jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IV dari Fraksi PKS DPR RI Andi Akmal Pasluddin mengatakan sudah saatnya pemerintah mulai mengkaji pengalihan subsidi pupuk menjadi subsidi harga makanan pokok.
Menurut Andi Akmal, subsidi pupuk sudah dimulai sejak rezim Orde Baru, ketika Presiden ke-2 RI Soeharto memutuskan subsidi pupuk dengan tujuan swasembada pangan.
BACA JUGA: Tinjau Pabrik Pusri, Mentan SYL Berharap Distribusi Pupuk Subsidi Bisa Tepat Waktu
Tujuan ini tercapai tahun 1984 dan beberapa tahun kemudian hingga Indonesia bebas dari ketergantungan impor pangan pokok.
Setelah itu, menurut dia, mulai dari presiden Soeharto di akhir jabatannya, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi, subsidi pupuk tetap berjalan, tetapi tujuannya tak pernah tercapai hingga saat ini.
BACA JUGA: Pupuk Subsidi Kerap Hilang? KTNA Indramayu Bilang Begini
“Sudah saatnya mengkaji ulang alternatif mengalihkan subsidi pupuk menjadi subsidi harga,” kata Akmal.
Politikus PKS ini mengatakan memang dalam mengalihkan sebuah kebijakan mesti ada kajian mendalam yang melibatkan banyak pakar baik akademisi maupun praktisi.
BACA JUGA: Andi Akmal: Sektor Pertanian Akan Cepat Maju jika Importasi Produk Pangan Dibatasi
Di luar negeri sudah banyak negara seperti Amerika dan beberapa negara Eropa yang memilih subsidi di output daripada di input.
Legislator asal Sulawesi Selatan II ini mendorong agar pemerintah Pemerintah mulai mengkaji penerapan mengalihkan alokasi subsidi sektor pertanian dari yang mulanya berbasis input menjadi subsidi output demi menekan risiko anjloknya harga produk pertanian pada masa panen yang bisa merugikan petani.
Menurut dia, hal ini bisa saja diuji pada satu wilayah kabupaten sentra penghasil produk pertanian sehingga risiko yang ditimbulkan bila meleset tidak terlalu besar.
Namun, bila makin mendorong peningkatan produk pertanian, menghilangkan dampak penyelewengan karena efektivitas anggaran subsidi yang tepat sasaran, tentu kebijakan ini mesti dapat menjadi alternatif menggantikan subsidi pupuk yang angkanya selalu di atas angka APBN Kementerian Pertanian itu sendiri.
Akmal menambahkan anggaran Kementerian Pertanian sejak tahun 2015 terus menurun, dari Rp 32.72 triliun, di tahun 2016 menjadi Rp 27.72 triliun, tahun 2017 Rp 24.23 triliun, tahun 2018 Rp 23. 90 triliun, tahun 2019 Rp 21.71 triliun, tahun 2020 Rp 21,05 triliun, tahun 2021 Rp 15,51 triliun, dan kini pagu indikatif tahun 2022 sebesar Rp 14,51 triliun.
Terus turunnya anggaran Kementerian Pertanian, juga diikuti turunnya subsidi pupuk meskipun angka subsidi pupuk terus lebih tinggi dari APBN Kementan.
Dia menyarankan, mesti ada solusi yang tepat dimana stiap tahun gelontoran uang negara untuk pupuk subsidi lebih tepat dan tujuan utama tercapai yakni swasembada pangan.
"Pupuk yang diproduksi PIHC seperti sekarang sangat mahal. Sebab utamanya adalah dalam memproduksinya, sangat bergantung pada gas sebagai bahan baku yang mahal. Di samping itu, gas ini kan barang yang tidak dapat terus ada, yang lama-lama akan habis. Sampai saat ini, PIHC belum mampu menjawab tantangan ini, sehingga anggaran pupuk subsidi yang dialokasikan dari APBN puluhan triliun rupiah tiap tahun hanya menjawab kebutuhan 34 persen petani seluruh Indonesia,” ungkap Akmal.
Akmal menjabarkan setiap dirinya berkunjung di daerah pemilihannya, Sulawesi Selatan, bertemu dengan petani yang selalu dikeluhkan bukannya gak ada pupuk, tetapi yang tidak ada itu pupuk bersubsidi yang harganya memang terjangkau.
Oleh karena itu, Akmal mengatakan sudah puluhan tahun petani kita ini tidak mampu berkompetisi secara global karena subsidi input yang sulit dikendalikan ketika sudah menyangkut distribusi.
Akmal memiliki keyakinan bahwa subsidi harga atau output akan meningkatkan daya kompetisi petani. Tujuan petani akan terpacu pada jumlah produksi yang baik dengan mutu yang baik. Jaminan pasar dan harga yang sesuai akan dikondisikan pemerintah dengan alokasi subsidi harga.
“Ini selain sangat tepat pemberian subsidinya, juga sangat efisien untuk mengurangi penyimpangan,” ujar Andi Akmal Pasluddin.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich