jpnn.com - JAKARTA - Pertamina tampaknya membuktikan komitmennya untuk mengendalikan penyaluran BBM bersubsidi di Indonesia. Per tanggal 1 Agustus 2014 atau kemarin, pihaknya sudah menerapkan beberapa upaya pembatasan penjualan BBM bersubsidi di SPBU tertentu.
Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan, langkah tersebut sesuai dengan surat edaran Badan Pengatura Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) nomor 937/07/Ka yang terbit pada 24 Juli 2014.
BACA JUGA: BBM Bersubsidi Dikurangi, Pertamina Batasi Penjualan Solar
Surat tersebut berisi mandate bagi PT Pertamina untuk mulai mengimplementasikan pembatasan BBM bersubsidi, khususnya Solar, mulai 1 Agustus 2014.
"Dalam undang-undang nomor 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014, volume kuota BBM bersubsidi dikurangi. Dari 48 juta kilo liter (kl) menjadi 46 juta kl. Untuk menjalankan amanat kebijakan tersebut, maka BPH Migas telah mengeluarkan surat edaran tentang pembatasan solar dan premium. Agar, kuota 46 juta KL bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014," ujarnya melalui siaran pers kemarin (1/8).
BACA JUGA: Harga Gula Anjlok, Petani Rugi Ratusan Juta
Kebijakan tersebut dimulai pada wilayah Jakarta Pusat dengan menghilangkan penjualan Solar bersubsidi. Kemudian, pembatasan solar bersubsidi bakal diberlakukan di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali pada 4 Agustus. Pertamina bakal membatasi waktu penjualan solar hanya mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 untuk wilayah atau cluster tertentu.
"Penentuan cluster tersebut difokuskan untuk kawasan industri, pertambangan, perkebunan. Serta, wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan. Di wilayah itu rawan penyalahgunaan solar bersubsidi. Sedangkan, SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar. Kalau wilayah yang sudah menerapkan pembatasan seperti Batam, Bangka Belitung dan beberapa wilayah Kalimantan, penerapannya seusai aturan pemerintah daerah," imbuhnya.
BACA JUGA: Investasi Naik, Penyerapan Tenaga Kerja Membaik
Selain itu, lanjut dia, alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur BBM nelayan juga bakal dipotong sebesar 20 persen. Hal tersebut dengan memprioritaskan kebutuhan kapal nelayan di bawah 30 gross tonnage (GT).
"Tahap selanjutnya, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi. Terhitung mulai tanggal 6 Agustus 2014 hanya menjual Pertamax series. Saat ini total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah tersebut, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region III (Jawa bagian Barat) dan 2 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur)," terangnya.
Dia menambahkan, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan pengusaha SPBU yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas).
Dari segi konsumen, perseroan pun telah menyediakan mediba spanduk yang dipasang di setiap SPBU. "Kami juga memastikan pasokan Pertamax Series tersedia secara cukup di seluruh SPBU," katanya.
Soal realisasi, pihaknya mencatat akumulasi konsumsi solar bersubsidi mencapai 9,12 juta kl per 31 Juli 2014. Itu sekitar 60 persen dari kuota APBNP-2014 untuk PT Pertamina (Persero) sebesar 15,16 juta kl. Sedangkan, realisasi konsumsi premium bersubsidi pada periode yang sama mencapai 17,08 juta kl. Atau, 58 persen dari kuota APBNP-2014 untuk Pertamina sebesar 29,29 juta kl.
"Dengan kondisi tersebut, masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa ini untuk kepentingan bangsa dan negara. Sehingga, penyediaan BBM bersubsidi bisa cukup sampai dengan 31 Desember 2014," ungkapnya.
Sementara itu, perusahaan bus pariwisata mulai ancang-ancang mengatur kebijakan baru menghadapi rencana pembatasan solar subsidi mulai 4 Agustus 2014 ini. Potensi terbesar adalah dilakukan penyesuaian harga alias terjadi kenaikan tarif atas sewa jasa moda transportasi ini.
Head of Public Relations Blue Bird Group, Teguh Wijayanto, mengatakan pihaknya masih menunggu sosialisasi resmi dari pemerintah termasuk hasil keputusan dari Organisasi Angkutan Darat (Organda).
"Kalau memang kita (bus pariwisata) termasuk kena dampak signifikan ya melakukan penyesuaian harga," ungkapnya kepada Jawa Pos, kemarin.
Penyesuaian harga perlu dilakukan karena berlakunya jam penjualan solar bersubsidi bisa berdampak kepada banyak hal. Terutama kepadatan di SPBU karena terjadi pembelian solar bersubsidi pada momen yang sama.
Padahal bus pariwisata sulit untuk ikut mengantri karena terkait dengan layanan kepada para penyewa. Sebagai langkah antisipasi maka pihaknya siap-siap membeli solar non subsidi yang harganya lebih mahal.
Di luar dari itu, kata Teguh, pihaknya berharap ada pengecualian bagi bus pariwisata sehingga masih bisa membeli solar bersubsidi seperti biasa. "Sekarang coba saja kita ukur, berapa besar sih signifikansinya dari bus pariwisata? Asumsi saya selisihnya tidak banyak karena frekuensi dan volume bus pariwisata ini juga tidak banyak," kata dia.
Padahal, menurutnya, peran dari bus pariwisata bukan hanya sekadar untuk kegiatan wisata. Blue Bird misalnya selain armadanya melayani kebutuhan berwisata juga melayani antar jemput sekolah dan antar jemput karyawan perusahaan.
"Bus ini kan muatannya banyak. Masih lebih ramah lingkungan dibandingkan jika ternyata nanti dilakukan penyesuaian harga dan orang-orang merasa kemahalan lalu akhirnya pilih bawa kendaraan sendiri-sendiri. Kan jadi beban juga," pikirnya.
Data statistik Kementerian Perhubungan mencatat pada 2012 terdapat sebanyak 14.984 bus pariwisata di Indonesia atau meningkat 40 persen dibandingkan 10.667 unit pada 2008.
Dalam catatan yang diterbitkan rekap lima tahunan itu diketahui bahwa armada bus pariwisata paling banyak terdapat di provinsi DKI Jakarta mencapai 4.727 unit diikuti Jawa Tengah (2.630 unit), Jawa Barat (2.372 unit), Jawa Timur (1.441 unit), dan Bali (1.255 unit). (bil/gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Organda Minta Harga BBM Bersubsidi Dinaikkan
Redaktur : Tim Redaksi