Bagi masyarakat Desa Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Jember, sekolah masih menjadi "barang" mahal. Lokasi desa di kawasan Taman Nasional Meru Betiri membuat siswa yang ingin bersekolah harus menempuh jarak yang cukup jauh dan medan yang sulit. Bahkan, ada yang harus naik kuda untuk sampai ke sekolah.
JUMAI dan RANGGA, Jember
UDARA pagi di pinggir hutan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di Dusun Bandealit, Desa Andongrejo, Kecamatan Tempurejo, Jember, terasa sangat sejuk. Sisa-sisa embun yang masih menempel di daun-daun membuat suasana semakin segar.
Aktivitas pagi itu belum terlalu ramai. Hanya tampak beberapa warga yang hendak bekerja sebagai buruh di Perkebunan Bandealit. Tak jauh dari lokasi kantor perkebunan itu, terlihat anak-anak yang sedang berangkat sekolah. Mereka adalah murid-murid SDN Andongrejo 2 dan SMP Satu Atap Andongrejo.
Wajah-wajah mereka sangat segar dan bersemangat. Padahal, murid-murid tersebut harus menempuh jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki untuk sampai di sekolah. "Antusiasme belajar anak-anak di sini memang cukup tinggi," ujar Moch. Pagi, kepala SMP Satu Atap Andongrejo, Bandealit, Kecamatan Tempurejo, awal pekan lalu.
Meski kebanyakan orang tua murid di tempat itu hanya buruh perkebunan, mereka tetap berusaha menyekolahkan anak-anaknya, minimal pendidikan dasar. Banyak juga yang disekolahkan di ibu kota Kabupaten Jember untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Nah, di antara para siswa yang sedang berjuang menempuh pendidikan itu, ada dua murid yang menarik perhatian. Mereka adalah Moch. Sofyan dan Ahmad Said, siswa SMP Satu Atap Andongrejo. Lantaran jarak rumah dan sekolah yang cukup jauh serta medan yang naik turun perbukitan, mereka terpaksa menggunakan tenaga kuda untuk transportasi berangkat-pulang sekolah. Setiap hari.
Begitu bersemangatnya untuk bersekolah di level yang lebih tinggi, mereka tak mengeluh meski harus menempuh perjalanan 1,5 jam naik kuda. Harus melintasi perbukitan di TNMB yang naik-turun sejauh 8 km. Tak heran bila setiap hari keduanya sampai sekolah dengan baju basah kuyup oleh keringat.
Orang tua Sofyan memang memiliki delapan ekor kuda. Tujuh kuda dimanfaatkan untuk "ojek" di wilayah perkebunan, sedangkan seekor lainnya dipakai Sofyan dan sepupunya, Ahmad Said, untuk alat transportasi ke sekolah. Rumah mereka sebenarnya hanya berbeda dusun dengan sekolah. Rumah Sofyan dan Ahmad berada di Dusun Sumbersalak, sedangkan SMP Satu Atap Andongrejo di Dusun Bandealit. Hanya, dua dusun itu terpisah perbukitan dan hutan yang medannya cukup sulit dilintasi kendaraan bermotor karena penuh bebatuan.
Agar tidak telat masuk sekolah pukul 07.00, setiap hari dua murid tersebut harus berangkat dari rumah pagi-pagi benar. Mereka sudah harus siap berangkat pukul maksimal 05.30. Kalau lebih dari pukul itu, bisa jadi mereka telat sampai sekolah. Sebab, medan perjalanan memang sulit dipakai untuk mengebut naik kuda sekalipun. "Saya harus sudah bangun saat azan Subuh untuk bersiap ke sekolah," ujar Sofyan yang mengaku tidak pernah bolos sekolah.
Selama dalam perjalanan, terkadang mereka menghadapi hambatan yang cukup berarti. Misalnya, hujan deras di tengah perjalanan. Kalau sudah begitu, keduanya harus mencopot baju seragam sekolah serta bertelanjang dada dan kaki. Baju seragam dan sepatu lalu disimpan di kantong plastik yang disiapkan di punggung kuda. "Kalau sudah dekat sekolah, baru pakai seragam lagi," jelas Sofyan yang lahir pada 11 Desember 1998 itu.
Rintangan lainnya adalah medan yang licin serta pohon tumbang di hutan. Karena itu, mereka harus superhati-hati dalam mengendalikan kudanya. Tak jarang mereka harus mencari jalan alternatif agar tetap bisa sampai sekolah. Namun, semua itu dijalani dengan ikhlas dan senang hati karena keduanya memang ingin bersekolah dengan sungguh-sungguh.
Sesampai di dekat sekolah, kuda tak diparkir di halaman sekolah. Mereka menitipkan hewan jinak itu di rumah warga. "Saya malu kepada teman-teman, terutama cewek-cewek," kata Sofyan polos.
Mereka juga sangat jarang mendapat uang saku dari orang tuanya. Sebab, mereka sudah membawa bekal makan dari rumah. Kalau toh bawa uang saku, paling banyak hanya Rp 1.000. "Jajannya kalau dapat uang saku," tutur siswa kelas dua tersebut.
Pulang sekolah juga dilalui dengan penuh perjuangan. Selain medan, terik matahari kadang menyengat. Apalagi, mereka harus menunaikan kewajiban untuk merawat si kuda sebelum sampai rumah. Di antaranya, memandikan, mencarikan pakan, dan memberi minum yang cukup. Tak heran bila mereka tidak pernah pulang tepat waktu.
"Pokoknya, sepulang sekolah, kami harus mencari rumput lebih dulu untuk pakan kuda. Sampai rumah baru sore. Begitu setiap hari," cerita dia.
Sebagai pelajar, mereka juga punya kewajiban belajar saat malam, meski harus memakai penerangan lampu minyak. Listrik belum sampai di dusun yang dihuni 35 kepala keluarga itu. "Dengan penerangan apa pun, yang penting saya bisa belajar dengan baik," tegas Sofyan tanpa pernah mengeluh dengan berbagai keterbatasannya itu.
Sebenarnya, Sofyan ingin bersekolah di kota seperti kakaknya, Bahrul Anam, yang kini kelas tiga SMP di kota kecamatan. Namun, apa daya, orang tuanya yang hanya buruh perkebunan dan ojek kuda tidak memiliki cukup biaya. "Penghasilan orang tua saya tidak memungkinkan menyekolahkan saya ke kota," kata anak ke-9 di antara 12 bersaudara keluarga Niram tersebut.
Meski begitu, semangat Sofyan dan Ahmad diapresiasi pihak sekolah. Kepala SMP Satu Atap Andongrejo Moch. Pagi menyatakan salut atas dua siswanya yang naik kuda ke sekolah. "Semangatnya bersekolah pantas diacungi jempol. Sebab, di kota, banyak anak yang menyia-nyiakan kesempatan sekolah," ungkapnya.
Prestasi Sofyan dan Ahmad juga tidak kalah oleh siswa lainnya. "Memang bukan juara. Tapi, mereka murid yang rajin dan tidak pernah mengeluh karena keterbatasannya," tegas Moch. Pagi. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenang Mendiang Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih
Redaktur : Tim Redaksi