jpnn.com - Susi Sugiyanti merupakan guru TK Negeri Pembina Kupang, NTT. Dengan kesabaran dan ketelatenan ekstra, dia mendidik anak-anak TK.
FERLYNDA PUTRI, Kupang
BACA JUGA: GPIB Mempunyai Andil Jaga Toleransi di Indonesia
”Bu Susi, Bu Susi… Dia makan babi. Kenapa saya tidak boleh?” Pertanyaan itu terngiang di benak Susi. Pertanyaan tersebut datang dari muridnya yang muslim. Di Kupang, pemeluk Kristen dan Katolik mayoritas.
”Nak, teman-teman kita boleh makan. Tapi, agama kita tidak membolehkan makan babi. Kan kita salat, teman-teman kita ke gereja,” jawab Susi ketika itu.
BACA JUGA: Ketua BK DPD RI Ajak Sesama Anak Bangsa Menjaga Toleransi
Pertanyaan-pertanyaan seputar perbedaan agama sering diterima Susi. Perempuan 64 tahun itu sadar bahwa dirinya harus menjawab dengan bijak. Jangan sampai jawabannya justru menimbulkan jarak yang semakin lebar.
Perempuan asli Jawa Barat tersebut paham, untuk menanamkan toleransi kepada anak TK, dibutuhkan perlakuan khusus. Sebab, anak-anak sangat sensitif dengan perbedaan tersebut. Karena alasan itu pula, Susi menginisiatori kegiatan untuk menunjukkan indahnya keberagaman.
BACA JUGA: BaraJP DKI Imbau Hargai Perbedaan
Misalnya, perayaan Natal yang dikombinasikan dengan tahun baru. Dengan cara itu, murid muslim maupun nonmuslim bisa sama-sama tampil.
”Di sini, pemahaman anak-anak yang muslim juga kurang,” katanya. Susi lantas mengusulkan kepada kepala sekolah dan para guru untuk membuat program keagamaan setiap Jumat.
Pada hari itu, anak-anak dipisah sesuai agama yang dianut. Mereka lalu mendapat pelajaran ilmu agama masing-masing. Susi kemudian mengampu pelajaran agama Islam, selain menjadi guru kelas.
Menjadi guru memang panggilan hatinya. Setelah lulus SMA, Susi sempat mengajar di Subang, kampung halamannya. Kemudian, Susi ikut Didin Wahyudin, suaminya, yang menjadi guru PNS di Kupang. ”Suami yang mendorong untuk kuliah di Universitas Terbuka,” tutur ibu dua anak itu.
Berkat pengabdiannya, tahun lalu Susi mendapat anugerah sebagai guru TK berprestasi tingkat nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Susi tidak menyangka bahwa dirinya bisa meraih penghargaan tersebut. Awalnya, dia hanya coba-coba. Susi mengikuti seleksi mulai tingkat kota. Dia jadi juara.
Begitu juga di tingkat provinsi. Akhirnya, Susi berangkat ke Jakarta. ”Saya hanya ingin ke Jakarta biar ketemu guru se-Indonesia. Pasti ada ide mengajar yang bisa saya contoh,” tutur dia.
Dia membikin karya tulis tentang pentingnya melatih kreativitas anak lewat menggambar. Karya tulis yang berdasar pengalaman sehari-hari itu menjadi kuncinya menjadi guru berprestasi. Dia melihat bahwa anak usia TK suka menggambar.
Kegiatan tersebut berbeda dengan baca-tulis-hitung (calistung). Aktivitas menggambar, menurut Susi, bisa melatih motorik halus anak. Terutama saat anak diajari cara memegang pensil warna, krayon, atau alat warna lain.
Tidak hanya ke Jakarta, berkat pengabdian tulusnya, Susi mendapat hadiah ke Denmark. Ada 32 guru dan tenaga pendidik lain yang diberangkatkan ke negara itu. Susi dan rombongan berangkat pada 27 Oktober lalu. Mereka tinggal di sana hingga 12 November.
Susi merasa beruntung karena mendapatkan banyak ide untuk kegiatan mengajarnya. ”Di sana, sama rata antara guru dan siswa. Guru memotivasi untuk berinovasi,” terang dia. Murid-murid TK di Denmark diajari untuk memulai pelajaran dari satu kasus.
Mereka lalu dibiarkan untuk menyelesaikan sendiri masalah tersebut. ”Pendidikan anak usia dini itu didesain dengan bermain,” ujarnya. Karena itu, situasi dalam kelas dibuat menyenangkan.
”Ketika murid di Denmark itu ditanya apakah senang belajar, pasti 90 persen menjawab senang,” jelas dia. Hal itu bermula dari guru. Guru sudah seharusnya menjadi fasilitator.
Susi berniat menerapkan beberapa hal yang didapat dari Denmark. Kepala sekolah dan semua guru di sekolahnya juga setuju.
TK Negeri Pembina itu menerapkan sistem belajar sentra. Anak-anak dibagi dalam tim kecil. Dalam seminggu, ada satu tema yang diselesaikan. Saat Jawa Pos berkunjung ke TK tersebut pekan lalu, murid-murid diajari tema menanam.
Untuk sentra persiapan, mereka dikenalkan dengan nama-nama tumbuhan dan proses menanam. Ada juga sentra balok yang mengajarkan pengelompokan tumbuhan dalam satu petak berdasar jenisnya. ”Sentra ini cocok untuk pembelajaran yang saya contoh dari Denmark. Anak belajar lewat bermain,” kata Susi.
Selain kegiatan belajar dan mengajar, Susi juga mendapatkan pengalaman dari mendatangi perpustakaan di Denmark. Dia kagum karena perpustakaan itu dikunjungi anak-anak hingga lansia.
Menurut dia, hal tersebut bisa terwujud lantaran perpustakaan itu menyediakan apa saja kebutuhan warga. Bahkan, layanan pembuatan paspor. ”Pemerintah di sana memantau warga. Kalau tidak bekerja, pasti belajar. Tidak ada yang menganggur,” ungkapnya.
Menurut cerita yang didapat Susi dari seorang mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Denmark, pejabat setingkat kecamatan memantau warga yang akan memiliki anak. Calon orang tua dibekali cara mendidik anak. Tumbuh kembang si kecil pun diperhatikan oleh negara. Di usia enam bulan, anak diwajibkan untuk bersekolah.
Kalau tidak setuju, orang tua harus berkomitmen mengajari anaknya. Nanti ada tes yang dilakukan oleh negara.
Semangat belajar yang tumbuh secara holistis itu membuat Susi termotivasi. Jika hal itu belum bisa diterapkan di Indonesia sekarang, dia mencoba untuk memulainya dari diri sendiri. Dia menyadari bahwa tugasnya untuk mendidik anak usia dini tidak mudah.
Anak-anak itu berada dalam usia emas. Tentu modal untuk semua itu adalah ikhlas. Meski sarana terbatas, Susi tidak malas. (*/c11/oni)
BACA ARTIKEL LAINNYA... OSO: Jaga Kerukunan dan Toleransi di Tahun Politik
Redaktur : Tim Redaksi