jpnn.com, INDRAMAYU - Penyebab terjadinya perkawinan anak sebagian besar adalah karena faktor ekonomi. Namun, ada juga disebabkan “kecelakaan” akibat pergaulan bebas. Padahal, dampak perkawinan anak sangat tidak menguntungkan.
Utoyo Prie Achdi, INDRAMAYU
BACA JUGA: Ini 5 Provinsi dengan Persentase Perkawinan Anak Tertinggi
Seperti dialami oleh salah seorang perempuan warga Indramayu, inisial EW. Dia mengaku menikah pada usia 16 tahun dan sekarang sudah memiliki satu anak.
EW berasal dari keluarga nelayan kecil yang hidup pas-pasan. Suatu ketika dia diminta oleh orang tuanya untuk menikah dengan seorang lelaki.
BACA JUGA: Massa NU Tolak Sekolah 5 Hari, Beberapa Petinggi PKB Ikut Gabung
Padahal dia mengaku masih ingin melanjutkan sekolah. Sementara calon suaminya adalah seorang duda beranak satu.
EW tidak bisa menolak kemauan orang tuanya, yang memang menginginkan anaknya untuk menikah dengan seorang juragan.
BACA JUGA: Ratusan Lele Bertebaran di Jalan
Harapannya tentu saja akan bisa hidup lebih baik dibandingkan sebelumnya.
“Saya tidak bisa menolak keinginan orang tua yang menyuruh saya menikah saat usia masih sangat muda,” tuturnya.
Namun, apa yang diharapkan ternyata berbalik 180 derajat. EW justru merasa lebih tertekan. Bayangkan, dia kerap diperlakukan tidak baik oleh suami.
Bahkan dalam satu hari dia hanya dikasih uang Rp25 ribu oleh suami. Sementara setiap hari EW harus mengasuh anak dan bekerja layaknya baby sitter.
“Saat itu saya benar-benar minder dan malu kalau ketemu sama teman-teman,” ungkapnya.
Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indramayu, Yuyun Khoerunnisa mengaku prihatin dengan masih tingginya perkawinan anak.
Dia juga menjelaskan bahwa penyebab perkawinan anak sebagian besar karena faktor ekonomi.
“Memang sebagian besar karena faktor ekonomi. Yang lebih miris, ada orang tua yang terpaksa mengawinkan anaknya yang masih kecil hanya karena untuk membayar utang,” ujarnya.
Yuyun juga menjelaskan bahwa saat ini, KPI Indramayu tengah membentuk Pusat Informasi Pengaduan dan Advokasi Penghantian Perkawinan Anak (PIPA PPA).
“Yang pasti, KPI bersama para jejaring sepakat untuk menolak perkawinan anak. Kemi mendorong agar ada payung hukum seperti peraturan daerah (perda) untuk menghentikan perkawinan anak,” tegasnya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasa Tak Muda Lagi, Iis Dahlia Ogah Main Sinetron
Redaktur & Reporter : Soetomo