jpnn.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Ruhana Kuddus (Roehana Koeddoes), perempuan kedua dari Minangkabau yang menerima gelar kehormatan tertinggi itu dari negara, setelah Rasuna Said.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada perempuan kelahiran Koto Gadang, Kabupaten Agam, 20 Desember 1884 itu didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/Tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.
BACA JUGA: Ini 6 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019
Semasa hidup, Ruhana berjuang dengan caranya melalui profesi jurnalistik dan pendidik yang mengangkat harkat dan martabat kaumnya di zaman penjajahan Belanda.
Anugerah itu diterima oleh cucunya Janeydy selaku ahli waris, di Istana Negara, Jumat (8/11). Saat itu selain keluarga besar, hadir juga Bupati Agam Indra Catri. "Terharu juga akhirnya bisa (dihargai) perjuangannya. Ucapan terima kasih dari saya, keluarga, untuk anugerah pahlawan nasional (untuk Ruhana)," ucap Janeydy.
BACA JUGA: Soemarsono, Si Pengusul 10 November Hari Pahlawan Berpulang
Dari cerita yang diperoleh Janeydy tentang Nenek Ruhana, dia seorang yang sederhana dan selalu perhatian pada sesama, khususnya kaum perempuan. Hal itu diwujudkannya dengan berbagi ilmu yang dimiliki.
Bupati Agam, Indra Catri mengaku gembira dengan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Nenek Ruhana yang telah diperjuangkan cukup lama oleh masyarakat di Sumbar.
BACA JUGA: Sambut Hari Pahlawan, Bu Risma Ajak Warga Surabaya Putar Lagu-lagu Perjuangan
"Ini perjuangan panjang yang telah berakhir. Kami mengidolakan beliau, ketokohan di bidang jurnalistik, juga banyak jejak langkah pendidikan, konveksi tenun sulam. Beliau menembus zamannya saat itu," ucap Indra sembari mengatakan, dari 17 pahlawan nasional di Sumbar, tujuh di antaranya dari Kabupaten Agam.
Pada tahun 1911, Ruhana Kuddus mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS) dan menjadi Direktris pertama di sekolah itu. Kemudian 10 Juli 1912, dia menjadi pemimpin redaksi Soenting Melajoe (Sunting Melayu), surat kabar perempuan yang terbit di Padang.
Surat kabar ini menjadi yang pertama yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya semuanya perempuan. Cakupan Soenting Melajoe tidak hanya di Minangkabau, tetapi juga beredar di Medan, Pekanbaru, Batavia, Malaka dan Singapura. Ruhana menjadi pemimpin redaksi sampai 1920.
Kisah perjuangan Ruhana masih terus berlanjut di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah Roehana School di Bukittinggi pada 1916, seklaigus menjadi agen mesin jahit Singer serta mengajar perempuan Minang menjahit dan border.
Pada 1921, Ruhana pindah ke Medan dan mengajar di Sekolah "Dharma" Lubuk Pakam, selanjutnya pindah ke Sekolah "Dharma" di Medan, Sumatera Utara. Dia juga menjadi redaktur surat kabar Perempoean Bergerak. Dia tinggal di Medan sampai 1924.
Tahun 1924, dia kembali ke Koto Gadang, Sumatera Barat, dan mengajar di Sekolah Vereeninging Studiefonds Minangkabau (VSM Fort de Kock Bukittinggi), serta menjadi koresponden tetap surat kabar Dagblad Radio yang terbit di Padang. Dia juga menulis untuk surat kabar Tjahaja Soematra.
Tahun 1942 menjadi tahun terakhir dari anak pasangan Mohamad Rasjad Maharajo Soetan dan Kiam, menjadi jurnalis aktif. Dia lantas mendampingi suaminya bernama Abdul Kuddus, menetap di Kota Gadang. Suaminya wafat tahun 1951 karena sakit.
Pada tahun 1953, Ruhana Kuddus ikut tinggal dan berpindah-pindah bersama anak perempuannya yang bernama Djasma Juni ke Padang, Medan, Jakarta, Surabaya dan terakhir kembali ke Jakarta. Dia meninggal di Jakarta, 16 Agustus 1972 dikarenakan sakit dan dimakamkan di pemakaman Karet Bivak Jakarta, pada 17 Agustus 1972. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam