jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menuturkan dalam melaksanakan tugas konstitusional MPR, khususnya dalam membangun wawasan kebangsaan.
Pemilihan seni budaya, semisal wayang, sebagai salah satu metode pemasyarakatan nilai-nilai kebangsaan. Tidak hanya dipertimbangkan dari sisi daya jangkau audiens yang sangat luas, tetapi juga dari banyaknya nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
"Kami bersyukur, bahwa pemerintah memiliki sikap keberpihakan dan kepedulian yang sama untuk melestarikan kesenian wayang kulit. Melalui Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan telah menetapkan tanggal 7 November sebagai Hari Wayang Nasional," ujar Bamsoet saat membuka Pagelaran Wayang Kulit dalam rangka peringatan dan tasyakuran hari jadi MPR RI yang ke-78, menampilkan kisah 'Semar Boyong' semalam suntuk oleh dalang Ki Purbo Asmoro di Komplek Parlemen, Jumat (25/8) malam.
"Bahkan di level internasional, UNESCO sejak tanggal 7 November 2003 telah menetapkan wayang kulit sebagai mahakarya kebudayaan di bidang cerita narasi, serta warisan budaya yang indah dan bernilai tinggi," sambungnya.
BACA JUGA: Bamsoet: Rapat Konsultasi Bersepakat Bahas Surat Pergantian Wakil Ketua MPR RI dari Unsur DPD RI
Dia menjelaskan, kisah 'Semar Boyong' menggambarkan ketika dunia terguncang oleh huru-hara, kedamaian terkoyak oleh nafsu angkara, sosok Semar kemudian mengemuka.
Semar yang kharismatik dan bersahaja, dipandang sebagai tokoh kunci yang akan menghadirkan kedamaian.
BACA JUGA: Selamat, Sekretariat Jenderal MPR RI Borong 4 Penghargaan BKN Award 2023
"Kisah Semar Boyong adalah satir kehidupan, betapa keteladanan yang disimbolkan oleh sosok Semar, saat ini menjadi sebuah barang langka, sehingga harus diperebutkan," kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila itu menilai, secara kasat mata, Semar bukanlah sosok yang 'indah' dipandang mata.
Semar sudahlah tua, tambun dan bungkuk. Namun, jika dilihat lebih dalam, ternyata begitu banyak makna filosofis yang dapat digali dari penggambaran sosok Semar.
Rambut kuncung penuh uban, mencerminkan kematangan dan kedewasaan dalam pemikiran, sikap, dan perilaku.
Mata yang sayu adalah simbol kepekaan untuk menangkap keprihatinan dalam realitas sosial, serta empati terhadap penderitaan sesama.
Hidung sunthi (membulat kecil) melambangkan ketajaman dalam mencium tanda-tanda zaman.
"Anting cabai merah di telinga, mengisyaratkan kesediaan untuk mendengarkan masukan, nasehat, dan kritikan, meskipun itu terasa pedas," urai Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI itu menambahkan, pagelaran wayang adalah aktualisasi seni budaya yang syarat makna.
Sebuah tontonan yang dapat dijadikan tuntunan. Dari penggambaran karakter dan narasi alur cerita yang disajikan, banyak benang merah yang dapat dipadankan relevansinya dan dirujuk kontekstualitasnya.
"Kami dapat mengambil hikmah dari lakon Semar Boyong, bahwa permusuhan dan pertikaian, apapun alasannya, tidak pernah menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Meskipun setiap menjelang pemilu, suhu politik biasanya semakin memanas, tidak boleh menjadikan pemilu 2024 sebagai arena permusuhan yang mengakibatkan perpecahan," pungkas Bamsoet. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bamsoet Dukung Gagasan Megawati Soekarnoputri Soal Reposisi MPR RI
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian