Soemarsono, Si Pengusul 10 November Hari Pahlawan Berpulang

Rabu, 09 Januari 2019 – 09:03 WIB
Soemarsono. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.

jpnn.com - Rinai membasahi bumi pertiwi. Sebuah surat elektronik tiba. Kemarin, 8 Januari 2019, Soemarsono meninggal di Sydney, Australia. Tak hanya memimpin perang 1945 di Surabaya, dia-lah yang mengusulkan 10 November jadi Hari Pahlawan.

Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Bukan Cerita Biasa! Ini Kisah Dukun Kepresidenan Amerika

Kisah tentang Soemarsono pertama saya ketahui dari Jawa Pos. Ditulis langsung oleh Pak Bos Dahlan Iskan.

Setelah membaca itu. Berkali-kali. Muncul pertanyaan, kenapa lakon Soemarsono tak diulas dalam buku pelajaran sejarah sekolah? Padahal dia pimpinan Bung Tomo.

BACA JUGA: Masih Ingat Drama Gus Dur jadi Presiden?

Sejurus kemudian. Bulan puasa Agustus 2010, sayup-sayup terdengar kabar Soemarsono di Indonesia. Dan hadir dalam acara buka puasa bersama di Rumah Perubahan, Jakarta Selatan.

Malam di bulan penuh berkah itu, saya memotretnya dari berbagai sisi. Dan bertanya tentang apa saja.  

BACA JUGA: Pesan Gunung Krakatau, Waspadalah Pantai Barat Sumatera!

Alhasil, potret dan senarai kisahnya diketengahkan dalam sebuah pameran tunggal merayakan Hari Pahlawan 10 November 2010 di Universitas Bung Karno, Menteng, Jakarta.

Waktu itu, menapaki usia 90 tahun, bicaranya masih lugas dan jelas. Lenggang langkahnya kokoh tanpa bantuan tongkat. 

Laki-laki kelahiran 22 September 1921 ini Ketua Besar Pemuda Republik Indonesia (PRI). Dan Bung Tomo yang melegenda itu Ketua Bidang Penerangan PRI.  

Sedikit banyak Anda tentu pernah mendengar peristiwa fenomenal, ketika rakyat Surabaya berombong-rombong menyerbu Hotel Orange (kini Hotel Majapahit di Jl. Tunjungan--red), menurunkan bendera Belanda, merobek warna birunya. Lantas mengibarkan merah putih.

Saat memimpin aksi itu, Soemarsono berusia 24 tahun.

Sepak terjangnya mempertahankan kemerdekaan proklamasi Agustus 1945, membuat Brigadir Jendral Mallaby, pimpinan tentara Sekutu kewalahan.

Ibarat orang bertinju, pemuda yang dipimpinnya berhasil memukul mundur pasukan Sekutu sampai ke pojok ring.

Setelah Indonesia merdeka, Soemarsono mengusulkan tanggal 10 November ditetapkan jadi Hari Pahlawan. Dan langsung disetujui Bung Karno.

Secara resmi, Bung Karno juga pernah memberinya pangkat mayor jenderal (tituler). Tahun 1948 ketika meletus peristiwa Madiun Affair, ayah dari 6 anak ini menjabat posisi Gubernur Militer Madiun. 

Ulah zaman membuat hidupnya banyak dihabiskan di balik terali besi. Tokoh PKI bawah tanah ini keluar masuk penjara sekitar tujuh kali.
Lepas dari penjara Orba, beliau angkat kaki dari tanah air dan memilih menetap di Sydney. Bekewarganegaraan Australia hingga tutup usia.

Malam di bulan puasa 2010 itu. Ketika disinggung soal pertempuran 10 November, Soemarsono berkomentar, “ceritanya tidak persis seperti yang selama ini ditulis pelajaran sejarah.” 

Menurut dia, peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah hukuman dari tentara imprealis atas pertempuran yang meletus beberapa hari sebelumnya. “Itu balas dendam yang keji.”

Cerita bermula ketika sekitar 10 orang pemuda mendatangi rumahnya di Jl. Peneleh.

Saat itu dirinya menjabat Ketua Pemuda Minyak Surabaya. “Mereka mengabarkan tentang pengibaran bendera Belanda di puncak Hotel Orange. Mereka menuntut saya segera bertindak. Hari itu tanggal 19 September 1945,” kenang Bung Son, demikian pemuda Suarabaya menyapanya. 

Bersama kawan-kawannya, Soemarsono berjalan kaki menuju Jl. Tunjungan. Sepanjang jalan mereka bersorak menyerukan perlawanan.

“Banyak yang ikut. Baik itu tukang becak maupun  pedagang. Sampai di depan hotel sudah ratusan orang.” 

Dari dalam hotel muncul seorang Belanda berperawakan besar mengayun-ayunkan tongkat besar.

Massa yang diamuk marah berteriak, “turunkan bendera itu!”

Batu dan pecahan genteng pun beterbangan. Belanda itu tewas ditikam senjata tajam. “Belakangan diketahui dia itu W.V.Ch. Ploegman, orang yang ditugaskan sebagai Wali Kota Surabaya.”

Kemudian, pemuda bahu-membahu ke puncak hotel. Terjadilah aksi perobekan bendera Belanda. Dua hari berikutnya, hampir seluruh organisasi pemuda di Surabaya bersatu membentuk PRI. Soemarsono secara aklamasi dipilih menjadi ketua.

Bagaimana dengan Bung Tomo? “Beliau Ketua Bidang Penerangan PRI yang bertugas terus mengobarkan semangat rakyat lewat radio.”

Beberapa hari setelah kedatangan tentara Sekutu di Surabaya beredar isu dari mulut ke mulut jika tentara Sekutu akan melucuti senjata para pemuda dan ingin menduduki Surabaya.

“Kita memutuskan mendahului daripada didahului. Kantong-kantong konsentrasi tentara Sekutu yang baru saja memenangkan perang besar di seluruh Asia kita serang,” ungkapnya.

Perang berlangsung tiga hari berturut-turut, 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Sekutu terdesak.

Mallaby menghubungi markas pusat Sekutu se-Asia Tenggara di Singapura. Meminta atasannya mengusahakan genjatan senjata.

Komandan tertinggi tentara Sekutu di Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta menemui Bung Karno dan Bung Hatta. 

Hari itu juga Bung Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke Surabaya dengan pesawat. Langsung konvoi keliling kota menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. 

Soemarsono yang sedang bertempur di front terdepan kaget mendengar seruan tersebut. Dia menghadang konvoi Bung Karno.

“Saya lihat Mallaby juga ada dalam konvoi itu. Saya marah kepada Bung Karno. Saya beri tahu bahwa sebentar lagi Inggris pasti kalah. Bung Karno diam saja sambil menunduk.” 

Setelah dicolek Bung Karno, Amir Syarifuddin, Menteri Keamanan Rakyat pada waktu itu turun dari mobil dan merangkul Soemarsono.

“Ini sudah dirundingkan dengan kita-kita di Jakarta. Not the battle. We have to win the war,” bisik Amir seperti ditirukan Soemarsono. 

Soemarsono ‘jinak’. Sebagai sama-sama tokoh PKI bawah tanah, dia menaruh rasa hormat kepada Amir Syarifuddin. Hari itu juga, 30 Oktober 1945, perundingan diadakan di kantor Gubernur Jawa Timur.

Dalam perundingan itu Mallaby meminta sekitar 5.000 tentaranya yang hilang dikembalikan.

“Saya jawab, kami kehilangan 20.000 orang. Apa bisa minta kembali. Perundingan itu tidak memuaskan pihak Sekutu. Makanya, 10 hari kemudian, 10 November 1945 Sekutu menyerang kita dengan kekuatan penuh dari udara, laut maupun darat. Sadis sekali!” 

Dari caranya bertutur tak sedikitpun terbesit agar dirinya diakui sebagai pahlawan. Dia bercerita layaknya seorang kakek mengantar tidur cucunya. 

Waktu itu, di usia 90 tahun, Soemarsono masih terlihat gagah. Semangat 45 masih melekat di dirinya, yakni semangat lebih memikirkan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi. Dia tak butuh dianugerahi gelar pahlawan.

Pepatah "setinggi-tinggi terbang bangau akhirnya ke pelimbahan jua" atau pun "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik di negeri sendiri" berlaku bagi Soemarsono.

Dulu, setiap libur musim dingin dia senantiasa menyempatkan diri menyambangi Indonesia. Mengunjungi anak-anak dan melepas rindu pada tanah air. “Saya cinta Indonesia,” katanya. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penting! Krakatoa Meletus, Saksi Mata Mencatat…


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler