Beragam cara dilakukan perguruan tinggi untuk mendongkrak pamor kampusnya. Misalnya, yang dilakukan guru besar UI Prof Dr Ir Riri Fitri Sari MSc MM yang menciptakan sistem pemeringkatan (ranking) perguruan tinggi dunia berdasar pelestarian lingkungan kampus.
M. Hilmi Setiawan, Jakarta
REPLIKA pesawat Boeing berukuran setengah meter terpajang rapi di meja tamu ruang kerja Prof Riri, gedung Rektorat UI Depok. Tapi, pesawat mainan itu bukan sekadar hiasan ruangan, melainkan menjadi salah satu pemacu semangat pakar IT tersebut. Dari replika itu, dia berkeyakinan kampus tempatnya mengabdi akan menjadi perguruan tinggi yang melesat terbang tinggi layaknya pesawat.
Pemegang rekor guru besar perempuan termuda di UI "diraih pada usia 39 tahun" itu dengan ramah menceritakan kiprahnya mendirikan lembaga jasa pe-ranking-an perguruan tinggi berdasar kelestarian lingkungan tersebut. Lembaga itu diberi nama UI Green Metric; World University Ranking. Secara periodik, lembaga tersebut melakukan pemeringkatan di ribuan perguruan tinggi sedunia dengan metode yang mereka ciptakan.
Menurut ibu tiga anak itu, pemeringkatan kampus-kampus dunia tersebut sudah berjalan dua periode, pada 2010 dan 2011. "Sekarang kami sedang merancang untuk periode 2012. Doakan sukses," tutur Riri ketika ditemui Kamis (29/3) lalu.
Sistem pemeringkatan kampus-kampus dunia yang diciptakan Riri berbeda dari sistem yang ada. Jika pada umumnya sistem pemeringkatan dilakukan berdasar kualitas akademik sebuah kampus, UI Green Metric disusun berdasar kondisi lingkungan kampus tersurvei.
Dalam menilai kualitas lingkungan sebuah kampus, Riri menentukan lima indikator. Yaitu, penataan infrastruktur kampus dengan bobot penilaian 25 persen, penggunaan energi yang mendukung kampanye perubahan iklim (28 persen), pengelolaan sampah (15 persen), pengelolaan air (15 persen), dan penggunaan transportasi kampus yang ramah lingkungan (18 persen).
Sistem pemeringkatan yang dilakukan UI Green Metric memang lebih sulit dibanding sistem-sistem yang lain. Perempuan kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 7 Juli 1970, itu menuturkan, sebelum memulai survei, timnya harus hunting perguruan tinggi dari berbagai negara di dunia. Baik melalui buku-buku katalog perguruan tinggi yang sudah ada maupun lewat dunia maya. Termasuk, alamat e-mail para rektornya. Karena itu, tak heran bila anggota tim penyusun daftar perguruan tinggi tersebut adalah orang-orang yang telaten.
UI Green Metric menggunakan teknologi informasi (TI) untuk mendapatkan data sekaligus untuk mengolah data. Setelah e-mail para rektor diperoleh, tim langsung melayangkan proposal dan angket pemeringkatan ala UI Green Metric.
Tahun lalu, misalnya, tim yang dimotori Prof Riri menyebarkan angket UI Green Metric kepada sekitar dua ribu rektor di seluruh penjuru dunia. Tapi, di antara jumlah itu, hanya 178 kampus yang berkomitmen mengikuti "kompetisi" antar perguruan tinggi sedunia di bidang kepedulian lingkungan kampus tersebut. Perinciannya, 26 perguruan tinggi dari dalam negeri dan 152 dari luar negeri.
Meski belum maksimal, capaian itu dinilai lebih baik daripada penyelenggaraan 2010. Saat itu, peserta pemeringkatan hanya 20 kampus dalam negeri dan 75 kampus luar negeri. "Peserta survei itu naik setelah kami melakukan promosi dengan gencar," ujar guru besar teknik elektro tersebut.
Tahun lalu, peringkat nomor satu kampus yang peduli terhadap kelestarian lingkungan versi survei UI Green Metric diduduki University of Nottingham, Inggris. Kampus di kampung Robin Hood itu merebut posisi puncak tahun sebelumnya yang diduduki University of California, Berkeley, AS.
Riri menyatakan, capaian University of Nottingham perlu diapresiasi dan dicontoh. "Mereka sangat sungguh-sungguh dalam menata lingkungan kampus," kata dia. "Kondisi lingkungan kampus yang tertata akan mendukung kegiatan perkuliahan mahasiswa," tambahnya.
Apakah ada hadiah untuk peraih peringkat tertinggi" "Di-ranking saja sudah senang. Hadiahnya pengakuan dari lembaga yang kredibel," jelas dosen berprestasi utama UI 2009 itu.
Dari dua kali penyelenggaraan, kampus dalam negeri masih belum bisa berbicara banyak. Pada 2011, UI yang di dalam negeri merupakan yang paling baik hanya mampu menduduki posisi ke-21 di antara 178 perguruan tinggi. Posisi itu masih kalah oleh Universiti Putra Malaysia yang menempati urutan ke-17.
"Hasil itu harus menjadi cambuk bagi kampus-kampus dalam negeri pada masa-masa mendatang," tegas peraih WIE Most Inspiring Engineer Award dari organisasi profesi insinyur elektronik dunia itu.
Menurut Riri, ada kecenderungan penataan lingkungan kampus masih belum menjadi perhatian serius para pengelola perguruan tinggi di Indonesia. Misalnya, pengelolaan sampah. Banyak kampus di Indonesia yang belum menerapkan sistem reduce, reuse, dan recycle dalam pengelolaan sampah kampus. Padahal, model pengelolaan sampah itu sudah ngetren di lingkungan masyarakat perkampungan dan perumahan-perumahan.
Yang dilakukan kampus-kampus dalam mengelola sampah masih terkesan konvensional. Yaitu, sampah-sampah dikumpulkan, lalu dibakar atau dibawa ke TPA (tempat pembuangan akhir). Padahal, sampah di lingkungan perguruan tinggi dapat diolah serta dimanfaatkan lebih lanjut. Karena itu, kampus dituntut kreatif dalam memanfaatkan sampah.
"Misalnya, sampah-sampah itu disalurkan ke komunitas perajin yang mampu mendaur ulang sampah-sampah kering tersebut," jelasnya.
Masalah lain yang harus segera dibenahi untuk memperbaiki lingkungan kampus adalah penggunaan energi ramah lingkungan. Sayangnya, kata Riri, selama ini penggunaan energi dengan teknologi ramah lingkungan sering dicap berlebihan.
"Memang harganya mahal, lantas ada yang menilai cara itu terlalu mewah. Padahal, cara tersebut berdampak jangka panjang," ungkap istri Kusno Adi Sambowo itu.
Dia mencontohkan penggunaan sensor pendeteksi gerak manusia di ruang kantor atau kelas. Penggunaan teknologi itu bisa menghemat pemakaian energi untuk lampu atau pendingin ruangan. Sistemnya, seluruh alat listrik di ruangan langsung mati ketika berkondisi kosong. Namun, teknologi itu masih cukup mahal sehingga belum banyak digunakan.
Riri juga mengharapkan kampus-kampus besar di negeri ini mulai mengembangkan sumber listrik alternatif. Dia mencontohkan University of Nottingham yang berada di daerah dengan angin yang melimpah. Pengelola kampus itu mengembangkan teknologi listrik tenaga angin untuk menyuplai listrik di lingkungan kampus dan sekitarnya. "Kampus harus bisa menangkap segala potensi lingkungan yang ada," ujarnya.
Meski masih banyak yang perlu diperbaiki, Riri tetap mendapat hal positif di kampus-kampus dalam negeri. Misalnya, pengelolaan hutan kampus. Dia menyebutkan, banyak kampus yang masih memiliki lingkungan yang cukup hijau. Di antaranya, UI, IPB, ITB, UGM, dan ITS.
Upaya positif lainnya, sejumlah kampus sudah menyediakan kendaraan internal seperti sepeda angin atau bus kampus. Dengan begitu, polusi udara dari kendaraan bermotor bisa dikurangi dibanding ketika kampus masih bebas untuk lalu lintas kendaraan umum. "Itulah upaya-upaya konkret pelestarian lingkungan yang diharapkan menular ke lingkungan di sekitarnya," tegas Riri. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Potret Kampung Jawa di Kecamatan Wonomulyo, Sulawesi Barat
Redaktur : Tim Redaksi