jpnn.com, JAKARTA - Istilah mafia impor ramai diperbincangkan setelah Menteri BUMN menyebutkan ada praktik kotor dalam impor alat kesehatan (alkes). Menurutnya, jumlah impor alkes mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional.
Anggota DPR RI Fraksi PKS, Amin AK mengatakan hanya 10 persen saja bahan baku Alkes dan farmasi yang dipenuhi industri dalam negeri. Nilai impornya juga sangat fantastis, sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15 Triliun (Data BPS, 2019).
"Alat elektronik untuk medis di peringkat pertama dengan nilai US$ 358,8 juta. Lalu perangkat elektronik medik dan radiologi sebesar US$ 268 juta. Alat X-Ray US$ 87,2 juta. Alat bedah, cetakan plastik dan perangkat hiegenis sebesar US$ 53,5 juta, dan lain sebagainya," katanya seperti dilansir dalam siaran persnya, Sabtu (26/4).
Di saat impor begitu besar, lanjut Amin, pemerintah justru mengeluarkan Perpres No. 58 tahun 2020 yang berisi penyederhanaan dan kemudahan izin impor.
“Dalam perpres tersebut, persyaratan teknis untuk izin impor dapat ditangguhkan dalam keadaan tertentu (kebutuhan mendesak, terbatasnya pasokan dan terganggunya distribusi). Ini tertera dalam pasal 5 ayat 3,” tegasnya.
Persoalannya, kata Amin, penetapan keadaan tertentu tersebut, dapat dilakukan Menteri Koordinator Perekonomian bersama pejabat yang ditunjuk atas nama menteri. Bisa Dirjen, atau siapapun, lewat mekanisme rapat koordinasi (pasal 4 ayat 2).
"Artinya, Presiden bisa cuci tangan saat impor besar-besaran terjadi (dan ini boleh dilakukan tanpa izin persyaratan teknis) sehingga bisa sangat merugikan pelaku usaha dalam negeri," tuturnya.
Menurut Amin, “keadaan tertentu” (pasal 5 ayat 3) yang membolehkan impor tanpa persyaratan teknis juga tidak detail. Misalnya saat harga melebihi tingkat kewajaran. Tidak dijelaskan patokan angka atau presentasenya.
"Atau disebutkan terganggunya distribusi dan kurangnya pasokan yang membuka peluang pelaku usaha oligopoli yang berfungsi sebagai price maker, dapat menahan supply dan mengontrol distribusi lalu bermitra dengan mafia impor. Pasal 5 ayat 3 ini jelas-jelas adalah pasal karet," terangnya.
Pasal 4 dan 5 ini, ungkap Amin, juga menabrak ketentuan yang tertuang dalam UU 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, dimana perizinan impor dilakukan oleh Menteri Perdagangan (pasal 49 ayat 2 dan Pasal 45 ayat 1 UU 7/2014).
Di pasal 6 Perpres ini menyebutkan BUMN dapat ditugaskan melaksanakan impor produk/barang untuk pemenuhan kebutuhan, ditugaskan oleh Menteri BUMN.
"Ini juga berpotensi tumpang tindih kewenangan karena di UU Perdagangan (Pasal 45) menyebutkan bahwa “Impor barang hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki pengenal sebagai importir berdasarkan penetapan menteri. Dalam hal ini Menteri Perdagangan.” ungkap Amin.
Lebih parah lagi, kata Amin, Perpres ini juga dapat menegasikan UU di atasnya. Dalam pasal 10 Perpres ini disebutkan “semua ketentuan peraturan UU mengenai pemberian persyaratan perizinan impor tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perpres ini.”
Ini seakan-akan UU yang bertentangan dengan Perpres menjadi tidak berlaku, atau dengan kata lain, Perpres berkedudukan lebih tinggi dibanding UU.
"Barang impor bahkan diperlakukan sebagai “raja” di pasal 8 Perpres ini, disebutkan Barang impor dapat diberikan fasilitas pajak, kepabeanan dan cukai", urainya.
Ini terjadi, tambah Amin, di saat produk-produk lokal khususnya UMKM terus dimarginalkan tanpa dibuka akses pasar dan insentif yang memadai.
"Tanpa adanya fasilitas fiskal tersebut saja (seperti pasal 8 Perpres 58/2020), barang impor seringkali lebih murah dibanding produk lokal. Contohnya BBM," tukasnya.
Dirut Pertamina, kata Amin, mengungkapkan sekarang BBM Impor lebih murah (masa wabah COVID-19), semua kilang minyak dalam negeri bisa tutup.
"BBM Impor saat ini lebih murah sangat dimungkinkan. Mengingat harga minyak dunia jenis WTI (West Texas Intermediate) turun drastis hingga minus (-37,63 US$ per barel). Sedangkan harga minyak yang jadi patokan dalam negeri adalah MOPS (Mean of Platts Singapore) yang penurunannya tidak setajam Minyak jenis WTI," respon Amin.
Akibatnya, kata Amin, harga ke-ekonomian BBM dalam negeri masih sangat tinggi karena harga minyak mentahnya berpatokan pada MOPS, sedangkan BBM luar negeri berpatokan pada WTI. (Harga WTI minus akibat storage terlalu penuh dan permintaan terus menurun akibat wabah COVID-19).
"Belum lagi komoditas pertanian Indonesia, yang sering kali barang impor sektor pertanian lebih murah dibanding produk petani lokal. Hal ini karena biaya logistik yang mahal, produktifitas lahan yang rendah, dan tata niaga hasil pertanian yang dikuasai pengepul (pasar oligopoli)", ungkapnya.
Perpres ini, lanjut Amin, sangat membahayakan bagi produk-produk lokal bangsa Indonesia, karena barang impor akan semakin membanjiri Indonesia. Padahal saat ini berdasarkan data BPS, Neraca Perdagangan Indonesia bulan Maret 2020 surplus sebesar 743 juta US$.
"Nilai Ekspor Maret 2020 sebesar 14,09 Miliar US$ dan Impor hanya 13,35 Miliar US$. Apakah ada tekanan asing di bulan Februari dan Maret 2020 yang menyebabkan munculnya Perpres 58/2020?" tanya Amin.(fri/jpnn)
BACA JUGA: Menggandeng IDI dan Halodoc, Protelindo Menyerahkan Bantuan Alkes
Redaktur & Reporter : Friederich