jpnn.com - TEMPULU DPR kita lagi selalu always: serbasetuju, apa saja. Mumpung pula kita lagi punya presiden yang suka bagi-bagi sertifikat tanah.
Maka ide ini kelihatannya bisa menemukan waktunya yang tepat.
BACA JUGA: Angka Holding
Ini ide lama, tetapi baru satu-dua orang yang sudah saya ajak bicara. Dahulu. Delapan tahun lalu. Menjelang saya expired.
Ini juga hasil pemikiran baru dari realitas di lapangan. Bukan teori yang lahir di atas kertas, bahkan bisa jadi inilah jalan baru setelah bertahun-tahun menekuni jalan yang lama. Yang selalu gagal. Yang kegagalan itu akan terus menumpuk menjadi gunung berapi.
BACA JUGA: Godaan Oksigen
Siapa pun presidennya –sejak Indonesia merdeka– hanya terus menambah bara di dalam gunung itu.
Intinya: sudah waktunya PTPN menjadi Nike atau Adidas. Yakni bisa menjadi perusahaan sepatu terhebat di dunia – tanpa perlu punya pabrik sepatu.
BACA JUGA: Ambisi Besar
Waktu itu saya dalam perjalanan dari pabrik gula di Brebes. Akan menuju ke pabrik gula di dekat Semarang. Saya ditemani dirut PTPN waktu itu dan stafnya.
Pabrik gula di Brebes itu sekarang sudah menjadi rest area jalan tol yang sangat menarik. Apalagi kalau bisa sebersih rest area di Salatiga –rest area terbaik saat ini.
Saya sudah beberapa kali mampir di dua rest area itu. Terakhir Selasa lalu. Rest area Salatiga-lah juaranya –Ungaran runner-up-nya. Brebes punya potensi mengalahkan semuanya.
Dalam perjalanan itulah saya sampaikan: coba bikin konsep baru PTPN menjadi Nike atau Adidas. Tidak usahlah PTPN mengelola kebun yang ribuan hektare. Sudah terbukti tidak mampu.
Tanah PTPN makin tidak terkelola. Luasannya terus menyusut. Banyak yang sudah menjadi kampung. Bahkan di Medan sudah ada yang jadi kota.
"Tidak akan ada direksi yang bisa menyelesaikan itu," kata saya. Apalagi di BUMN itu sulit diharapkan sukses yang berkelanjutan.
Katakanlah BUMN di zaman Erick Thohir ini sukses. Apakah bisa dijamin ganti presiden kelak bisa tetap sukses?
Belum lagi kenyataan ini: masyarakat di sekitar perkebunan miskinnya bukan main. Lihatlah penduduk yang hidup di sekitar kebun teh di Jawa Barat. Atau penduduk yang hidup di sekitar kebun tembakau di Jember, Jatim. Betapa miskin mereka.
Aset negara terus berkurang. Penduduk yang menempatinya ilegal seumur hidup –untuk tidak mengatakan hidup dari tanah haram.
Perusahaan negara kian lemah di situ. Masyarakat sekitarnya miskin sekali.
Manajemen perusahaan lebih sibuk menghadapi masalah daripada membuat kemajuan. PTPN serbakalah.
Itu seperti main sepak bola kalah 0-5. Kalau yang kalah itu MU, mungkin hanya lagi nasibnya saja yang sial.
Akan tetapi yang kalah ini sudah diketahui semua orang: pasti akan kalah 0-5. Pun sejak sebelum bermain.
Yang terbayang di otak saya waktu itu: PTPN memberi hak garap kepada penduduk sekitar. Setiap orang mendapat 2 hektare. Dipilih yang mau bekerja keras. Yang mau diikat perjanjian hukum dengan PTPN.
PTPN-lah yang menentukan desain kebun, jenis tanaman, model penggarapan, tata cara pemeliharaan, pemupukan, penanganan panen, dan bagi hasilnya.
PTPN menjadi off taker mereka dan memasarkannya. Kebun itu menjadi ''milik'' puluhan ribu rakyat, dengan supervisi oleh PTPN –atau konsultan yang ditunjuk.
Langkah itu bisa dimulai dari perkebunan tebu, teh, karet dan tembakau di Jawa. Atau dimulai dari yang paling ruwet: di Sumut.
Saya tidak melihat ada cara lain untuk memperbaiki PTPN kita. Yang sifatnya benar-benar tuntas –bukan 'tuntas' tuntutan dari atas.
Saya pun yakin masih banyak ide lain dari siapa saja. Namun, setidaknya, lima persoalan pokok di atas harus selesai –bukan salah satunya.
Tentu ada juga yang akan menganggap ide ini hanya omong kosong dari seseorang yang lagi post power syndrome.
Saya siap menerima penilaian seperti apa pun. Bahkan saya pun masih akan bisa terhibur kalau ada yang mengumpat –meminjam istilah Anak Alay: Your Kitchen!
Yang penting bagaimana kita bisa menemukan Nike dan Adidas di kebun-kebun kita.(***)
Redaktur : Antoni
Reporter : Tim Redaksi