Pesan Sri Paus Fransiskus dan Pilkada di Indonesia

Oleh: Laurens Ikinia - Wakil Direktur Institute of Paci?c Studies Universitas Kristen Indonesia Jakarta

Senin, 23 September 2024 – 09:35 WIB
Wakil Direktur Institute of Pacific Studies Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Laurens Ikinia. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Paus Fransiskus untuk pertama kalinya melakukan kunjungan bersejarah ke Indonesia dan tiga negara sahabat, Papua New Guinea, Republik Demokratik Timor Leste, dan Singapura.

Kunjungan kali ini merupakan kunjungan pertama setelah ia terpilih sebagai Pemimpin Gereja Katolik Sedunia yang berkedudukan di Roma dan sekaligus sebagai Kepala Negara Vatikan.

BACA JUGA: Gelar Diskusi Pilkada, KAHMI Jaya dan KPU DKI Ajak Masyarakat Tidak Golput

Dalam kepemimpinan Sri Paus Fransiskus banyak tradisi gereja diperbaharui. Misalnya perubahan sistem perbankan atau keuangan Vatikan.

Sistem yang tertutup menjadi lebih transparan dan accountable. Bapa Suci juga mengajak kaum klerus hidup sederhana dan berbaur dengan umat.

BACA JUGA: Pusaka Apresiasi Kesuksesan Polri-TNI Mengawal Kunjungan Paus Fransiskus

Paus penerus tongkat estafet Rasul Petrus itu mendorong gereja membuka diri menerima umat yang mengidenti?kasi dirinya bagian dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Anjuran Bapa Paus tidak terhindar dari tanggapan yang berlawanan dari kaum klerus.

Dua ensiklik

BACA JUGA: Universitas Atma Jaya Siapkan Pohon Doa Sejak Kedatangan Sri Paus Fransiskus

Paus Fransiskus, pria sederhana dan bersahaja, telah mengeluarkan empat karya kerasulan, masing-masing dua dalam bentuk ensiklik, yakni Lumen Fidei (Cahaya Iman) dan Laudato Si’ (Puji Bagi-Mu) dan dua lainnya dalam bentuk anjuran apostolik, yaitu Evangelii Gaudium (Sukacita Injil) dan Amoris Laetitia (Kegembiraan Cinta).

Dari keempat maha karya Sri Paus, ensiklik Laudato si’ mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.

Ensiklik Laudato si’ merupakan ajakan Bapa Suci kepada umat manusia untuk bertanggung jawab terhadap alam semesta.

Ia mengajak agar manusia tidak mengeksploitasi dan menyiksa. Manusia hendaknya menghormati alam semesta karena ia memberi tumbuh-tumbuhan dan memelihara kita selayaknya seorang ibu. Karena itu, merawat lingkungan atau alam semesta adalah panggilan yang perlu direspon dengan totalitas jiwa dan kerendahan hati

Panggilan kerasulan ini merupakan sebuah “timely call” berhubung dunia sedang mengalami berbagai ancaman natural devastation that leads to natural disasters. Peristiwa perubahan iklim ini dikenal dengan climate change. Belahan dunia lain telah dan tengah mengalami dampak buruk. Misalnya, negara-negara kepulauan di kawasan Pasi?k sedang mengalami kenaikan permukaan air laut.

Indonesia secara relatif masih terlihat baik-baik saja. Namun, beberapa pulau kecil yang masuk dalam wilayah integral dari negara kesatuan Republik Indonesia sedang mengalami kenaikan air laut. Hal itu memberikan dampak buruk pada keberlangsungan hidup rakyat di daerah pesisir atau dataran rendah. Contoh konkrit dampak buruk dari perubahan iklim adalah kota Jakarta.

Hasil penelitian Priska Marianne, mahasiswi magister Sains Perencanaan Kota Columbia University, Amerika Serikat, menyimpulkan, “Jakarta may soon be an old capital, but it will not stop sinking. This sinking city will still need to contend with mitigating ?oods and adapting to climate risks. Most importantly, it will need to ensure ecological security for the most vulnerable”

Kesimpulan penelitian di atas perlu menjadi catatan serius bagi Pemerintah Daerah Khusus Jakarta. Frase “sinking city” yang digunakan tentu menekankan bahwa kondisi geogra? kota Jakarta rentan terendam oleh naiknya air laut. Sebagaimana dilansir World Economy Forum (2019), diperkirakan akan ada sebelas kota di dunia yang akan tenggelam pada tahun 20100.

Kota-kota yang dimaksud antara lain Jakarta (Indonesia), Lagos (Nigeria), Houston (Te as), Dhaka (Bangladesh), Virginia Beach (Virginia-AS), Bangkok (Thailand), New Orleans (Louisiana-AS), Rotterdam (Belanda), Ale andria (Mesir), dan Miami (Florida-AS).

Rakyat Jakarta pasti menantikan siapa calon gubernur dan calon wakil gubernur yang akan memiliki kemauan politik (political will) untuk menyelamatkan kota Jakarta dari ancaman perubahan iklim ini. Masalah Jakarta merupakan masalah yang lahir dari kebijakan pemerintah sejak masa kolonial. Rancangan pembangunan yang telah diwujudnyatakan tidak akan mungkin diubah.

Di kota yang berpotensi menjadi sinking city sering menjadi host city untuk dialog dan pertemuan internasional yang membahas ihwal perubahan iklim dan pentingnya menyelamatkan bumi. Salah satu yang terbaru adalah lawatan Sri Paus. Bapa Suci menganjurkan agar Pemerintah Indonesia memiliki kehendak baik untuk menyelamatkan dan melindungi hutan.

Kunjungan Paus ke-266 itu juga menjadi momen bersejarah untuk merekatkan dan menguatkan nilai-nilai pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia. Berikut ini adalah penggalan kalimat dari sambutan Paus ketika melakukan pertemuan diplomatik dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 4 September.

“Dapat dikatakan bahwa sebagaimana samudera adalah unsur alami yang menyatukan seluruh kepulauan di Indonesia, demikian pun sikap saling menghargai terhadap kekhasan karakteristik budaya, etnis, bahasa, dan agama dari semua kelompok yang ada di Indonesia adalah kerangka yang tak tergantikan dan menyatukan yang membuat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang bersatu dan bangga.”

Penggalan kalimat di atas merupakan sebuah pengakuan atas keniscayaan yang ada pada negara bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika sekaligus sebuah panggilan kerasulan untuk bangsa Indonesia.

Kehadiran Paus kelahiran Buenos Aires, Argentina pada 17 Desember 1936 itu meninggalkan pesan tersirat kepada pemerintah agar menjalankan roda pemerintahan yang tidak memecah bela bangsa.

Satu pengalaman iman yang rakyat Indonesia tidak duga, namun dialami adalah kehadiran Paus mendatangkan penghiburan batin atas kondisi bangsa yang tidak baik-baik saja. Kebijakan negara yang tidak membawa rakyat keluar dari garis kemiskinan, praktek ketidakadilan yang masih merajalela, korupsi yang terkesan endemik dan sistemik, perampasan tanah adat milik masyarakat pribumi oleh perusahaan-perusahaan raksasa atas izin pemerintah, dan sistem ekonomi yang mendatangkan keuntungan bagi segelintir orang adalah sebagian faktor-faktor yang menimbulkan kondisi bangsa tidak baik-baik saja.

Sebentar lagi pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, bangsa Indonesia akan menyambut pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilaksanakan pada 27 November.

Publik akan mengawal proses jalannya pilkada. Berkaca pada pemilihan presiden yang diduga ada “cawe-cawe” Presiden, dalam ingatan kolektif para pecinta demokrasi ada kemungkinan cawe-cawe dari pemerintahan yang akan memimpin. Mungkinkah hal itu akan terjadi? Hanya waktu yang akan menjawab. Tugas semua elemen masyarakat adalah bersama-sama menjaga nilai-nilai demokrasi yang jujur, adik dan terbuka.

Paus Fransiskus dalam bukunya, Let Us Dream, the Path to the Future (2020:6) mengatakan, “We need a politics that can integrate and dialogue with the poor, the e cluded, and the vulnerable that gives people a say in the decisions that impact their lives”.

Anjuran ini mengandung makna yang dalam. Hal yang lazim terjadi dimana-mana, para politisi hanya memberikan janji manis alias pemberi harapan palsu kepada pemilih agar mereka dipilih. Setelah terpilih, calon yang menang atau terpilih cenderung jauh dari rakyat.

Oleh karena itu, sepenggal kalimat ajakan Bapa Suci yang diabadikan dalam buku tersebut perlu menjadi perhatian bersama. Makna yang tertulis dan tersirat dari penggalan kalimat di atas tidak jauh dari nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Indonesia secara kultur sangat menghargai pandangan dari setiap orang.

Namun akhir-akhir ini nilai-nilai luhur yang dipupuk baik dan diwariskan oleh para leluhur bangsa dan pendiri negara makin hari semakin menyusut.

Semoga dengan pergelaran pilkada tahun ini mencerminkan cita-cita bangsa sesungguhnya. “Our Greatest power is not in the respect that others have for us, but the service we can offter others,” ujar Paus Fransiskus.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler