Pernikahan Itu Sakral, Jangan Cerai Gara-gara Ekonomi

Kamis, 25 Juni 2015 – 05:42 WIB

jpnn.com - TASIK – Data dari Pengadilan Agama Kelas IA Kabupaten Ciamis menyebutkan, dari awal Januari hingga awal Juni 2015 perceraian di Ciamis mencapai 2.178 perkara. Terdiri dari talak atau gugatan cerai dari suami terhadap istri sebanyak 778 kasus, sementara sisanya 1.400 perkara, istri menggugat suami.

“Memang saat ini dominasinya istri gugat cerai, alasannya kebanyakan dari perselisihan dan pertentangan yang dilatarbelakangi dari faktor ekonomi, seperti suami sudah tidak bisa menafkahi keluarga,” ujar Syarief Hidayat dari bagian Divisi Humas kantor pengadilan agama tersebut, di kantornya kemarin (23/6).

BACA JUGA: Ingat ya! 28 Juni Pasang Bendera Setengah Tiang

Menurutnya, fenomena istri menggugat cerai suami karena sang istri sudah tidak sanggup lagi mengatur keuangan rumah tangga.

“Di Ciamis ini kebanyakan dari faktor ekonomi yang kurang dari kalangan yang berekonomi rendah dengan penghasilan sekitar rata-rata Rp 20 ribu per hari. Memang ada juga dari PNS dari guru pendidik tapi tidak banyak,” jelasnya.

BACA JUGA: Hendak Membegal, Dua Geng Motor Tewas setelah Hantam Trotoar

Pisikolog Elsa Widyawati SPsi mengatakan pasangan suami istri (pasutri) yang bercerai karena himpitan ekonomi merupakan bukti tidak adanya tujuan pernikahan.

”Hampir 90 persen setiap pasangan (yang bercerai gara-gara ekonomi, red) rata-rata tidak mempunyai tujuan dalam bingkai perkawinan. Mereka tidak punya komitmen yang jelas,” ungkapnya saat dihubungi Radar Tasikmalaya (Grup JPNN) kemarin (24/6).

BACA JUGA: Berkas Dukungan Kurang, Diberi Waktu Sepekan

Jika tujuan tidak bisa didefinisikan kedua pasangan, maka, kata dia, perjalanan pernikahan sangat rentan mengalami ketidakjelasan yang berujung perceraian. Termasuk dipengaruhi faktor eknomi.

”Kalau punya tujuan seperti ingin bahagia atau ingin bersama di surga, maka tantangan dalam berumah tangga akan dihadapi bersama,” jelasnya.

Kemudian, menurut Elsa, dari tujuan yang jelas akan menciptakan komitmen yang akan dibangun bersama-sama dan sebagai benteng ketahanan dalam berkeluarga. “Harus ada kesepakatan dan komitmen dari komitmen juga akan tercipta komunikasi yang baik,” sarannya.

Saat ini pasangan hidup juga tidak mengetahui kesakralan yang namanya pernikahan menrut kacamata agama. ”Agung sekali pernikahan itu, pahalanya juga besar, kalau mereka tahu pahalanya begitu besar jika ada permasalahan yang menghadang termasuk masalah ekonomi, maka ketahanan dalam berumah tangga akan semakin kokoh,” ungkapnya.

Ia pun menyarakan kawula muda yang akan menikah untuk membuat komitmen dan tujuan yang jelas. Adapun pasangan yang sudah menikah harus me-review tujuan tersebut. "Konsultasi juga kepada orang-orang yang memiliki ilmu di bidang agama,” sarannya.

Ia juga menyarankan kepada pasutri untuk mengkaji masalah yang sedang dihadapi termasuk masalah ekonomi dan jangan buru-buru untuk mengambil keputusan bercerai.

”Perceraian itu jadikan nomor kesekian saat menghadapi masalah. Sekarang kaji dulu apa yang menyebabkan timbulnya permasalahan ekonomi tersebut,” sarannya.

Senada dengan Elsa, pisikolog Neni Solihatin MPsi mengatakan kebanyakan pasangan hidup tidak berpikir panjang ketika akan melakukan pernikahan. ”Mereka hanya berpikir pernikahan adalah suatu yang menyenangkan, bisa bersama sama dengan orang yang dicintai. Padahal cintanya mungkin hanya tiga bulan saja, seterusnya justru saling mendukung dan saling menghargai,” jelasnya. (den/dhs/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Innalillahi, Usai Tarawih Wartawan Tewas Tabrakan dengan Anang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler