jpnn.com, JAKARTA - Politisasi atau isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pasti akan selalu ada dalam setiap pemilihan baik kepala daerah maupun pemilihan presiden. Politisasi SARA tidak menjadi perhatian dalam UU Pemilu. Sanksi hukuman penggunaan isu SARA dalam kampanye juga ringan. Padahal politisasi SARA ini sangat membahayakan NKRI.
Demikian terungkap dalam Diskusi Empat Pilar MPR kerja sama Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan MPR bertajuk “Pemilu dan Kebinnekaan” di Ruang Media Center Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/9/2018). Diskusi menghadirkan narasumber Wakil Ketua Fraksi PPP MPR Syaifullah Tamliha dan pengamat politik Lingkar Madani, Ray Rangkuti.
BACA JUGA: Jurus Cak Imin Semangati Murid Sekolah Darurat di Lombok
Tamliha menyebutkan isu SARA akan selalu ada dalam setiap kontestasi politik (pemilihan kepala daerah sampai presiden). Bahkan dalam pemilihan Presiden Amerika, isu SARA tetap ada. Kemenangan Trump tidak lepas dari isu SARA. Kemenangan Donald Trump karena gereja dan pendeta turun langsung secara door to door.
Menurutnya, Gereja mendukung Trump karena Hillary Clinton berjanji akan menyetujui UU perkawinan sejenis. Orang-orang Kristen khawatir dengan kebijakan Hillary itu. “Itu adalah SARA juga. Efektivitas isu SARA tidak dapat dikesampingkan,” kata Syaifullah.
BACA JUGA: Rehabilitasi Bangunan Sekolah di Lombok Harus Prioritas
Menurut dia, isu SARA di Indonesia semakin memanas ketika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Itulah bibit terbesar dalam persoalan SARA. Artinya, ada jualan agama. Setelah itu isu SARA ini terus bermunculan.
“Kalau saya mencermati, sepertinya ada perang antara kelompok sekuler dan kelompok agama. Indonesia, seperti kata Bung Karno, bukanlah negara agama, tetapi negara yang beragama,” ujarnya.
BACA JUGA: Rupiah Jatuh, Ketua MPR Ajak Warga Jual Dolar Demi Bangsa
Tamliha menambahkan politisasi SARA sangat berbahaya sekali. “Karena itu perlu keterlibatan semua pihak untuk menjaga dan meminimalkan isu-isu SARA,” ucapnya.
Tidak jauh berbeda, Ray Rangkuti mengatakan ancaman politisi SARA jauh lebih berbahaya dibanding politik uang. Politik uang akan berhenti atau hanya dilokasir di daerah di mana politik uang itu terjadi. Kalau politik uang terjadi di Jakarta maka tidak berefek di Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur.
“Efek politik uang bisa dilokalisir. Artinya, bangsa tidak retak karena politik uang,” katanya.
Ray Rangkuti (kanan)
Sementara itu, politisasi SARA seperti contoh Pilkada DKI Jakarta 2017, bisa berdampak ke daerah-daerah lain. Sebagai bangsa itu bisa membuat terbelah. Meski tidak memecah secara geografi (ada daerah yang mau memisahkan diri karena SARA), tetapi rakyat bisa terbelah menjadi dua kategori, yaitu masyarakat muslim dan kafir. Kafir ini tidak sejalan dengan pilihan orang muslim.
“Ini berbahaya. Karena itu politisasi SARA jauh lebih berbahaya dibanding politik uang,” tegasnya.
Percikan isu SARA di satu daerah, lanjut Ray Rangkuti, akan menyebar dengan cepat ke daerah-daerah lain. Sayangnya politisasi SARA tidak menjadi perhatian dalam UU Pemilu karena isu SARA dianggap bukanlah ancaman.
Dalam UU Pemilu, hanya ada satu pasal tentang larangan penggunaan isu SARA dalam kampanye Pemilu. Sanksinya pun ringan, hanya hukuman satu tahun penjara atau denda Rp 1,5 juta.(adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua MPR: Perlu Keterlibatan Masyarakat di Bidang Politik
Redaktur : Tim Redaksi