jpnn.com, BANGKOK - "Kami akan berjuang lewat jalur hukum." Kalimat itu dilontarkan kandidat perdana menteri (PM) yang diusung Pheu Thai Party (PTP), Sudarat Keyuraphan, di hadapan media kemarin, Senin (25/3). Dia tak terima karena Palang Pracharat Party yang mendukung junta militer meraih suara terbanyak alias popular vote.
Perempuan 57 tahun itu menduga telah terjadi kecurangan yang menguntungkan partai pengusung PM Prayuth Chan-o-cha tersebut.
BACA JUGA: Hasil Survei Terbaru Charta Politika: 5 Parpol Lama Gagal Tembus 4 Persen
Dalam berbagai survei sebelum pemilu, semua menyatakan bahwa perolehan suara maupun kursi terbanyak bakal diraih PTP. Namun, kenyataannya, pada awal penghitungan suara, justru partai pro-junta militer itu yang melejit.
Sudarat pantas ketir-ketir. Sebab, perolehan suara tersebut juga berpengaruh pada perebutan 150 kursi di majelis rendah. Dari 500 kursi di house of representative, sebanyak 350 kursi diperebutkan di tiap-tiap konstituen. Satu konstituen satu kursi, sedangkan sisanya dibagi berdasar persentase perolehan suara.
BACA JUGA: Diprediksi Unggul 20 Persen, Kubu Jokowi â Kiai Maâruf Semakin Optimistis
BACA JUGA: Thailand Memilih: Boneka Militer atau Pemuja Thaksin?
Saat ini Palang Pracharat Party lebih unggul sekitar 500 ribu suara jika dibandingkan dengan PTP. "Kami sebelumnya menyuarakan keprihatinan terkait pembelian suara, penyalahgunaan kekuasaan, dan kecurangan. Ketiganya kini jadi kenyataan," tegas Sudarat seperti dikutip Reuters.
BACA JUGA: Hasil Survei: Elektabiltas Jokowi - Maruf Akhirnya Lampaui Prabowo - Sandi
Setali tiga uang, Future Forward Party merasakan hal yang sama. Partai yang baru berdiri sekitar setahun lalu itu langsung meroket dengan perolehan suara terbanyak ketiga. Untuk sementara, dia mendapatkan 30 kursi di majelis rendah.
Juru Bicara Future Forward Party Pannika Wanich menegaskan bahwa mereka merasa ada penyimpangan yang tengah terjadi. Jumlah suara mereka tidak kunjung bertambah.
"Ini membuat rakyat skeptis terhadap hasil pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menyelesaikan masalah ini. Sebab, jika rakyat tidak percaya hasil pemilu, ke depan ada lebih banyak masalah," tegasnya.
Hal yang sama dirasakan mayoritas penduduk Thailand. Media sosial di negara tersebut dipenuhi nada kecurigaan soal kecurangan pemilu. Ada dugaan, kecurangan sudah dilakukan secara sistematis sehingga jalan Prayuth untuk kembali menjadi PM terbuka lebar. Tagar dalam bahasa Thailand yang berarti pemilu curang dan KPU gagal pun bertebaran.
Salah satu yang membuat publik curiga adalah angka kehadiran pemilih yang hanya 64 persen. Itu terbilang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya di atas 80 persen.
Di beberapa tempat pemungutan suara, hasil voting dan angka kehadiran tidak sama. KPU juga berkali-kali memundurkan jadwal pengumuman hasil sementara pemilu. Hasil akhir baru dipaparkan kepada publik sekitar 9 Mei mendatang.
Sekitar 1.500 balot dari penduduk Thailand yang tinggal di Selandia Baru juga tak dihitung. Alasannya, balot itu tiba Minggu (24/3) di atas pukul 17.00. Itu memang batas akhir penutupan pemungutan suara. Pesawat yang membawa balot tersebut tidak bisa tiba tepat waktu karena adanya penundaan penerbangan.
Open Forum for Democracy Foundation (P-Net) memaparkan, politik uang terjadi sebelum dan saat pemungutan suara. Jaringan pengamat pemilu juga mengambil beberapa foto orang yang mendapat THB 100 (setara Rp 44 ribu) agar memilih partai tertentu. (sha/c5/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Survei Charta Politika: Maruf Amin Lebih Terkenal dari Sandiaga Uno
Redaktur & Reporter : Adil