Pertemuan G20 di Bali Harus Melahirkan Kesepakatan Ketersediaan Pangan Global

Kamis, 03 November 2022 – 19:16 WIB
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) saat ini sudah berada di Amerika Serikat dengan sejumlah agenda, salah satunya menghadiri pertemuan dengan para Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 di Washington DC. Foto: Dokumentasi Kementan

jpnn.com, JAKARTA - Indonesia perlu meningkatkan fungsi kerja sama bilateral dengan negara-negara tetangga. Hal itu diungkapkan dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Ronnie S Natawidjaja. 

Menurutnya, hal itu penting untuk menjaga ketersediaan pangan nasional di balik ancaman krisis pangan global. 

BACA JUGA: Indonesia Bisa jadi Masa Depan Lumbung Pangan Dunia

Ronnie mengatakan pertemuan G20 di Bali pada 15-16 November mendatang harus bisa melahirkan kesepakatan-kesepakatan strategis dalam menjaga ketersediaan pangan.

"Kesepakatan antarnegara harus dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan ke depan. Fungsi kerja sama bilateral harus ditingkatkan lagi," kata Ronnie ketika dihubungi, Jumat (28/10).

BACA JUGA: Ganjar Optimistis Petani Milenial di Jateng Bisa Wujudkan Kedaulatan Pangan

Berbeda dari Ronnie, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menekankan pentingnya kolaborasi global untuk mengatasi krisis pangan yang kini mengancam banyak negara di dunia.

Kolaborasi memungkinkan memitigasi dan mengatasi triple krisis yaitu energi, pangan, dan keuangan.

BACA JUGA: Pemerintah Harus Fokus Jaga Stabilitas Harga Pangan untuk Tumbuhkan Kepuasan Publik

Syahrul menjelaskan sebagai bagian dari komunitas global, G20 berkomitmen mendukung peran krusial dari sektor pertanian dalam menyediakan pangan dan gizi bagi semua orang.

Selain itu, menjamin pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. 

Dalam berbagai kesempatan, Syahrul berulangkali menegaskan bahwa kunci mengatasi krisis pangan global adalah kebersamaan.

"Tidak boleh ada negara yang terlewatkan dan tertinggal, kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang," tegas Syahrul.

Ronnie menjelaskan kerja sama bilateral itu bisa diwujudkan dalam sistem barter. Masing-masing negara memberikan yang terbaik yang dimiliki.

"Misal, Indonesia banyak produksi buah, lalu Australia banyak memproduksi gandum. Ini bisa saling tukar, barter. Jadi, stok (pangan) aman, dan harga pun bisa dikontrol," jelas Ronnie.

Indonesia, kata dia, tak perlu memaksakan diri untuk menghasilkan komoditas tertentu yang memang tidak bisa diproduksi secara maksimal.

Sebaliknya, Indonesia mesti meningkatkan potensi yang ada untuk kemudian dijadikan komoditas unggulan.

Ronnie mengambil contoh komoditas kedelai. Dia mengatakan faktor geografis, yaitu penyinaran matahari, membuat produksi kedelai nasional tidak mampu mengimbangi produksi kedelai dari China.

"Kedelai kita itu wangi dan bulirnya besar tetapi butuh penyinaran yang lama. Penyinaran bisa dibantu oleh penggunaan lampu di green house teapi dijualnya jadi mahal nanti. Sudah kita pakai kedelai dari China, lalu kita kasih apa yang China butuhkan yang ada di kita. Itu namanya memaksimalkan potensi kerja sama bilateral," ungkapnya.

Ronnie juga mencontohkan komoditas gandum yang bisa didapat dari Australia. Menyusul krisis yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, pasokan gandum ke Indonesia menjadi terhambat. 

"Harganya pun naik 35%. Dan sepertinya akan naik lagi. Kita bisa minta Australia untuk support kebutuhan gandum kita," pungkasnya. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler