jpnn.com - JEMBER – Manisnya gula tak semanis harga gula yang dipanen petani tebu di Jember. Selain rendemen yang menurun, seperti telah ditetapkan Pabrik Gula (PG) Semboro, harga lelang penjualan gula milik sejumlah petani di Jember anjlok. Akibatnya, petani merugi. Bahkan, sebagian trauma menanam tebu pada masa tanam berikutnya.
Samuji Zarkasih, petani tebu asal Semboro, mengaku rugi hingga ratusan juta rupiah.
BACA JUGA: Investasi Naik, Penyerapan Tenaga Kerja Membaik
"Rendahnya rendemen tebu yang ditetapkan pabrik berdampak pada pendapatan petani. Padahal, harga sewa lahan dan biaya produksi terus naik,” katanya.
Menurut Samuji, biaya untuk 1 hektare lahan tebu bisa mencapai Rp 22 juta dalam satu masa tanam. Untuk penjualan hasil panen dengan asumsi rendemen dan harga jual gula yang anjlok, dia hanya mampu menerima hasil dari jerih payahnya sekitar Rp 16 juta.
BACA JUGA: Organda Minta Harga BBM Bersubsidi Dinaikkan
”Bukannya untung, petani malah rugi. Apalagi petani yang lahannya hasil dari menyewa,” ujarnya.
Bukan hanya itu, jelas Samuji, biaya perawatan tinggi yang ditambah sulitnya memperoleh pupuk juga menjadi persoalan tambahan yang membuat petani semakin merasa sulit. Terlebih, tidak ada solusi untuk petani tebu.
BACA JUGA: Tahun Ini, Pajak Kejar Sektor Tambang
”Modal tanam tebu sekarang sangat tinggi. Kalau tidak ada solusi terkait rendahnya rendemen tebu, saya rasa banyak petani tebu yang akan beralih menanam padi atau palawija,” ungkapnya.
Yang bakal dilakukan Samuji misalnya. Dari total 150 hektare lahan tebu yang dimilikinya, sekitar 50 hektare bakal ditanami komoditas lain yang lebih menguntungkan. ”Daripada harus menanggung rugi, terpaksa harus saya ubah ke tanaman lainnya,” kata dia.
Ketua Paguyuban Petani Tebu Rakyat (PPTR) Jember Mohammad Ali Fikri mengatakan, rendahnya rendemen tebu tersebut akan dirasakan petani tebu pada saat panen yang diprediksi September 2014.
”Mungkin saat ini belum terasa dampaknya. Karena tebu petani masih belum banyak ditebang. Namun, rendahnya rendemen tebu akan menjadi gejolak petani pada saat panen dan giling di bulan September,” kata tokoh petani tebu tersebut.
Sementara itu, Holiq Nawawi, sekretaris tim lelang gula petani PG Semboro, mengakui bahwa harga jual gula petani menurun drastis. Sebagaimana yang terjadi di lelang pertama pada 25 Juni lalu, harga gula petani hanya laku Rp 8.570 per kilogram.
Kondisi itu lebih parah saat lelang kedua pada 7 Juli: harga gula petani terus melorot ke Rp 8.525 per kilogram. ”Harga itu sangat jauh jika dibandingkan pada bulan yang sama di tahun lalu. Tahun lalu harga gula bisa Rp 9.500 setiap kilogramnya,” ungkap dia.
Holiq menilai anjloknya harga gula milik petani tidak terlepas dari pengaruh impor gula yang dinilainya tidak tepat waktu. Apalagi, menteri perdagangan yang saat itu dijabat Gita Wirjawan mengeluarkan kebijakan impor gula saat menjelang musim giling tebu. ”Supply and demand pada gula tidak seimbang. Banyaknya gula impor membuat harga gula petani anjlok,” jelasnya.
Masih kata Holiq, turunnya rendemen tebu yang semula (2013) masih ada pada kisaran 7,25 persen ini menjadi 6,75 persen diakuinya semakin mempersulit kondisi petani tebu.
”Kami sudah melakukan musyawarah dengan pihak PG agar rendemen bisa naik menjadi 8 persen. Namun sayang, bukannya naik, malah menjadi turun,” sesalnya. (rul/har/JPNN/c9/bh)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Renegosiasi Freeport Tingkatkan Ekspor
Redaktur : Tim Redaksi