Perjalanan Mencintai Indonesia

Jumat, 03 Mei 2013 – 15:16 WIB
HUBUNGAN percintaan saya dengan Indonesia berawal dari Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden Indonesia tahun 2004. Dalam rangka meliput pemilu, saya mulai bepergian ke seluruh nusantara.

Tidak ada yang bisa menggairahkan perasaan suka cita saya melebihi saat saya tiba di suatu kota atau desa yang belum saya ketahui, lihat dan kunjungi sebelumnya.

Sepuluh tahun lalu saya melangkahkan kaki ke penjuru nusantara masih bersifat coba-coba, dan saya mengawalinya dari Bali. Saya benar-benar tidak tahu apa yang bisa saya harapkan karena Bahasa Indonesia ala saya masih bercampur dengan bahasa Malaysia yang masih terdapat kekurangan di sana-sini.

Saya memulai perjalanan ke sejumlah kota seperti Yogyakarta atau Jakarta. Dengan ketidaktahuan saya akan siapapun dan ditambah dengan kekurangfasihan Bahasa Indonesia, saya mulai mengasah rasa kepekaan saya dengan melihat apa yang diinginkan oleh orang-orang terhadap pemimpin-pemimpin mereka.

Lalu, saat percaya diri saya mulai tumbuh, saya berani bepergian lebih jauh lagi seperti Medan dan Bukit Tinggi – menjelajah dataran tinggi Sumatra Barat ibarat “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”, saya bisa melakukan riset dan tak lupa untuk bersenang-senang juga. Saya berkulineri, melahap makanan dalam waktu singkat dan menemukan Bircher Muesli versi Minang, fermentasi susu kerbau yang dicampur dengan gula aren dan ketan putih atau biasa disebut Ampiang Dadiah.

Sampai tahap ini, niat dasar jurnalistik saya berangsur-angsur terlupakan saat saya mulai merambah dan lebih ambisius untuk mencapai Surabaya dan bahkan Balikpapan.

Ada saat-saat di mana saya sejenak tidak meliput perjalanan kampanye – saat saya menyadari bahwa kehadiran politisi lebih banyak menghambat daripada membantu – dan mencari subyek wawancara untuk berbincang tentang kehidupan dan mimpi mereka.

Sama seperti ketika saya melakukan perjalanan yang sangat menakjubkan, yaitu sore hari berkendara dari Malang ke Blitar untuk menghadiri peringatan besar Soekarno, saat itu pemilu telah berakhir dan Presiden baru Indonesia terpilih adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pada saat itu, Indonesia sedang menyesuaikan dengan pemimpin barunya, dan saya sedang enggan dipaksa untuk fokus pada hal-hal membosankan seperti kebijakan ekonomi dan persoalan bisnis. Selalu ada kesempatan untuk bepergian dan tentu saja saya menangkapnya dengan cekatan, selama bepergian itu tidak terstruktur dan bersifat intuitif.

Untungnya, lima tahun periode pertama SBY berlalu begitu cepat, sehingga memungkinkan saya untuk bersiap-siap menyusun perjalanan monumental kedua saat kampanye pemilihan SBY di depan mata.

Sambil memperbaiki Bahasa Indonesia saya pada tahun-tahun sebelumnya dan tahun 2009 saat itu, saya tahu bahwa saya siap menyambut perjalanan yang melibatkan diri saya untuk terjun langsung ke lapangan.

Termasuk ketika saya mengemudi dari Surabaya ke Denpasar dan Yogyakarta ke Jakarta, saya berhenti di kota-kota kecil dan desa-desa utuk menjumpai para petani, guru-guru sekolah dan pedagang-pedagang pasar.

Dengan melakukan hal-hal seperti itu, saya bisa mengalami secara langsung perubahan apa yang terjadi di seluruh Jawa setelah SBY memimpin, ketika orang-orang yang saya temui ini bisa melihat mata pencaharian mereka berangsur membaik, dan hal itu memungkinkan mereka untuk membangun atau merenovasi rumah mereka, membeli sepeda motor dan mobil sebagai tanda taraf kehidupan mereka berubah dan sebagainya.

Selanjutnya, saya mulai berani merambah medan yang lebih jauh dan sulit lagi. Saya sedang melompat naik turun dari kapal feri menuju Pekanbaru dan kota yang kaya akan minyak, Siak Indragiri, lalu mengunjungi Palembang, mengeksplorasi pulau berbatu dan hampir tak dijumpai banyak pohon di Madura dengan pesantren yang menjamur, serta ke Banten Selatan, sebuah wilayah kaum primitif yang agak menakutkan yang terletak tak jauh dari Jakarta.

Sekarang, mendekati tahun 2014, saya disuguhkan prospek menarik dan sekali lagi turun ke lapangan yang ketiga kalinya untuk Pemilu Indonesia.

Kali ini, saya bertekad untuk bisa menuju pulau yang lebih jauh lagi – terutama wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi dan Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Pada saat yang sama, saya juga berniat membawa serta kru kamera saya untuk merekam tempat-tempat dan orang-orang yang saya jumpai nanti.

Hal ini akan memperluas cara saya untuk menceritakan kisah yang sebelumnya hanya saya tuangkan melalui tulisan bisa dinikmati di layar TV dan juga Youtube, sehingga narasi luar biasa yang teradopsi – perjalanan enam belas tahun dari masa otoritarianisme dan hampir kolaps di tahun 1998 – dapat diatur menjadi  dokumenter Indonesia kontemporer yang terkondisi jauh lebih baik dan damai.

Saya yakin ini akan menjadi sesuatu yang hidup dan menarik. SBY sendiri telah mengakui bahwa suhu politik akan meningkat dan meminta politisi untuk menjaga ketenangan – tetapi transisi ke pemerintahan baru tahun depan akan menjadi momen yang sangat penting.

Anda bisa memastikan bahwa saya akan berada di sana untuk mendokumentasikan semuanya!.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menikmati Hidup

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler