jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah dealer otomotif kembali menyuarakan keberatan mereka pada perjanjian eksklusivitas yang diterapkan Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM).
Mereka mendesak pihak terkait untuk melakukan pengawasan agar persaingan sehat dalam industri otomotif berjalan dengan baik.
BACA JUGA: Dorong Penjualan Otomotif Akhir Tahun, Mandiri Utama Finance Dukung GJAW 2024
Sebab, persaingan merupakan faktor penting dalam dunia industri. Tanpa persaingan yang sehat, perkembangan pasar menjadi hal yang mustahil.
Lebih dari itu, persaingan yang tidak sehat rentan melahirkan oligopoli. Fenomena yang sama terjadi juga dalam industri otomotif.
BACA JUGA: KPPU Diminta Memelototi Isu Persaingan Usaha Tak Sehat di Industri Otomotif
Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Aru Amando menegaskan bahwa pihaknya masih akan menelaah lebih lanjut aturan yang dianggap menimbulkan oligopoli tersebut.
“KPPU akan sangat terburu-buru kalau mengatakan ini salah, ini benar, tanpa melihat isi di dalam perjanjiannya itu seperti apa. Kita harus lihat dahulu perjanjiannya,” ujar Aru Amando dalam keterangan tertulis, Selasa (10/12/2024).
BACA JUGA: Pakar Ekonomi Beber Hambatan Perkembangan Industri Otomotif
Sementara itu, Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad mengatakan, bahwa peran KPPU sangat penting dalam menjaga iklim industri yang sehat dan kompetitif.
Maka, langkah-langkah strategis perlu diambil untuk mendobrak praktik oligopoli yang saat ini menghambat perkembangan pemain baru dalam industri otomotif.
"Ya, supaya kompetitif ya. Pertama ya agar investasi di sektor otomotif jauh lebih banyak, pabrikan lebih banyak. Tambatan-tambatan untuk investasi di bidang otomotif ya harus diperluas,” ujar Tauhid.
Hal yang sama diungkapkan Dosen FEB Universitas Indonesia, Mone Stepanus. Dia menyoroti dampak perjanjian eksklusivitas bagi pasar dan industri secara keseluruhan. Salah satu risiko terbesarnya adalah tertutupnya peluang investasi baru.
"Praktik ini menyebabkan stagnasi dalam inovasi produk, serta memperkecil daya saing industri otomotif Indonesia di kancah internasional," katanya.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menganggap asosiasinya tidak punya wewenang untuk ikut membahas isu tersebut.
“Isu yang berkaitan dengan strategi bisnis masing-masing ATPM, termasuk perjanjian eksklusivitas yang mereka terapkan dengan jaringan dealer, di luar lingkup kami,” ungkapnya.
Secara regulasi, perjanjian ekslusivitas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Khususnya, pasal 19 poin (a) dan (d). Di sana tertulis bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan oligopoli atau persaingan usaha tidak sehat berupa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan atau melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Konsultan Hukum Persaingan Usaha sekaligus pendiri Iwant & Co Antimonopoly Counselor, Sutrisno Iwantono, menyebut perlunya campur tangan KPPU dalam polemik perjanjian eksklusivitas. Namun, menurutnya, KPPU selalu kurang responsif terhadap perubahan dinamika pasar yang cepat.
"Kondisi ini menyebabkan mereka sering terlambat dalam mengatasi masalah. Ini tentu membuat penanggulangannya menjadi lebih sulit,” ujar Sutrisno.
Dia juga mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk berani bersuara. Menurut dia, tanpa adanya laporan dari para korban, KPPU akan kesulitan untuk mengidentifikasi kasus dan mengambil tindakan.
"Jika dealer merasa dirugikan, mereka seharusnya tidak ragu untuk melapor. Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga tentang keadilan,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Marketing PT Suzuki Indomobil Sales Donny Saputra membantah adanya perjanjian eksklusivitas atau klausul yang mengarah pada oligopoli antara ATPM dengan distributor. Faktanya tidak ada dealer yang hanya menjual satu merek saja.(ray/jpnn)
Redaktur & Reporter : Budianto Hutahaean