Perusahaan Tolak Beli Sawit Warga

Jumat, 16 November 2012 – 12:53 WIB
SENGETI– Petani kelapa sawit (non plasma) makin resah. Selain harga tandan buah segar (TBS) yang makin anjlok (Rp200-500 perkilo), sejumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik perusahan perkebunan sawit juga tidak mau membeli buah kelapa sawit petani non plasma. Penolakan PKS ini terjadi di beberapa daerah di Kabupaten Muarojambi.

Berdasarkan laporan yang diterima Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Muarojambi,  penolakan pembelian buah sawit petani non plasma diantaranya terjadi di Sungai Gelam, Sengeti, dan Kumpeh. Namun, Dishutbun tidak menyebutkan nama-nama perusahaan atau PKS yang menolak membeli buah sawit warga tersebut.

Akibat penolakan perusahaan itu, warga Sungai Gelam mulai kehilangan mata pencarian dan perekonomian menjadi hancur. Kondisi terparah terjadi di Desa Sumber Agung, Kecamatan Sungai Gelam, yang warganya banyak memiliki sawit nonplasma.

“Kita sudah kehilangan mata pencarian, sebab perusahaan tidak mau lagi menerima sawit kami,” kata Yanto, salah seorang warga Sungai Gelam.
Masyarakat saat ini mulai dipusingkan dengan kebutuhan hidup yang tinggi, sementara pemasukan tidak ada. Sebab, sebagai daerah terpencil, harga kebutuhan sehari-hari di sana lebih mahal.

Warga khawatir, jika kondisi itu berlangsung lama akan berdampak pada sekolah anak-anak mereka. Sebab menurut Yanto, tidak menutup kemungkinan sekolah ataupun kuliah anak-anak mereka akan dihentikan. Karena memang tidak ada lagi uang untuk membiayai kebutuhan anak mereka. “Untuk hidup saja susah, bagaimana bisa membiayai anak sekolah,” keluhnya.

Sementara itu, di Sungai Bahar, PKS milik PTPN VI  membeli buah kelapa sawit petani non plasma di bawah standar harga yang ditetapkan provinsi. Akibatnya, terjadi gejolak di masyarakat. Untuk mengantisipasi keresahan warga dan hal-hal yang tidak diinginkan, Dishutbun Muarojambi berencana memanggil seluruh pimpinan perusahaan kepala sawit yang beroperasi di wilayah Muarojambi, Senin mendatang.

Kepala Dinas Hutbun Muarojambijambi, Budi Hartono mengatakan,  pemanggilan tersebut terkait keluhan masyarakat di berbagai tempat, tentang penolakan PKS untuk membeli sawit mereka yang bukan non plasma. “Nanti dalam pertemuan tersebut, kita akan ajak berembuk, antara Apkesindo dan para pimpinan perusahaan, untuk mengambil jalan tengah menyelesaikan masalah ini,” katanya Rabu (14/11) lalu.

Menurut Budi, beberapa alasan penolakan dari perusahaan telah dia terima. Rata-rata, perusahaan menyatakan tanki CPO mereka telah penuh. Sehingga mereka tidak bisa lagi menampung sawit warga. Terutama sawit petani non plasma. “Karena mau ditempatkan di mana lagi sawit tersebut, sementara tanki-tanki mereka sudah penuh. Itu alasan mereka,” ungkapnya.

Budi menyayangkan adanya kejadian tersebut. Tapi, karena masalah ini merupakan masalah global yang tidak hanya terjadi di kabupaten Muarojambi saja, maka mau tidak mau ini akan terjadi. Menurut Budi, kondisi sekarang lebih parah dari tahun 2008.  ‘’ Tahun 2008, meski harga sawit murah, tapi perusahaan masih mau dibeli. Tapi sekarang, meski harga masih sedikit tinggi, tapi perusahaan sudah tidak bisa menampung lagi,’’ katanya.

Mengenai harga beli PTPN VI dibawah standar harga yang ditetapkan pemprov, Budi mengatakan keluhan warga telah dia tanggapi. “Begitu mendengar kabar PTPN membeli sawit di bawah standar, bupati langsung menginstruksikan saya untuk ke Sungai Bahar,” terangnya.

Hasil pantauannya di lapangan, menurut Budi, PTPN VI memang membeli buah sawit lebih murah dari standar provinsi. Pada Rabu lalu PTPN VI membeli sawit warga dengan harga Rp 780 per kg. Sementara, standar ketetapan provinsi sebesar Rp 1.228,69 per kg. Perbedaan harga tersebut cukup mencolok sekali, sehingga diprotes warga.

Terpisah, Beny, Kepala Bagian Sekretariat Humas PTPN VI ketika dihubungi Jambi Independent mengatakan,  perbedaan harga sawit di PTPN dikarenkan, BUMN tersebut mengikuti ketetapan harga pasar dunia. “ Kalau harga pasarnya bagus, kita akan lebih di atas dari ketetapan. Tapi, karena harganya di bawah, kita mengikuti,” jelasnya.

Mengenai penolakan pembelian sawit pertani non plasma, menurut Beny, terjadi lantaran sistem pengangkutan CPO yang tidak lancar. Sehingga kerap terjadi keterlambatan pengangkutan. Akibatnya, CPO yang ada di perusahaan penuh dan tak bisa melakukan pembelian. “Kalau pengapalannya lancar, kita pasti bisa menampung sawit warga,” tegasnya. (iis)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 9 Negara Adu Kemampuan di Ajang ASC

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler