jpnn.com, JAKARTA - Temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia yang dilakukan di Lombok Timur mengungkap perlu adanya upaya promosi pangan sehat dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia.
“Dari temuan awal lingkungan pangan diketahui responden mengalami kesulitan akut (dengan persentase lebih dari 70 persen) dalam komponen informasi dan promosi untuk semua jenis makanan padat gizi yang diteliti (sayuran hijau daun, ayam, ikan),” ujar Ketua Tim Peneliti Sistem Pangan Studi Action Against Stunting Hub (AASH) Dr Ir Umi Fahmida MSc.
Berdasarkan kandungan gizi, perlu keragaman sumber protein untuk pemenuhan gizi yang baik, khususnya pada zat gizi yang bermasalah, dan juga perlunya kombinasi protein hewani.
BACA JUGA: Cegah Stunting untuk 1.000 Balita, PAM Jaya Raih Padmamitra Award 2024
Contohnya makanan yang memadukan hati, telur, ikan dan tahu/tempe untuk dapat memberikan asupan zat gizi yang lebih lengkap.
“Namun aspek ‘desirability’ pangan padat gizi ini belum optimal dan memerlukan promosi. Promosi pangan sehat selama ini dilakukan tenaga kesehatan, namun dari analisa Agrifood kami menemukan ternyata pedagang sayur secara spontan mengatakan bisa dititipkan untuk promosi pangan sehat,” kata Umi.
Pengolahan pangan padat gizi yang kaya dengan zat besi, kalsium, seng dan folat (disingkat: bekal solat) juga diperlukan.
BACA JUGA: Cegah Malnutrisi jadi Solusi Permasalahan Stunting di Indonesia
“Contohnya dibuat abon hati ayam, biskuit ikan teri dan lainnya,” tambah Umi.
Terkait keamanan pangan, kontaminasi mikroba pada rantai pangan ditemukan masih tinggi, khususnya pada pedagang eceran.
Umi yang juga Country Lead AASH Indonesia menambahkan perlu adanya tindak lanjut dari temuan awal itu.
BACA JUGA: Kebun Gizi, Solusi Berkelanjutan Atasi Stunting di Morowali Utara
Akan dilakukan analisa dampak paparan seperti gizi, mikrobiom, kesehatan usus, parasit, patogen, stres emosional, maupun lingkungan rumah dalam 1000 hari pertama kehidupan terhadap status epigenetik pada anak dan risiko stunting.
Sebelumnya, pada Kamis (13/2) dilakukan diseminasi temuan awal studi AASH dan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang dipandu Rektor Universitas YARSI Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D.
Diseminasi hasil temuan awal tersebut dibuka oleh Direktur SEAMEO RECFON Dr.dr.Herqutanto. MPH., MARS., Sp.KKLP, Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.S, dan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Woro Srihastuti Sulistyaningrum, ST., MIDS.
Studi AASH yang didanai oleh United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI-GCRF) bertujuan untuk mempercepat upaya penurunan stunting melalui pendekatan anak secara utuh (Whole Child Approach).
Studi itu dilakukan pada tahun 2019 hingga 2024 di tiga negara (India, Indonesia, Senegal), dengan Lombok Timur terpilih sebagai lokasi studi di Indonesia.
AASH Indonesia dikoordinasikan oleh SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) – Pusat Kajian Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI) dengan Country Lead Dr. Umi Fahmida, peneliti senior SEAMEO RECFON yang juga dosen Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Studi AASH mengadopsi pendekatan holistik yang fokus pada pendekatan anak secara menyeluruh.
Penelitian itu merancang intervensi yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi, dan mengembalikan beberapa karakteristik utama dari stunting.
Pendekatan yang menyeluruh tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari aspek fisik (gizi, kesehatan saluran cerna, epigenetik, mikrobiom, parasit), lingkungan tempat tinggal (pola makan, perilaku) hingga pendidikan (kognisi, perkembangan anak usia dini, pengasuhan), serta sistem pangan yang lebih luas (rantai nilai pangan, keamanan pangan, dan lingkungan pangan).
Semua domain tersebut terhubung oleh nilai-nilai sosial (shared values) yang secara langsung mempengaruhi pengalaman hidup anak.
Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Badan Pangan Nasional, Yusra Egayanti, menegaskan pentingnya aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan keamanan pangan dalam meningkatkan pola konsumsi masyarakat.
Hal tersebut menjadi kunci dalam menjamin kecukupan gizi, terutama dalam upaya pencegahan stunting. Dalam dua tahun terakhir, data menunjukkan bahwa ketersediaan sumber protein hewani masih belum mencukupi kebutuhan nasional.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, salah satu faktor penyebab stunting adalah kualitas pangan yang kurang memadai, selain faktor lain seperti pola asuh dan pemberian MPASI. Oleh karena itu, intervensi terhadap pola konsumsi menjadi sangat penting guna meningkatkan kualitas pangan bagi masyarakat.
"MPASI merupakan intervensi penting dalam seribu hari pertama kehidupan. Selain menjaga stabilitas ketersediaan pangan, edukasi dan promosi konsumsi makanan yang seimbang juga diperlukan," ujar Yusra Egayanti. (flo/jpnn)
Kualitas konsumsi pangan harus terus dipantau, mengingat skor konsumsi pangan di beberapa daerah masih perlu ditingkatkan. Khususnya dalam hal konsumsi protein hewani yang masih rendah.
Redaktur & Reporter : Natalia