WARUREJA - Kantor UPTD Pengairan Warureja, Rabu (13/2), di geruduk puluhan petani dari dua kecamatan yakni Kecamatan Warureja dan Suradadi. Mereka meminta agar Bendungan Cipero segera dinormalisasi. Pasalnya, bendungan yang berlokasi di Pedukuhan Cipero Desa Kedungjati Kecamatan Warureja itu, sejak dua tahun terakhir mengalami pendangkalan.
"Bendungan Cipero sudah banyak lumpur dan bebatuannya. Karena itu, bendungan harus segera dinormalisasi," kata Leman, salah satu anggota Dharma Tirta Warureja.
Menurut Leman, sejauh ini, bendungan tersebut tidak pernah di normalisasi. Tak heran, bendungan mengalami pendangkalan dan mengakibatkan kurangnya pasokan air untuk lahan pertanian sekitar. "Air yang terbendung di bendungan itu, hanya terlihat semu. Contohnya, air yang terlihat 8 kubik, sebenarnya hanya 4 kubik. Hal itu terbukti ketika airnya di alirkan ke persawahan petani," papar Leman.
Pelaksana Teknis Desa Harjasari, Kartono, menyatakan, kondisi demikian sebenarnya sudah berlangsung lama. Seluruh petani juga sudah sering mengusulkan ke dinas terkait untuk adanya normalisasi. Hanya saja, Pemkab tidak pernah merealisasikan usulan tersebut bahkan terkesan diabaikan. "Sejak dua tahun ke sini, pendangkalan itu semakin parah. Tapi dari dinas tidak ada upaya apapun," keluhnya.
Kepala UPTD Pengairan Warureja-Suradadi, Hayani Pramayana Ananta AMd, saat dikonfirmasi hal itu, pihaknya mengaku tidak tahu masalah teknis air. Menurut dia, terkait dengan bendungan Cipero, merupakan kewenangan PSDA. "Saya tidak tahu masalah air. Dan saya juga belum pernah berkunjung ke bendungan Cipero selama saya menjabat di kantor ini," kata Hayani yang mengaku baru dua bulan memimpin kantor pengairan tersebut.
Sementara itu, Staf Eksploitasi UPTD Pengairan Warureja, Sugiono, membenarkan bahwa Bendungan Cipero mengalami pendangkalan sejak dua tahun terakhir. Stok airnya pun tidak pernah sesuai dengan kondisi yang ada.
Kendati pernah di normalisasi, namun bukan di bendungan utama. Menurut Sugiono, normalisasi hanya berlangsung di hulu atau di BRT 1 kebawah. "Bendungan itu, digunakan untuk mengairi lahan pertanian di dua kecamatan yakni seluas 7.632 hektar," pungkasnya. (yer)
"Bendungan Cipero sudah banyak lumpur dan bebatuannya. Karena itu, bendungan harus segera dinormalisasi," kata Leman, salah satu anggota Dharma Tirta Warureja.
Menurut Leman, sejauh ini, bendungan tersebut tidak pernah di normalisasi. Tak heran, bendungan mengalami pendangkalan dan mengakibatkan kurangnya pasokan air untuk lahan pertanian sekitar. "Air yang terbendung di bendungan itu, hanya terlihat semu. Contohnya, air yang terlihat 8 kubik, sebenarnya hanya 4 kubik. Hal itu terbukti ketika airnya di alirkan ke persawahan petani," papar Leman.
Pelaksana Teknis Desa Harjasari, Kartono, menyatakan, kondisi demikian sebenarnya sudah berlangsung lama. Seluruh petani juga sudah sering mengusulkan ke dinas terkait untuk adanya normalisasi. Hanya saja, Pemkab tidak pernah merealisasikan usulan tersebut bahkan terkesan diabaikan. "Sejak dua tahun ke sini, pendangkalan itu semakin parah. Tapi dari dinas tidak ada upaya apapun," keluhnya.
Kepala UPTD Pengairan Warureja-Suradadi, Hayani Pramayana Ananta AMd, saat dikonfirmasi hal itu, pihaknya mengaku tidak tahu masalah teknis air. Menurut dia, terkait dengan bendungan Cipero, merupakan kewenangan PSDA. "Saya tidak tahu masalah air. Dan saya juga belum pernah berkunjung ke bendungan Cipero selama saya menjabat di kantor ini," kata Hayani yang mengaku baru dua bulan memimpin kantor pengairan tersebut.
Sementara itu, Staf Eksploitasi UPTD Pengairan Warureja, Sugiono, membenarkan bahwa Bendungan Cipero mengalami pendangkalan sejak dua tahun terakhir. Stok airnya pun tidak pernah sesuai dengan kondisi yang ada.
Kendati pernah di normalisasi, namun bukan di bendungan utama. Menurut Sugiono, normalisasi hanya berlangsung di hulu atau di BRT 1 kebawah. "Bendungan itu, digunakan untuk mengairi lahan pertanian di dua kecamatan yakni seluas 7.632 hektar," pungkasnya. (yer)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Komnas HAM Investigasi Konflik Agraria
Redaktur : Tim Redaksi