jpnn.com, DUBAI - PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) memaparkan inovasinya dalam pembuatan lahan basah untuk mengelola limbah air terproduksi dampak dari kegiatan operasionalnya pada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB 2023 atau Conference of the Parties (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
Inovasi berbasis alam atau Nature-Based Solution (NBS) itu dilakukan untuk mengelola limbah air terproduksi atau limbah air terbuang pascaproses produksi energi.
BACA JUGA: Hadiri COP-28 di UEA, Pertamina Tegaskan Komitmen NZE 2060
Pengelolaan limbah air terproduksi dilakukan dengan lahan basah buatan (Constructed Wetland) yang berbasis teknologi hidro.
Lahan basah buatan dibentuk dengan teknik hydraulic loading rate, sehingga pengelolaannya cukup menggunakan gravitasi.
BACA JUGA: Pertamina Group Raih Predikat Leadership AA di Ajang ESG DT Awards 2023
PHR telah membangun lahan basah buatan seluas 5.000 meter persegi di salah satu wilayah kerja Blok Rokan.
Ini merupakan proyek awal inovasi pengelolaan limbah perusahaan.
BACA JUGA: Mantap! 15 Peserta Pelatihan Welder Pertamina Berhasil Meraih Sertifikat BNSP
Saat ini, PHR sedang mengembangkan 14 konstruksi lahan basah di wilayah kerjanya.
Vice President Facility Engineering PHR Erwin Sinisuka mengatakan pengembangan lahan basah buatannya merupakan salah satu upaya nyata PHR dalam menjalankan operasional ramah lingkungan yang sesuai dengan standar lingkungan hidup.
“Kami membuat lahan basah agar air buangan bisa terkelola dengan baik sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” katanya.
Pembuatan lahan basah bukan hanya sebagai aktivitas pengelolaan limbah, melainkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.
“Masyarakat akan selalu menjadi pusatnya, karena keterlibatan mereka bisa menjadi kunci sukses pengelolaan lahan basah,” imbuh Erwin.
PHR turut berkolaborasi dengan masyarakat setempat untuk mengelola lahan basah tersebut. Bahan dan tanaman penyangga yang digunakan di lokasi tersebut berasal dari lokal.
Salah satunya sabut kelapa yang digunakan sebagai penyaring.
Selain itu, air yang sudah disaring bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, sehingga tidak ada yang terbuang.
Vice President Upstream Business Operational Excellence Health, Safety, and Environmental PHR I Nyoman Widaryantha Naya menambahkan dengan hadirnya lahan basah buatan ini turut menjadi wilayah serapan air yang dapat mengurangi risiko terjadinya banjir.
“Lahan basah buatan ini juga banyak manfaat lainnya untuk masyarakat. Warga setempat juga kini menggunakan kawasan tersebut menjadi jalur transportasi skala kecil dengan menggunakan perahu,” ujar Nyoman.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti menyatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan NBS, dimana 15 persen potensi NBS dunia ada di Indonesia.
Melihat beragam potensi tersebut, pemerintah akan mengembangkan peta jalan karbon biru. Adanya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon memperkuat pengoptimalan karbon biru ini.
“Sektor kelautan dan karbon biru juga akan kami masukkan ke dalam target Nationally Determined Contribution,” ucap Nani.
Dalam sesi tersebut, turut hadir Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manopo. Menurutnya, karbon biru adalah bagian dari adaptasi iklim melalui resiliensi ekosistem.
Selain itu, turut hadir Asisten Wakil Sekretaris Kementerian Perubahan Iklim dan Lingkungan UEA Mohamed Salman Alhammadi, Senior Natural Resources Management Specialist World Bank Ambroise Beriner, Presiden Direktur Sucofindo Jodi Triananda Hasjim, dan Executive Director of the Tropical Forest Alliance World Economic Forum Jack Hurd. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertamina Group Raih Sertifikat ISO22301:2019
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian