jpnn.com, JAKARTA - Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo, Kamis (16/8) mengandung sejumlah pesan kebangsaan kuat yang ditujukan pada elite politik, elite agama dan rakyat untuk mengutamakan pentingnya penyelenggaraan kontestasi politik berjalan aman dan damai. Jokowi merujuk keberhasilan penyelenggaraan pilkada serentak 2017 dan 2018 yang tidak mengoyak kebinnekaan, sebagai contoh bahwa kondisi aman dan damai itu karena kemajemukan kita diikat oleh satu ideologi bangsa, yakni Pancasila.
Namun demikian, pesan-pesan elektoral tetap terselip dalam pidato Jokowi, yang pada intinya merangkul umat Islam, memajukan ekonomi Islam, dan mendorong peran ulama dalam mengatasi pandangan-pandangan keagamaan radikal.
BACA JUGA: Pidato Presiden: 2019 Gaji PNS dan Pensiunan Naik
“Jokowi juga menyelipkan pesan elektoral penting, yakni mempercepat penyelesaian pelanggaran kasus-kasus HAM masa lalu, suatu agenda yang selama empat tahun hanya tertulis dalam Nawacita tetapi tidak ada tindakan nyata yang terukur,” kata Hendardi kepada wartawan, Kamis (16/8).
Menurut Hendardi, nuansa merangkul umat yang ditunjukkan Jokowi bisa saja dipandang sebagai hal biasa, karena kapasitasnya sebagai Kepala Negara bukan kontestan Pilpres. Apalagi pernyataan tersebut merujuk pada keberhasilan pilkada serentak 2017 dan 2018 yang aman dan damai. Secara implisit Jokowi ingin menegaskan bahwa politisasi identitas yang subur di tengah lingkungan intoleran dan radikal bisa dikurangi pada Pilkada 2017 dan 2018 dan berharap tidak juga akan terjadi pada Pemilu 2019.
BACA JUGA: Jokowi: Insyaallah Pemilu 2019 Aman dan Demokratis
Meskipun demikian, pada batas-batas tertentu pernyataan Jokowi juga dapat dikualifikasi sebagai politisasi identitas, sesuatu yang oleh koalisi Prabowo-Sandi amat aktif dimainkan untuk menundukkan Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilgub DKI Jakarta 2017.
Politik identitas memang melekat dalam kehidupan politik suatu bangsa tetapi bisa dihindari daya rusaknya. Hal yang terlarang adalah mengeksploitasi politik identitas untuk menundukkan lawan politik dan memperluas konstituensi baru karena praktik ini menegasikan politik gagasan yang semestinya menjadi variabel utama dalam menentukan pilihan.
BACA JUGA: Sidang Tahunan MPR Tanpa Kehadiran SBY Lagi
“Jadi, nuansa-nuansa politisasi identitas yang disampaikan Jokowi pada Pidato Kenegaraan 2018 sama sekali tidak memiliki daya rusak. Pun Jokowi telah selesai mempraktikkan politik identitas sebagai pertimbangan saat menentukan Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden awal Agustus lalu,” katanya.
Terkait pesan elektoral percepatan pelanggaran HAM, selain ditujukan untuk membangun citra diri sebagai peduli HAM, pidato itu pun mengingatkan publik pada sosok lawan Jokowi, yakni Prabowo Subianto, yang diduga sebagai aktor yang terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997/1998.
Pesan ini, menurut Hendardi, sulit disangkal publik, bahwa Jokowi juga mengeksploitasi ‘ketidakbersihan’ Prabowo Subianto dari dugaan pelanggaran HAM, mengingat janji penuntasan pelanggaran HAM hanya menjadi ritual bagi elite politik menjelang Pilpres. Hal yang sama juga dilakukan kubu Jokowi pada Pilpres 2014. Pernyataan Jokowi dalam pidato tersebut tidak memiliki bobot yang kuat sebagaimana pernyataan yang diucapkan setiap Kamis oleh keluarga korban dan pegiat HAM dalam aksi Kamisan, yang sungguh-sungguh menghendaki penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penghormatan Negara untuk GKR Hemas dan Dato Tahir Cs
Redaktur & Reporter : Friederich