kantor Pengadilan Agama Klas 1B Kota Bogor, Mumu mengatakan, faktor ekonomi dan kesiapan pasangan suami istri dalam berumah tangga melatarbelakangi perceraian.
“Pernikahan itu karena kesepakatan, pernikahan yang terburu-buru, hasilnya tentu berujung kepada perceraian. Apalagi, dengan kondisi suami yang tidak mempunyai pekerjaan, membuat potensi perceraian menggelembung,” ujarnya kepada Radar Bogor (Grup JPNN), Sabtu (2/3).
Dia menjelaskan, selain masalah ekonomi, faktor orang ketiga juga mendominasi. “Hanya dalam skala kecil, diduga ada pria idaman lain (PIL), atau kesenjangan dalam rumah tangga,” ujarnya.
Dalam hukum perkawinan, kata dia, wanita tidak dibebankan mencari nafkah. Sehingga, seorang suami harus siap dan bertanggung jawab, karena itu adalah keharusan. “Dari pihak kami sendiri, sebelum masuk pada perkara, kami akan melakukan mediasi, yang akan dipimpin oleh mediator untuk mencegah perceraian,” ungkapnya.
Untuk kasus kekerasan rumah tangga (KDRT), kata dia, jumlahnya sangat sedikit. “Biasanya mereka menggunakan jalur hukum, yaitu langsung melapor ke kepolisian,” katanya.(cr6)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kafein Perlu Diatur Seperti Rokok dan Alkohol
Redaktur : Tim Redaksi