Perppu dan Misi Kemanusiaan

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Senin, 06 April 2020 – 22:05 WIB
Ketua Badan Anggaran DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian, MH. Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Ruang publik kita beberapa pekan ini cukup bising dengan kutub kutub perbedaan, antara penyelamatan kesehatan rakyat akibat Covid-19 dan penyelamatan perekonomian nasional.

Sebagian pihak menuding pemerintah terlalu mementingkan penyelamatan perekonomian ketimbang giat mengatasi penanganan penyebaran virus korona.

BACA JUGA: Satu Keluarga di Sebuah Gang Positif Corona, Sang Suami Sudah Meninggal, Miris!

Tudingan itu sejatinya bisa dimaklumi, sebab banyak pejabat pemerintah yang tutur kata di publiknya yang tidak sepadan satu sama lain. Saya kira ini cermin komunikasi publik pemerintah juga harus diperbaiki.

Namun saya melihat seobjektif mungkin, sejernih mungkin atas berbagai upaya yang dilakukan pemerintah. Sebenarnya atensi Presiden Joko Widodo sangat besar. Sejak awal Maret ada kasus pertama Covid-19, Kepala Negara sendiri yang mengumumkannya.

BACA JUGA: Menteri Nadiem Beri Pujian Istimewa Kepada Tenaga Medis dan 15 Ribu Relawan Mahasiswa

Presiden Jokowi juga merespons cepat dengan pembentukan Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Penyebaran Virus Corona. Hampir bersamaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi; fiskal dan non fiskal tahap kedua yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian.

Kebijakan pembentukan Gugus Tugas sebagai mitigasi untuk menyelamatkan langsung kehidupan rakyat dari bencana penyakit Covid-19 akibat virus korona. Pembentukan Gugus Tugas untuk memudahkan sinergi dan keserempakan koordinasi dan gerak lintas kementerian dan pemerintah daerah.

BACA JUGA: Menpora Berbagi Cara Jitu agar Masyarakat Terhindar dari Virus Corona

Sebab penanganan penyebaran virus corona tidak cukup ditangani satu atau beberapa kementerian saja.

Stimulus kebijakan ekonomi sebagai respons cepat pemerintah terhadap kegiatan perekonomian rakyat yang terdampak, sebab pasar ekspor-impor kita seperti China dan ASEAN mengalami pelambatan ekonomi.

Amerika Serikat yang juga pasar ekspor-impor kita belum separah seperti sekarang. Kita bisa bayangkan jika banyak industri tutup akibat melambatnya kegiatan ekonomi global? Tentu akan banyak rakyat kita yang dirumahkan, dan kondisinya juga akan makin sulit.

Dua kebijakan di atas sesungguhnya cermin kebijakan “dua kutub” yang oleh pemerintah pararel dikerjakan. Mari kita jujur melihat hal ini, tidak ada yang berat sebelah dalam kebijakan pemerintah. Bahwa dalam implementasinya, dua kebijakan tersebut terdapat “gading yang retak” mari sama-sama kita perbaiki.

Dalam negara keadaan krisis ini, alangkah baiknya energi kita alokasinya untuk saling menyempurnakan.

Perppu Berat Sebelah?

Pada akhir Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan rangkaian kebijakan kembali sebagai langkah antisipatif atas makin eskalatifnya pandemi korona.

Ketiganya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, Keputusan Presiden (Keppres) No  11 tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.

Jika kita melihat perppunya saja, memang akan terkesan sangat mementingkan dampak ekonomi saja, meskipun hal ini juga amat penting. Sebab bila krisis ekonomi, yang terkena dampak bukan hanya mereka yang terkena Covid-19, tapi seluruh rakyat Indonesia.

Jadi, cara pandang kita jangan Cuma Perppu. PP No 21 tahun 2020 dalah kebijakan pencegahan sekaligus kuratif. PP No 21 tahun 2020 adalah dasar hukum bagi kementrian teknis dan Gugus Tugas untuk membuat berbagai kebijakan dan langkah langkah operasional yang diperlukan.

Seperti peningkatan kapasitas ruang perawatan pasien Covid-19, penambahan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan, tunjangan untuk tenaga kesehatan, kebijakan pembatasan sosial ditingkat nasional, penghapusan berbagai kebijakan untuk angkutan mudik lebaran, dan masih banyak lagi.

Bahkan di dalam Perppu No 1 tahun 2020 sendiri juga terdapat komponen yang menjadi dasar hukum bagi pelebaran defisit pada APBN. Pelebaran defisit ini diperlukan agar gap penerimaan dan belanja negara bisa lebih dari 3% Produk Domestik Bruto (PDB) kita.

Langkah ini mengantisipasi kebutuhan belanja kita besar akibat penanganan dampak Covid-19, terutama belanja kesehatan dan mitigasi dampak ekonomi, namun penerimaan negara kita kecil akibat kegiatan ekonomi kita, dan global slow down.

Tanpa perppu ini, sangat tidak mungkin pemerintah bisa mengalokasikan Rp. 405,1 triliun untuk penganggaran penanganan Covid-19,  Jaring Pengaman Sosial dan dampak ekonominya.

Rinciannya RP. 75 triliun untuk belanja kesehatan, Rp 110 triliun untuk kebijakan jaring pengaman sosial, Rp. 70,1 triliun untuk stimulus perpajakan dan KUR, dan Rp 150 triliun untuk berbagai program pemulihan ekonomi nasional.

Mari kita bandingkan kebijakan anggaran kita dalam menangani dampak Covid-19 dengan negara tetangga kita.

Korea Selatan menganggarkan penanganan Covid-19 dan pencegahan krisis ekonoinya sebesar 16 triliun Won (0,8% PDB), Malaysia 6 miliar Ringgit (0,4% PDB), Spanyol 8,9 milir euro (0,7% PDB), China 1,3 triliun reminbi (1,2% PDB), Arab Saudi 18,7 miliar USD (2,7% PDB), Perancis 45 miliar euro (2% PDB), Kanada138 miliar USD (6% PDB), Australia 189 A$, Amerika Serikat 2,1 triliun USD dan Singapura 54,4 miliar S$ (10,9% PDB), Indonesia sendiri Rp. 405,1 triliun (2,7% PDB)

Kebijakan penganggaran kita relatif sebanding dengan negara negara yang penderita Covid-19 belum terlalu signifikan, jika dibandingkan dengan Spanyol, dan Prancis, bahkan Malaysia.

Kebijakan penganggaran ini harus diimbangi dengan optimalisasi berjalannya PP No 21 tahun 2020 dan aturan turunannya. Sebab jika hanya mengandalkan penanganan kuratif, akan tidak efektif.

Perlu ada pencegahan besar besaran dengan segala daya maksimal agar pasien covid 19 tidak melonjak signifikan.

Misi Kemanusiaan

Kami di Badan Aggaran DPR sejatinya sudah lama mengusulkan perlunya Perppu. Pada saat Video Conference sharing informasi antara Pimpinan Badan Anggaran DPR RI dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (23/3), kami mengusulkan kepada Pemerintah tiga hal penting (1) Menerbitkan Perpu APBN 2020; (2) Menerbitkan Perpu terhadap Undang Undang Pajak Penghasilan (PPh); dan (3) Menerbitkan Perpu, yang merevisi Undang Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, memberikan kelonggaran defisit APBN dari 3 persen menjadi 5 persen dari PDB dan rasio utang terhadap PDB tetap 60 persen.

Bersyukur pemerintah merespon cepat usulan kami, dengan kita memiliki alokasi anggaran yang memadai, dan kebijakan mitigasi resiko Covid-19 yang komprehensif, kini tinggal saatnya kita semua kompak, solid bergerak bersama melalui krisis pandemi ini.

Tujuan kita sama, menyelamatkan kehidupan rakyat. Menyelamatkan peradaban kita sebagai sebuah bangsa.

Memang negara saja tidak cukup tanpa kegotong royongan kita sebagai rakyat. Kegotong royongan adalah modalitas sosial kita. Dan saya amat yakin nilai nilai ini masih melekat kuat dalam kehidupan kita sehari hari.

Saya amat bangga melihat sebagian dari kita memiliki semangat berbagi sedemikian besar, ada yang menyediakan minuman dari rempah rempah untuk memperkuat kekebalan tubuh, ada yang membagi masker, ada yang membantu menyemprotkan disinfektan, ada yang membantu membagi makanan kepada rakyat yang membutuhkan, bahkan ada yang menyumbang puluhan miliar rupiah untuk pengadaan APD.

Saya sangat yakin, negara dan rakyat bergerak bersama, misi kemanusiaan kita akan segera berakhir dengan bahagia. Amat syahdu melihat kekompakan kita bersama.

Semangat ini harus kita jaga hingga kapan pun.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler