Pernyataan Presiden soal Judicial Review RUU Ciptaker Bak Lempar Batu Sembunyi Tangan?

Sabtu, 10 Oktober 2020 – 16:33 WIB
Said Salahudin. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Pemerhati hukum tata negara Said Salahudin merasa aneh dengan sikap pemerintah dan DPR yang menyarankan pihak-pihak penentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut Said, RUU tersebut diajukan oleh pemerintah dan kemudian dibahas dan disetujui oleh DPR untuk ditetapkan menjadi undang-undang.

BACA JUGA: LBH Bang Jafar Buka Crisis Center Korban Demo Tolak UU Ciptaker

Karena itu, wajar jika kemudian elemen buruh, mahasiswa dan masyarakat lain yang menentang pengesahan, menuntut legislatif review dan executive review.

"Saya kira seruan Presiden Joko Widodo agar pihak yang tidak puas terhadap Omnibus Law Ciptaker mengajukan ‘judicial review’ ke Mahkamah Konstitusi, bak lempar batu sembunyi tangan,"   ujar Said dalam keterangannya, Sabtu (10/10).

BACA JUGA: Duh, Perusuh Demo Tolak Ciptaker Merusak 18 Fasilitas Kepolisan di Jakarta

Menurut direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini, pemerintah tidak sepantasnya lempar tangan soal omnibus law UU Cipta Kerja kepada lembaga negara yang lain.

"Seolah menjadikan MK sebagai keranjang sampah. Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpang dari konstitusi," ucapnya.

BACA JUGA: Liput Demo Omnibus Law-Ciptaker, Seorang Jurnalis Dipukul Polisi

Said kemudian mengingatkan, dalam membentuk undang-undang, DPR dan presiden harus tetap memerhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat.

Artinya, kata Said kemudian, apa yang dituntut oleh buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain pada aksi demonstrasi besar-besaran Kamis (8/10) kemarin, jelas mereka meminta DPR dan presiden sendiri yang membatalkan, bukan MK. 

"Jadi, jangan menggurui mereka melakukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Para pendemo itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti prosedur pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi," katanya.

Menurut Said, pengunjuk rasa turun ke jalan menyuarakan aspirasi, dalam rangka menuntut keinsafan DPR dan presiden, agar membatalkan sendiri Omnibus Law Ciptaker yang dinilai merugikan kaum buruh.

Soal MK, itu urusan lain lagi. Tidak ada korelasinya dengan aksi mogok nasional para buruh dan unjuk rasa masyarakat luas.

"Masalahnya kan, pemerintah tidak memiliki sensitivitas terhadap tuntutan masyarakat itu, malah terkesan berlagak pilon dengan melempar permasalahan ke Mahkamah Konstitusi," katanya.

Said kemudian menjelaskan, tuntutan para demonstran dalam teori hukum tata negara disebut ‘legislative review’ atau pengujian produk legislasi oleh lembaga legislatif.

Dalam hal ini DPR selaku legislator dan presiden sebagai co-legislator, diminta membatalkan sendiri undang-undang yang mereka sepakati.

Bahwa ada problem waktu bagi DPR dan presiden untuk membentuk undang-undang baru guna membatalkan Ciptaker, menurut Said, itu perkara lain.

Hal yang penting bagi masyarakat adalah ada keinsafan dan jaminan dari kedua lembaga itu untuk membatalkan Cipta Kerja.

Selain itu, ada pula tuntutan dari para pengunjuk rasa agar presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) supaya Omnibus Law Ciptaker bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat.

Menurut Said,  aspirasi rakyat itu disebut proses ‘executive review’ atau peninjauan kembali perangkat hukum oleh badan pemerintah. Presiden punya kewenangan itu.

"Jadi, sangat jelas yang dituntut oleh masyarakat kepada DPR dan presiden adalah proses ‘legislative review’ atau ‘executive review’, bukan ‘judicial review’ atau pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan," tuturnya.

Said juga mengatakan, proses ‘judicial review’ di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan undang-undang.

Jika DPR dan presiden memiliki kepekaan dan pro-aktif terhadap aspirasi rakyat, semestinya tuntutan masyarakat itu diselesaikan sendiri. Bukan malah dilempar ke lembaga lain.

Said lebih lanjut menjelaskan, dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa (TAP MPR VI/2001) disebutkan, dalam etika politik dan pemerintahan, pemerintah dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi rakyat.

Apabila secara moral kebijakan pemerintah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka pejabatnya harus siap mundur.

"Begitu kata TAP MPR VI/2001 yang sering dikutip oleh Mahfud MD sebelum jadi menteri. Sekarang saya mau tagih ucapan Pak Mahfud itu, bersediakah Pak Mahfud mundur dari jabatannya atas sikap pemerintah yang tidak aspiratif terhadap tuntutan rakyat," pungkas Said. (gir/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler