Permintaan Turun, Harga Lidah Buaya Anjlok

Rabu, 16 Mei 2012 – 11:22 WIB
ALAM tengah duduk di pinggiran lahan budidaya lidah buaya. Bersama dua petani lainnya, ia setiap hari menggarap tiga hektar kebun lidah buaya milik Baidil, di Desa Mega Timur. Di tengah kesulitan pemasaran dan anjloknya popularitas lidah buaya, petaninya tidak patah arang.

ADONG EKO, Pontianak

LIDAH buaya di Pontianak dan Kubu Raya tidak lepas dari peran petani untuk terus membudidayakannya. Meski saat ini prospek usaha dari tanaman tersebut kian terkikis beberapa warga di Desa Mega Timur, Sungai Ambawang, Kubu Raya masih menumpukan hidupnya dari tanaman tersebut.

Untuk menuju lokasi budidaya tanaman lidah buaya tidaklah membutuhkan waktu lama. Dengan mengendarai sepeda motor, paling lama hanya setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai di lokasi perkebunan lidah buaya tersebut. 

Meski waktu yang dibutuhkan untuk menuju lokasi lidah buaya tidak begitu lama, namun akses jalan menujul lokasi budidaya tanaman tersebut membutuhkan perjuangan. Jalan berlubang, dan sebagian masih tanah kuning, dan berdebu adalah sebagian rintangan untuk masuk ke lokasi budidaya lidah buaya.

Sampai di lokasi, hamparan tanah gambut berwarna hitam, dengan ratusan bahkan ribuan dauh lidah buaya berukuran besar menjadi pemandangan yang sangat menabjukbkan bagi siapa saja yang baru pertama kali melihata tanaman tersebut.

Dari kejauhan tampak seorang pria tengah duduk di pinggiran lahan dan dua lainnya sedang sibuk membersihkan lahan budidaya lidah buaya. Mereka adalah Alam dan Shahairi. Sudah sepuluh tahun berkerja sebagai petani lidah buaya di lahan milik H Baidil.
 
Sudah sepuluh tahun, bapak dua anak ini menjalani pekerjaannya sebagai petani lidah buaya. Pertama kali berkeja disebagai petani dimulai di tahun 2000. bekerja setiap hari dimulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 10.00, tujuh hektar lahan lidah buaya menjadi tumpuan hidup ia dan petani lainnya.
 
Jika dibandingkan dulu dan sekarang, perkembangan lidah buaya tampaknya masih lebih baik sepuluh tahun lalu. Pasalnya saat ini, petani hanya dapat memanen daun lidah buaya satu minggu sekali dengan berat 600 sampai 700 kilogram itupun tergantung permintaan pabrik.

Berbanding terbalik dengan sepuluh tahun lalu, daun lidah buaya yang beratnya mampu mencapai tujuh ons sampai satu kilogram dapat dipanen setiap hari, lalu dikirim ke pabrik pengelolaan dengan berat total mencapai satu hingga dua ton perhari. “Dulu lebih enak, kita panen setiap hari dan langsung dikirim ke pabrik. Tapi sekarang permintaan semakin berkurang, jadi panennya satu minggu satu kali itupun paling berat 600 kilogram,” ucap Alam.

Tidak hanya itu, jika dulu di tujuh hektar lahan digarap oleh sepuluh bahkan lebih petani. Tapi sekarang tiga hektar lahan budidaya hanya dikerjakan paling banyak tiga petani. Menurunnya jumlah lahan garapan dan berkurangnya jumlah petani tidak lain karena semakin semakin berkurangnya permintaan lidah buaya dari pabrik pengelolaan, sehingga mengakibatkan petani mencari pekerjaan yang lebih menjajikan.  “Kalau dulu lahan yang digarap luas, tapi sekarang sudah semakin berkurang,” kata Alam.
 
Selain semakin berukurangnya permintaan lidah buaya, harga jual perkilo adalah beberapa masalah yang dihadapai petani. Dari awal mula berkeja sebagai petani hingga saat ini, harga lidah buaya hanya dihargai Rp1.000 perkilogram. Harga jual yang tidak sebanding dengan pengeluaran yang dibutuhkan petani untuk merawat ribuan batang lidah buaya.
Untuk merawat tiga hektar lahan lidah buaya, petani setidaknya membutuhkan tiga sampai lima karung pupuk berat 50 kilogram, yang digunakan selama satu bulan. Harga untuk pembelian pupuk, dirasakan sangat tidak sesuai dengan harga jual hasil panen.

“Harga jual dengan ongkos budidaya tidak sesuai, sekarang harga pupuk sudah Rp100.000 perkarung, sedangkan harga jual lidah buaya dari tahun dulu hingga sekarang hanya Rp1.000,” ucap Alam
Dari puluhan petani yang dulu menggarap enam sampai tujuh hektar lahan pertanian lidah buaya. Saat ini hanya tinggal tiga orang yang teap bertahan. Mereka bertahan tidak lain karena tidak ada pekerjaan lain yang dpata dilakukan untuk memberikan penghasilan.
 
Untuk itu, Ia berharap, kepada pemerintah agar kiranya memberikan perhatian kepada para petani lidah buaya yang saat ini masih tetap bertahan. “Kalau bisa pemerintah perhatikan kami para petani, minimal harga perkilo daun lidah buaya dinaikan menjadi Rp1.500,” harap Alam.
 
Tidak jauh berbeda dengan petani lainnya, Sahairia, petani yang menggarap lahan bersama Alam, mengaku saat ini penjualan lidah buaya sangat merosot jika dibandingkan dulu. “Dulu setiap hari kerja, tapi kalau sekarang kadang kerja kadang tidak,” katanya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Tidak Akan Aktifkan Lagi Bupati Bonbol

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler