Permenkes Soal Pembatasan Sosial Dinilai Tak Efektif Cegah Penyebaran Covid-19

Minggu, 05 April 2020 – 12:32 WIB
Ilustrasi wabah corona. Foto: pixabay

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengaku telah membaca Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kesimpulannya, permenkes tersebut tidak efektif dalam mengatur kerja-kerja besar perang melawan virus Corona (COVID-19).

"Ketentuan yang ada di dalamnya tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di peraturan pemerintahnya. Saya kira hal yang baru hanya mendetailkan prosedur pengajuan PSBB oleh kepala daerah," ujar Daulay dalam pesan tertulis yang diterima, Minggu (5/4).

BACA JUGA: Dokter Joni: Pasien Positif Corona Meninggal, Virus di Tubuhnya Ikut Mati

Daulay juga menyimpulkan, permenkes dimaksud terkesan sangat birokratis. Misalnya, tata cara penetapan PSBB pada bagian ketiga permenkes, harus melalui tahapan yang panjang. Dalam penetapan itu, menteri harus membentuk tim melakukan kajian epidemologis, kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.

Pelaksanaan kajian juga harus berkoordinasi dengan gugus tugas percepatan penanganan covid-19. Selanjutnya, tim kajian ditugaskan memberikan rekomendasi kepada menteri.

BACA JUGA: Benarkah Pemerintah Tidak Akan Memberi Remisi Koruptor di Tengah Wabah Corona?

“Sepintas, prosedur biroraktif seperti itu sangat baik, tetapi karena panjangnya alur birokrasi, dikhawatirkan akan memperlambat tugas dalam penanganan covid-19. Sementara, sebagaimana kita ketahui bersama, penyebaran virus ini berlangsung cukup cepat. Tidak menunggu proses birokrasi dan hasil-hasil kajian seperti yang diurai dalam permenkes itu," ucapnya.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga menilai, penetapan PSBB atas usulan kepala daerah terkendala dengan data dan kriteria yang cukup banyak. Pada pasal 4, misalnya, disebutkan permohonan PSBB oleh kepala daerah harus menyertakan data peningkatan jumlah kasus disertai kurva epidemologi, data peta penyebaran menurut waktu, data penyeledikan epidomologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.

BACA JUGA: Pemerintah Diminta Transparan Soal Peta Persebaran Virus Corona

“Soal kurva epidemologi, memang sekarang ini sudah ada? Seperti apa kurva tersebut? Yang berhak membuatnya siapa? Begitu juga dengan peta penyebarannya. Seperti apa peta penyebaran yang dimaksud? Sejauh ini pemerintah belum pernah merilis secara resmi peta penyebaran. Yang ada hanya penambahan jumlah yang positif dan meninggal saja. Kalau di pusat saja hal itu sulit dikerjakan, saya khawatir, ini malah akan menyulitkan dalam proses penerapan PSBB di daerah,” katanya.

Daulay menilai, prosedur penetapan PSBB akan jauh lebih mudah jika diajukan oleh gugus tugas. Tidak seperti kepala daerah, pengajuan oleh gugus tugas tidak perlu menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, serta keamanan. Dalam permenkes, itu menjadi tugas dari kepala daerah.

"Dalam peraturan pemerintah No. 21/2020 maupun di dalam permenkes No. 9/2020 ini juga tidak ditemukan sanksi bagi yang melanggar. Itu artinya, penetapan PSBB dengan serentetan birokrasi boleh saja tidak ditaati. Dan ketidaktaatan itu sebenarnya sudah terjadi dan dapat dilihat di tengah masyarakat," tuturnya.

Daulay khawatir, peraturan pemerintah dan permenkes PSBB hanya akan menjadi dokumen kearifan. Dokumen kearifan yang berada di tempat yang tinggi, tetapi tidak terimplementasi di bumi. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler