jpnn.com, JAKARTA - Praktisi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menilai cacat hukum upaya Peninjauan Kembali (PK) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kasus hak tagih Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra.
Sebab, kata dia, hanya terpidana atau keluarga ahli yang memiliki hak PK.
BACA JUGA: 3 Pria Tiba-tiba Keluar dari Semak Belukar, Adang 2 Perempuan Pengendara Motor, Begini Akhirnya
"Sebab, yang punya hak PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya tidak ada dasar hukum bahwa jaksa PK yang ada hanya yurisprudensi," kata Suparji, kepada wartawan, Rabu (29/7).
Secara filosofis, kata Suparji, jaksa merupakan alat negara yang diberikan kewenangan membuktikan dugaan tindak pidana dalam sidang tingkat I banding dan kasasi. Kepastian hukum tidak bakal ada ketika jaksa memiliki hak mengajukan PK.
BACA JUGA: Ditangkap karena Kasus Prostitusi, Penyanyi Vernita Syabilla Ternyata Sempat Unggah Status Begini
"Kalau jaksa bisa PK, tidak ada kepastian hukum. Sebab, setiap saat orang yang sudah bebas atau lepas dapat dituntut melalui PK Jaksa. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai keadilan," tandas Suparji.
Sebagai informasi, Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang dimaksud berbunyi “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung".
BACA JUGA: PN Jaksel Tolak Permohonan PK Buronan Djoko Tjandra
Jika merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa Jaksa dilarang mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Namun dua hal tersebut dilanggar oleh Jaksa.
Belakangan yang terjadi, PK yang diajukan oleh JPU diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tertanggal 11 Juni 2009.
Amar putusan PK itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.
Bunyi amar juga menyebutkan bahwa PK membatalkan putusan Mahkamah Agung RI no. 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 156/Pid.B/2000/ PN.Jak.Sel. tangggal 28 Agustus 2000.
Putusan Mahkamah Agung telah bertentangan dengan Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi "Pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula”.
Dalam putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terdakwa JST dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging). Sementara itu, dalam putusan PK dengan terdakwa JST dihukum pidana penjara selama dua tahun.
BACA JUGA: Tiga Penipu Berseragam Pegawai BPN Tertangkap Setelah Dijebak Korban, Begini Kronologinya
Hal ini menandakan bahwa putusan PK yang diajukan oleh JPU melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, dan dengan demikian Putusan PK no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 melanggar Pasal 266 ayat (3) KUHAP. (mg10/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan