JAKARTA - Rencana pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) terus dimatangkan. Kemarin (1/9) Tim Transisi menggelar diskusi terbuka membahas rencana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2015 yang kondisinya memburuk, akibat subsidi energi yang mencapai 20 persen atau sekitar Rp 363 Triliun.
Sesuai data Tim Transisi, subsidi untuk BBM mencapai Rp 291 Triliun dan subsidi listrik menyedot anggaran Rp 72 triliun. Total untuk subsidi energi mencapai sekitar Rp. 363 triliun. Bila dibandingkan dengan APBN Indonesia yang mencapai Rp 2.020 triliun, maka presentase subsidi energi melebihi 20 persen.
Dalam pertemuan tersebut, Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Toni Prasetiantono menuturkan, subsidi energi yangmencapai 20 persen APBN itu sangat tidak sehat dan rawan. Hal itu memberikan stimulus negatif dan berpengaruh pada investor. "Kondisi APBN ini meyesakkan untuk pemerintahan selanjutnya," jelasnya.
Apalagi, jika dibandingkan dengan belanja infrastruktur yang hanya mencapai Rp 260 triliun. Karena itu idealnya, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan BBM tahun ini.
"Pandangannya, bukan hanya soal Presiden SBY meninggalkan kondisi rakyat yang baik dengan tidak menaikkan BBM, tapi kondisi SPBN ini sangat buruk. Maka, harusnya menaikkan BBM itu penting," ujarnya.
Untuk waktu menaikkan harga BBM, ada dua pilihan waktu yang bisa dipertimbangkan. Yakni September 2014 atau Maret 2015. Dia menuturkan, kalau boleh memberikan masukan September itu yang paling baik. Jika, dinaikkan September maka penggunaan BBM akan menurun, sehingga masih ada sisa kuota hingga akhir tahun. "Ini pilihan utama, tentu harusnya pemerintahan SBY, karena pelantikan baru Oktober," jelasnya.
Kalau terpaksa, maka waktu yang baik pada Maret. Hal ini dikarenakan pada Januari dan Februari, bisanya terjadi banjir, sehingga inflasi memuncak. "Maret itu diprediksi inflasi sudah cukup landai," terangnya.
Saat ini ada sejumlah pilihan untuk angka kenaikan harga BBM, DARI Rp 500 hingga Rp 3 ribu. Dia menuturkan, kalau angka kenaikkannya sebaiknya jangan Rp 500, sebab dampaknya sama saja dengan menaikkan harga Rp 2 ribu.
BACA JUGA: Optimalisasi Penerimaan Pajak
"Masyarakat sama marahnya kalau naik Rp 500 atau Rp 2 ribu. Tentu lebih baik naikkan Rp 2 ribu agar ada ruang fiskal lebih lega. Tapi, juga jangan lebih besar dari angka itu," tuturnya.
Saat ini memang masih ada pilihan untuk meningkatkan tax ratio yang hanya 22 persen. Caranya, dengan memperbaiki kualitas dan jumlah pegawai pajak. Bahkan, kewenangan pegawai pajak akan baik jika bisa seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
"Ini diperlukan karena pegawai pajak sering kali harus berhadapan dengan wajib pajak yang memiliki power," ujarnya.
Sementara itu Pengamat Ekonomi dari Universitas Hasanuddin Abdul Hamid Paddu menjelaskan, rapat atau diskusi ini membahas soal bagaimana caranya pembangunan pada 2015 bisa berjalan. Tapi, situasi ini berhubungan dengan kondisi APBN 2014. "Karena ada beban dari 2014 yang dikirim ke 2015, karena ada subsidi BBM seperti sekarang," jelasnya.
Maka dari itu, lanjut dia, memang harusnya pada 2014 ada penyesuaian harga BBM yang bisa membuat ruang untuk membangun pada 2015. Angkanya sekitar seribu rupiah hingga Rp 1.500. Lalu, pada 2015 nanti, diprediksi juga harus ada kenaikan harga sekitar seribu rupiah.
BACA JUGA: Tidak Tepat, Perjuangkan DBH Perkebunan ke MK
"Penyesuaian dilakukan, kelebihan uang nanti bisa digunakan untuk yang produktif, infrastruktur, pertanian, dan perekonomian," jelasnya.
Sementara itu Deputi Tim Transisi Hasto Kristiyanto menjelaskan, diskusi ini fokus pada pengawalan realisasi APBN perubahan (APBNP) 2015. Karena Presiden SBY belum memungkinkan mengambil kebijakan menaikkan harga BBM.
Maka, Tim Transisi mencermati dengan mendetil APBNP tersebut. "Bagaimana anggaran berjalan dari Oktober hingga Desember dengan komitmen kerakyatan," jelasnya.
Perlu diketahui, jika 2015 iitu merupakan tahun yang penuh dengan tantangan. APBNP menunjukkan kerawanan-kerawanan. Apalagi, adanya target penerimaan pajak yang tidak terpeuhi selama lima tahun belakangan ini. "Walau begitu, Jokowi-JK siap memimpin dengan kondisi apapun," ujarnya.
Penerimaan pajak yang gagal selama lima tahun dan tax ratio yang hanya 22 persen justru memberikan optimisme adanya jalan keluar lain, dengan memaksimalkan penerimaan pajak.
BACA JUGA: Garuda Sudah Terbangkan 83.144 Calon Jemaah Haji
Dengan pengalaman dari Jokowi-JK dipastikan akan ada terobosan-terobosan baru. "Kami berharap dengan pembahasan APBNP memunculkan ruang gerak fiskal," terangnya. (idr)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jepang Kini Investor Terbesar di Indonesia
Redaktur : Tim Redaksi