jpnn.com - JAKARTA - PT Pertamina (Persero) membukukan laba bersih USD 2,66 miliar hingga Oktober 2024 dari pendapatan mencapai USD 62,5 miliar selama periode itu.
Jika dikonversi ke nilai tukar rupiah, laba bersih USD 2,66 miliar itu setara dengan lebih dari Rp 42 triliun, berdasarkan nilai tukar Rp 15.905 per dolar AS per 3 Desember 2024.
BACA JUGA: Pertamina International Shipping Tanam 10 Ribu Mangrove
Pencapaian ini menunjukkan kemampuan Pertamina untuk tetap mempertahankan performa keuangan meskipun menghadapi dinamika pasar yang menantang.
"Sampai dengan Oktober 2024 ini kita telah membukukan laba bersih 2,66 miliar dolar AS dengan revenue 62,5 miliar dolar AS," kata Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Selasa (3/12).
BACA JUGA: Pertamina Patra Niaga Regional JBB Gelar UMK Baking Class
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kinerja Pertamina mencatat fluktuasi yang dipengaruhi oleh harga komoditas dunia.
Pada 2022, perusahaan mencatat laba bersih USD 3,81 miliar dengan pendapatan USD 84 miliar. Meski revenue menurun menjadi USD 75,8 miliar pada 2023, laba bersih justru meningkat menjadi USD 4,4 miliar.
BACA JUGA: Pertamina NRE Raih Gold Rating di Ajang Asia Sustainability Reporting Rating 2024
Penurunan pendapatan pada 2023 terutama disebabkan oleh koreksi harga komoditas global.
Namun, Pertamina berhasil memaksimalkan keuntungan melalui strategi profitabilitas yang lebih baik di sektor hilir (downstream).
Sementara itu, sektor hulu mengalami penurunan akibat fluktuasi harga minyak dunia.
"Revenue menurun ini karena didominasi oleh harga komoditas dunia, sehingga kita bisa memaksimalkan posisi-posisi di-downstream lebih profitable. Sementara, di hulu memang terkoreksi karena harga minyak dunia juga menurun," ucap Wiko.
Di tengah tekanan bisnis pada 2024, sektor midstream, khususnya kilang, menghadapi tantangan berat.
Situasi ini juga dialami oleh kilang-kilang di berbagai negara yang harus berjuang untuk menjaga kelangsungan operasional.
Namun, Pertamina tetap berupaya menjaga stabilitas bisnisnya melalui berbagai strategi efisiensi dan investasi.
"Kami perlu menceritakan bahwa di tahun 2024 ini kita mengalami situasi yang sangat memberikan pressure di business midstream, khususnya di kilang. Dan ini dibuktikan dengan hal serupa terjadi juga di banyaknya kilang-kilang di dunia yang harus struggle untuk menjalankan operasionalnya," terangnya.
Selama 2024, Pertamina telah mengalokasikan investasi sebesar USD 4,7 miliar untuk mendukung berbagai proyek strategis, dengan prioritas pada sektor hulu yang bertujuan meningkatkan produksi minyak.
Pertamina juga menunjukkan keberhasilannya dalam optimalisasi biaya, mencatatkan efisiensi sebesar USD 780 juta sepanjang 2024.
Efisiensi ini diperoleh melalui berbagai inisiatif seperti penghematan biaya, pengelolaan anggaran yang lebih efektif, dan penciptaan pendapatan tambahan.
"Tentu saja sebagai semangat dari holding-subholding, kita terus melakukan efisiensi, yang mana di 2024 ini kita sudah membukukan cost optimization sebesar USD 780 juta terdiri dari kegiatan cost saving, cost affordance, dan revenue generators," papar Wiko.
Sebagai perusahaan milik negara, Pertamina terus memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
Pada 2023, perusahaan menyetor pajak, dividen, dan bonus tanda tangan sebesar Rp 304 triliun.
Ini menjadikan Pertamina sebagai salah satu penyumbang pajak terbesar di Indonesia.
"Menjadi Badan Usaha Milik Negara penyumbang pajak terbesar di negara kita," ujar dia.
Selain itu, Pertamina juga berperan aktif dalam mendukung industri dalam negeri melalui pembelanjaan produk lokal.
Pada 2023, belanja produk dalam negeri mencapai Rp 374 triliun, menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan bagi berbagai sektor.
Diperkirakan multiplier effect dari pembelanjaan barang domestik ini mencapai Rp 1.900 triliun, menciptakan lapangan kerja bagi sekitar 4,1 juta pekerja di seluruh Indonesia.
"Tahun lalu kita juga berhasil merealisasikan belanja produk dalam negeri dan menghasilkan Rp 374 triliun. Kalau kita estimasikan multiplier efeknya atas pembelanjaan barang domestik ini kita menghasilkan Rp 1.900 triliun, yang mana 4,1 juta pekerja terlibat di dalam kegiatan kita," kata Wiko. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi