Musibah tenggelamnya perahu imigran gelap dari Timur Tengah di Pantai Prigi, Trenggalek, 17 Desember tahun lalu menyisakan rasa bersalah yang besar bagi Mostafa Mahini. Pasalnya, warga Iran itu mengaku bahwa dirinyalah yang mendorong anaknya untuk pergi ke Australia.
KARDONO SETYORAKHMADI, Surabaya
"I'M not gonna bury my son, but my son is gonna bury me (Saya tak akan mengubur anak saya. Tapi, anak sayalah yang akan mengubur saya, Red). Itulah kata-kata sekaligus keyakinan Mostafa Mahini. Dia amat sedih karena nasib anak keduanya, Mohamad Reza Mahini, masih belum jelas.
Pemuda 17 tahun tersebut termasuk dalam rombongan imigran gelap dari Timur Tengah yang perahunya tenggelam di Pantai Prigi pada 17 Desember 2011. Namun, dalam daftar tentang 152 orang yang ditemukan (103 orang tewas dan 49 orang selamat), nama Mohamad Reza Mahini tidak ada. Belum jelas apakah pemuda tersebut selamat atau hilang di laut dan belum ditemukan.
Itulah yang membuat Mostafa merasa nyaris gila. Selama tiga bulan dia wira-wiri Iran-Indonesia untuk mencari tahu tentang nasib anaknya. Dia yakin bahwa Mohamad masih hidup. Karena itu, Mostafa sampai berani membuat sayembara. Dia menyatakan, yang bisa menemukan anaknya akan diberi hadiah USD 10.000 (sekitar Rp 90 juta).
"Saya ini bapak yang bodoh. Bodoh sekali," ujar Mostafa, kemudian menangis ketika menceritakan kisah pencarian anaknya di kantor redaksi Jawa Pos Graha Pena Surabaya, Selasa (3/4) lalu.
Secara tak langsung, Mostafa mengakui bahwa dirinyalah yang mendorong anaknya untuk pergi ke Australia. Dia tidak menyangka bahwa orang yang dia mintai tolong ternyata sindikat human trafficking internasional.
Kisah sedih tersebut bermula pada pertengahan November 2011. Mostafa dan anaknya pergi ke Thailand untuk kulakan kaus. "Saya memang punya toko garmen di Iran," tutur dia. Di Kota Booshehr (sekitar 1.200 km utara Teheran), Mostafa dan keluarganya hidup berkecukupan. Selain punya toko garmen, keluarga Mostafa menjadi nelayan di Teluk Persia.
Pada 23 November 2011 pasangan bapak-anak tersebut datang ke Jakarta. Tujuannya masih sama, yakni kulakan kaus dan garmen di Jakarta. Secara tak sengaja, Mostafa bertemu dengan seseorang yang mengaku bernama Veramash, juga warga Iran. Veramash menawarkan bahwa mereka bisa pergi ke Australia dengan tarif USD 7.000 (sekitar Rp 65 juta). Janjinya menggunakan penerbangan langsung ke Negeri Kanguru tersebut.
Veramash bilang bahwa masa depan di Australia sangat indah. Gampang dapat pekerjaan dengan gaji bagus. Tergiur iming-iming menjanjikan itu, Mostafa kemudian menawari anaknya untuk merantau ke Australia. "Saya ingin yang terbaik untuk anak saya," katanya, kemudian menangis lagi.
Mohamad Reza tampaknya juga tertarik. Karena itu, disepakatilah memberangkatkan Mohamad Reza melalui jasa Veramash dan temannya yang bernama Mehran. Pada akhir November Mohamad Reza sudah harus masuk di tempat penampungan di Bogor.
Dua hari kemudian Mostafa balik ke Thailand. Di negeri itu Mostafa mendapat nasihat dari teman dagangnya agar berhati-hati dalam memberangkatkan anak ke Australia. Jangan sampai terjerat sindikat human trafficking.
Mostafa mengaku sempat galau. Seminggu kemudian dia balik ke Jakarta. Dia menemui anaknya dan mencoba membatalkan keberangkatan ke Australia itu. Tapi, uang telanjur disetor dan anaknya sudah kadung ingin ke Australia. Sementara itu, bahaya sindikat human trafficking juga belum tampak. "Jadi, saya harap-harap cemas," ucapnya.
Pada 15 Desember lalu Mostafa balik ke Iran. Namun, pada 17 Desember larut malam dia ditelepon seseorang yang mengaku bernama Amin. "Saya tak kenal Amin. Dia mengaku sebagai teman anak saya. Katanya, kapal yang ditumpangi anak saya mengalami kecelakaan di Pantai Prigi," tutur dia.
Mostafa kaget bukan kepalang. Dia langsung bergegas pergi ke Indonesia. Dia tiba di Jakarta pada 18 Desember, lalu meneruskan perjalanan ke Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Sejak itu, dia memulai perjuangan mencari tahu keberadaan anak kesayangannya tersebut.
Harapannya sempat berkembang ketika sejumlah survivor kapal ditemukan di kawasan Nusa Barung, Jember, dan Bali. Kemudian, juga ditemukan sejumlah jenazah di Bali. "Saya ingin tahu nasib anak saya," ucapnya.
Selama mencari, Mostafa mengaku didera rasa bersalah yang sangat besar. Sebab, atas dorongan dirinyalah anaknya berangkat ke Australia. Apalagi, setelah musibah itu, Veramash maupun Mehran, orang yang mengurus kepergian anaknya, tak bisa dihubungi atau ditemui lagi.
"Kalau ketemu mereka, saya tak akan meminta kembali uang saya. Tapi, mereka langsung saya bunuh. Anak saya tak bisa ditukar dengan apa pun," kata dia dengan emosional.
Selama sebulan (hingga akhir Januari 2012), Mostafa bolak-balik Bali"Prigi dan menyusuri pantai selatan. Untuk keperluan itu, dia menghabiskan uang USD 4.000 (sekitar Rp 35 juta).
Kehabisan uang, dia kembali ke Iran. Saat berkumpul dengan istri dan putra sulungnya, Mostafa merasa nelangsa. Apalagi, istrinya yang lumpuh karena kecelakaan 12 tahun lalu itu sangat sayang kepada putra bungsunya yang hilang tersebut.
Tak betah berlama-lama, pada akhir Februari 2012 Mostafa kembali ke Indonesia. Kali ini dia bertekad mencari anaknya lebih lama dan lebih jauh. Begitu datang, dia kembali ke Pantai Prigi. Dia menyewa perahu untuk pergi ke titik terbaliknya kapal nahas tersebut. Perahu itu memutarinya hingga radius 20 mil laut selama dua hari. "Saya membayangkan anak saya kesepian sendiri entah di mana, membuat saya menangis terus," tutur pria kurus tersebut.
Dia kemudian menyusuri setiap pantai di selatan Pulau Jawa. Mulai Pantai Popoh, Malang, Jember, Banyuwangi, Bali, hingga Flores. Selama dua bulan terakhir boleh dibilang dia hidup di jalanan dan di pinggir pantai. "Kadang saya tidur di masjid, kadang di bus. Tapi, lebih sering saya tidur di mobil rental. Saya tidak pernah tidur di hotel karena uang saya habis," ucapnya ngenes.
Termasuk beberapa hari tinggal di Surabaya, Mostafa "menginap" di parkiran sebuah hotel di kawasan Juanda. Itu dia lakukan untuk menghemat biaya. Maklum, sudah ratusan juta rupiah uang yang dia keluarkan untuk perjuangan menemukan anaknya itu.
Tidak hanya mencari di pantai-pantai dan laut, Mostafa juga menghubungi pihak-pihak berwenang, seperti kepolisian atau tim SAR. Tapi, upayanya tak membuahkan hasil konkret. Bahkan, dia justru tambah nelangsa karena sikap kurang respek pihak-pihak itu terhadap laporannya.
Apalagi, sudah cukup lama anaknya hilang sehingga mempersulit pencarian. Meski begitu, Mostafa tidak patah arang. Dia tetap mencari anaknya. "Saya harus bisa membawa kabar tentang anak saya jika pulang nanti," ujarnya.
Dia yakin bahwa anaknya masih hidup. "Saya yakin bahwa anak saya masih ada di satu tempat dan masih hidup. Istri saya juga meyakini itu. Mungkin mengalami amnesia atau berada di tengah pulau terpencil sendirian," ucap dia menghibur diri.
Ketika ditanya soal kemungkinan terburuk anaknya ikut menjadi korban meninggal dan tenggelam di laut, Mostafa langsung tercenung. "Saya tahu tentang takdir. Dan saya juga berpikir seperti itu. Tapi, saya merasa bersalah dan harus menemukannya," terangnya.
Rencananya, pertengahan bulan ini dia balik ke Iran. Tapi, tidak berarti dia menyerah untuk mencari keberadaan Mohamad Reza. "Saya sudah menyebar gambar anak saya dan meminta kenalan saya di seluruh pantai di pesisir selatan memberi tahu saya bila mengetahui keberadaan anak saya," katanya. (*/c11/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Prof Riri Fitri Sari, Perintis Pemeringkatan Kampus Dunia di Bidang Lingkungan
Redaktur : Tim Redaksi