JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, rencana pemerintah memperpanjang kontrak PT Koba Tin (Koba) yang telah mengeksploitasi bijih timah di Indonesia sejak 1972, merupakan tindakan keliru karena akan merugikan kepentingan negara. Koba Tin menurut Marwan, telah diberi hak eksploitasi selama 30 tahun, dan telah diperpanjang selama 10 tahun yang akan berakhir pada 31 Maret 2013.
"Saya menduga Menteri ESDM Jero Wacik akan memperpanjang operasi penambangan Koba Tin selama 10 tahun ke depan dengan alasan kalau diterminasi dikhawatirkan daerah pertambangan Koba Tin akan dimasuki penambangan rakyat. Sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan penerimaan negara berkurang," kata Marwan Batubara, kepada pers di Jakarta, Rabu (27/3).
Selain itu lanjut dia, Jero Wacik juga beralasan Koba Tin (melalui Malaysian Smelting Corporation BHD, MSC) bersedia menurunkan persentasi sahamnya menjadi hanya 25 persen, sementara 75 persen lainnya dimiliki oleh peserta dalam negeri termasuk 25 persen dimiliki oleh PT Timah sebagai pemegang saham yang lama. Perpanjangan akan dilakukan dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan baru bagi Koba Tin dengan jangka waktu 10 tahun.
"Faktanya selama ini Koba Tin tidak melakukan penambangan sendiri, kecuali hanya menerima hasil bijih timah dari tambang rakyat yang ada di dalam dan luar wilayahnya, kemudian dilebur serta logam timah dijual ke luar negeri," ungkap mantan anggota DPD itu.
Bahkan dia mencatat dua Dirut PT Koba Tin yakni Dato Anwar Sidek dan Mhd Kamardin bin Top pernah masuk penjara di kepolisian Bangka Belitung atas tuduhan melakukan penampungan hasil tambang ilegal.
"Itu bukti telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan Koba Tin, yang seharusnya melakukan penambangan tetapi melakukan penampungan bijih timah ilegal. Lalu mengapa Pemerintah tidak menterminasi kontrak karena kegiatan ilegal tersebut? Sekarang, KESDM justru ingin memperpanjang kontrak," tanya Marwan.
Perihal Koba Tin yang bersedia menurunkan sahamnya menjadi 25 persen, dan saham nasional menjadi 75 persen menurut Marwan, itu hanya akal-akalan saja. Walaupun saham Koba Tin turun ke 25 persen, tidak ada jaminan pendapatan negara akan meningkat, karena yang akan mengambil saham Koba Tin bukan PT Timah, melainkan swasta nasional yang belum punya pengalaman di bidang pertambangan timah.
"Siapa pihak swasta yang mendapat saham tersebut? Bagaimana proses penunjukanya? Apa hak istimewa yang dimiliki dibanding hak BUMN dan BUMD? Disini, tindak pidana KKN sangat potensial terjadi," imbuhnya
Bahkan perpanjangan kontrak selama 10 tahun melalui IUP dapat dianggap sebagai persekongkolan jahat. Karena Dirjen Mineral dan Batubara pada 2012 yang telah merekomendasikan agar Koba Tin diterminasi karena tidak melakukan penambangan dan depositnya tidak ekonomis untuk ditambang. Koba Tin juga sudah memasukan proposal penutupan tambang," imbuhnya.
Selain itu kata Marwan, Koba Tin juga telah melakukan kelalaian dengan tidak membayar jaminan penutupan tambang sebesar USD 17 juta. Namun anehnya KESDM tetap memberikan kesempatan kepada Koba Tin untuk menunggak dan melunasi kemudian setelah batas waktunya. Hal tersebut merupakan pelanggaran kontrak.(fas/jpnn)
"Saya menduga Menteri ESDM Jero Wacik akan memperpanjang operasi penambangan Koba Tin selama 10 tahun ke depan dengan alasan kalau diterminasi dikhawatirkan daerah pertambangan Koba Tin akan dimasuki penambangan rakyat. Sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan penerimaan negara berkurang," kata Marwan Batubara, kepada pers di Jakarta, Rabu (27/3).
Selain itu lanjut dia, Jero Wacik juga beralasan Koba Tin (melalui Malaysian Smelting Corporation BHD, MSC) bersedia menurunkan persentasi sahamnya menjadi hanya 25 persen, sementara 75 persen lainnya dimiliki oleh peserta dalam negeri termasuk 25 persen dimiliki oleh PT Timah sebagai pemegang saham yang lama. Perpanjangan akan dilakukan dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan baru bagi Koba Tin dengan jangka waktu 10 tahun.
"Faktanya selama ini Koba Tin tidak melakukan penambangan sendiri, kecuali hanya menerima hasil bijih timah dari tambang rakyat yang ada di dalam dan luar wilayahnya, kemudian dilebur serta logam timah dijual ke luar negeri," ungkap mantan anggota DPD itu.
Bahkan dia mencatat dua Dirut PT Koba Tin yakni Dato Anwar Sidek dan Mhd Kamardin bin Top pernah masuk penjara di kepolisian Bangka Belitung atas tuduhan melakukan penampungan hasil tambang ilegal.
"Itu bukti telah terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan Koba Tin, yang seharusnya melakukan penambangan tetapi melakukan penampungan bijih timah ilegal. Lalu mengapa Pemerintah tidak menterminasi kontrak karena kegiatan ilegal tersebut? Sekarang, KESDM justru ingin memperpanjang kontrak," tanya Marwan.
Perihal Koba Tin yang bersedia menurunkan sahamnya menjadi 25 persen, dan saham nasional menjadi 75 persen menurut Marwan, itu hanya akal-akalan saja. Walaupun saham Koba Tin turun ke 25 persen, tidak ada jaminan pendapatan negara akan meningkat, karena yang akan mengambil saham Koba Tin bukan PT Timah, melainkan swasta nasional yang belum punya pengalaman di bidang pertambangan timah.
"Siapa pihak swasta yang mendapat saham tersebut? Bagaimana proses penunjukanya? Apa hak istimewa yang dimiliki dibanding hak BUMN dan BUMD? Disini, tindak pidana KKN sangat potensial terjadi," imbuhnya
Bahkan perpanjangan kontrak selama 10 tahun melalui IUP dapat dianggap sebagai persekongkolan jahat. Karena Dirjen Mineral dan Batubara pada 2012 yang telah merekomendasikan agar Koba Tin diterminasi karena tidak melakukan penambangan dan depositnya tidak ekonomis untuk ditambang. Koba Tin juga sudah memasukan proposal penutupan tambang," imbuhnya.
Selain itu kata Marwan, Koba Tin juga telah melakukan kelalaian dengan tidak membayar jaminan penutupan tambang sebesar USD 17 juta. Namun anehnya KESDM tetap memberikan kesempatan kepada Koba Tin untuk menunggak dan melunasi kemudian setelah batas waktunya. Hal tersebut merupakan pelanggaran kontrak.(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemiskinan Belum Dapat Teratasi
Redaktur : Tim Redaksi