Para peserta pertukaran pemuda Australia Indonesia atau AIYEP mendapatkan pengalaman kuliner yang luar biasa saat tinggal bersama keluarga angkat mereka di desa Sambas, Kalimantan Barat. Salah satunya dalah mencoba makanan bubur pedas, yang menjadi kekhasan desa tersebut. Ada sejarah dan hikmah dari bubur pedas.

Ribuan tahun yang lalu, manusia melakukan perjalanan ke seluruh pelosok dunia dengan mengkonsumsi makanan yang berbeda.

BACA JUGA: Australia Merebut Banyak Nominasi di Ajang Piala Oscar 2016

Beberapa dari mereka ada yang memilih gandum, hingga akhirnya menyadari jika sulit dikunyah. Kemudian gandum ini mereka tumbuk dan campur dengan air, bagi kita sekarang, pastinya bukan jenis makanan yang ingin dimakan sepertinya.

Hingga kemudian manusia pada waktu itu sadar jika makanan yang dipanggang terasa jauh lebih enak. Mereka pulai membuat adonan gandum, yang dikeringkan, kemudian dipanggang.

BACA JUGA: PM Turnbull Beri Dukungan Dalam Bahasa Indonesia

Lalu ada seorang warga Mesir yang lupa mengeringkan adonan gandum, hingga akhirnya menjadi fermentasi. Tapi ketika mereka coba panggang, rasanya jauh lebih baik! Lembut dan lebih mudah dikunyah. Inilah dari mana roti berasal.

Selalu ada cerita di balik makanan. Beberapa kemudian dicatat sebagai bagian dari sejarah makanan, ada juga yang tetap tidak diketahui sampai sekarang.

BACA JUGA: Mengenal Lebih Dekat Anak-Anak Pemungut Bola di Australia Terbuka

Peserta program pertukaran pemuda Australia dan Indonesia, atau Australia Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP) 2015-206 baru saja menyelesaikan tugas di Desa Sambas, Kalimantan Barat. 

Bagi peserta program asal Indonesia, memakan makanan Indonesia tentunya sudah biasa. Kita terbiasa dengan makanan yang pedas dan digoreng makanan, termasuk makanan yang memiliki aroma menyengat, seperti jengkol dan petai.

Tapi Indonesia memiliki memiliki keberagaman yang sangat luar biasa dalam budaya, kebiasaan, dan tentu saja makanan.

Suatu hari semangkuk bubur, yang diberi nama 'bubur pedas' disajikan oleh ibu angkat saya di Desa Sambas. Saya dan rekan saya asal Australia, Betsy, harus merasakannya.

Tapi ternyata tidak hanya kami berdua. hampir keluarga angkat dari peserta program pertukaran di Desa Sambas menghidangkan bubur pedas ini. Tentunya sesuatu yang harus dicoba, bukan?

Rupayanya bubur pedas adalah masakan tradisional di desa ini.

Saat pertama kali melihatnya, bubur ini seperti kombinasi sayur-sayuran, dengan bumbu-bumbu lembek berwarna abu-abu, yang mungkin Anda pikir perlu dibuang karena tampilannya seperti bubur yang sudah basi. 


Bubur pedas. Foto: Risni Sandra.

Tapi bubur ini memiliki aroma yang unik, berasal dari daun kesum, atau dalam bahasa Inggris lebih dikenal dengan sebutan 'mint Vietnam'. 'hot mint', 'praew leaf', 'laksa leaf', banyak sekali sebutannya untuk satu tumbuhan. Di Thailand daun ini lebih dikenal dengan istilah Phak Phai.

Awalnya saya merasa ragu-ragu untyk menuangkan sesendok bubur ini ke piring saya. Percayalah, tampilannya tidak terlalu mengunggah selera.

Kemudian, aku memakannya... dan mengejutkan, rasanya enak sekali!

Rupanya karena beras, santan, daging, dan berbagai jenis sayuran dicampur menjadi satu, saya kemudian menyadari dari mana warna abu-abu ini berasal.

Saya kemudian ingat cerita seorang pemuda Kalimantan Barat, bernama James. Ia pernah hadir saat kegiatan orientasi peserta AIYEP di Pontianak, sebelum kami pergi ke berangkat ke Desa Sambas, di minggu kedua bulan Desember lalu. Ia berbagi pengetahuan soal pengelolaan air. 

"Ketika Anda pergi ke Sambas, warga di sana akan menghidangkan bubur pedas kepada Anda, apa Anda pernah mencoba sebelumnya?" tanya James kepada kami.

Ia pun lalu menjelaskan dari mana sejarah bubur pedas ini berasal.


Saat peserta pertukarang pemudia mencoba memakan bubur pedas. Foto: Liam Taylor.

Dahulu, ketika warga desa Sambas mengalami kesulitan, mereka kehabisan makanan dan menyebabkan kelaparan.

Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah mengkonsumsi makanan apa saja yang mereka bisa konsumsi. Tetapi, tetap mereka membutuhkan cakupan semua nutrisi agar mereka kuat bekerja dan melakukan banyak kegiatan lainnya.

Caranya, mereka menggabungkan semua bahan makanan yang mereka miliki, termasuk semua bahan yang tersisa di dapur mereka.

Dari potongan sayuran dan sisa nasi, tetapi diubahnya menjadi bubur, sehingga cukup bagi semua anggota keluarga. 

Dulu konon harus ada empat puluh bahan makanan dan bumbu untuk membuat bubur pedas. Tetapi tradisi ini berubah seiring waktu.


Suasana saat mengkonsumsi bubur pedas bersama. Foto: Liam Taylor.

Sekarang warga Sambas membuat bubur pedas dengan berbagai macam sayuran. Tapi, daun kesum adalah tetap bahan utama. Bubur pedas juga tidak hanya dikonsumsi di saat tertentu, seperti saat upacara adat, tetapi dapat dimasak setiap hari.

Warga desa Sambas masih mempertahankan tradisi ini, meskipun mereka juga sudah tidak mengalami kesusahan.

Rupanya justru ini menjadi hal yang baik untuk mengingatkan kita semua. Kita bisa jadi sudah melalui masa-masa sulit sebelumnya, tapi masih bisa bertahan dan tetap rendah hati, karena pernah tahu rasanya saat semua serba kekurangan.

Tulisan ini dibuat oleh Risni Ade Sandra. Ade sedang menyelesaikan sekolahnya, yakni gelar Master Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Jambi. Ade adalah peserta Australia-Indonesia Youth Exchange dari Jambi.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menlu Bishop: Serangan Jakarta Sudah Diperkirakan Akan Terjadi

Berita Terkait