Petani Garam Meradang, Gemerincing Ringgit Lebih Menggiurkan

Jumat, 04 Agustus 2017 – 19:28 WIB
Tambak garam. Foto: Dok. Timor Express/JPNN.com

jpnn.com - Mengurus garam saja, pemerintah tak kuasa. Padahal, barang asin ini tak tergantikan di meja makan. Kala garam langka, harga menjulang meraja lela. Padahal, sebagai daerah dengan garis pantai yang panjang, mestinya pasokan garam NTB tiada kurang. Ini bukti garam NTB sudah urus. Jangan heran, jika petani garam meradang terus.

Bangunan itu kini musnah! Yang tersisa cuma lembaran-lembaran tembok batu bata menuding langit. Atap asbes telah terbang. Tersisa pecahannya yang kini tengkurap di lantai.

BACA JUGA: Harga Melambung Tinggi, Limbah Garam Sudah Membatu Diolah Lagi

Kusen pintu dan jendela meregang. Daun pintu rusak dan berlubang. Sementara sebuah gudang penyimpanan merana tiada tara. Hanya menjadi tempat pesta pora laba-laba dengan jaring perangkap yang tak tahu adat.

Kalau tidak dari sebidang papan, mungkin orang tak akan mengenal bangunan ini. Rasanya hanya itulah yang menjadi penanda, betapa bangunan ini ternyata dulu adalah sebuah pabrik yang pernah jaya. Papan petunjuk itu berisi tulisan tangan tentang teknik pencucian garam, serta instruksi tata cara penirisan garam.

BACA JUGA: Kisah Petambak Garam, tak Menyangka Keuntungan Berlimpah-limpah

Benar. Ini memang pabrik garam. Pemiliknya memberi nama “Tanjung Karya”. Pabrik dibangun di atas lahan seluas 25 are di Dusun Kedome, Desa Ketapang Raya, Keruak, Lombok Timur.

Saking pentingnya ini pabrik, dulu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri. Tepatnya tahun 1998. Prasasti peresmiannya yang kini dibiarkan kelabu, masih tersimpan di kompleks pabrik. Raden Hartono, Menteri Dalam Negeri kala itu, membubuhkan tanda tangannya di sana.

BACA JUGA: Petambak Garam Kaya Mendadak, Sekali Panen Bisa Raup Rp 300 Juta

Memang masih ada bangunan di kompleks pabrik itu yang bisa difungsikan. Bekas kantor pabrik itu misalnya kini dimanfaatkan warga setempat menjadi taman kanak-kanak. Tidak jauh dari gudang juga ada koperasi, tapi yang ini nasibnya sama nahasnya dengan pabrik garam.
”Saat pabrik masih beroperasi kampung ini hidup,” tutur Hambali, pria 60 tahun yang ditemui Lombok Post (Jawa Pos Group) di sana akhir pekan lalu.

Hambali adalah saksi sejarah, betapa pabrik itu dulu pernah jaya dan bergairah. Hambali pula saksi mata, betapa pabrik itu akhirnya kini tinggal nama. Hambali, adalah salah seorang pekerja di Pabrik Garam Tanjung Karya.

Saat jaya dulu, di kompleks pabrik, hilir mudik para pekerja. Di pekerjaan hulu, para pekerja berlomba untuk memproses pembuatan garam mulai dari pencucian, pengeringan, hingga iodisasi atau menambahkan zat yodium.

Di bagian hilir, pekerja lainnya juga sibuk dengan pengemasan, lalu mengepak garam dalam kardus-kardus aneka ukuran sebelum akhirnya garam didistribusikan. Dan bagian distribusi itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab Hambali. Dati tangannya, garam Tanjung Karya sampai di meja makan para konsumen.

Seluruh pekerja di pabrik garam Tanjung Karya adalah warga sekitar. Hambali tak akan lupa, betapa hidup mereka kala itu sungguh makmur. Bayangkan. Zaman itu, dalam sehari, para pekerja di sana bisa mendulang penghasilan antara Rp 60 ribu hingga Rp 70 ribu.

“Bagaimana tidak senang hidup kami,” kata Hambali.

Sebab, pada saat yang sama, Indonesia kala itu dibekap krisis moneter. Nyari pekerjaan susah bukan main. Malah, yang sudah bekerja pun kena PHK. Diberhentikan dan diberi pesangon tak seberapa.

Maskum, pemuda setempat juga membenarkan penuturan Kakek Hambali. Kata Maskum, selama pabrik beroperasi kala itu, tidak ada pemuda yang menganggur. ”Ramai banget. Banyak truk-truk garam dari Bima ke sini,” kenangnya.

Dengan bekerja di pabrik garam itulah, warga Kedome mengetahui cara menghasilkan garam beryodium berkualitas. ”Kalau ada yang mau buka pabrik lagi, kami semua di sini masih ingat caranya membuat garam yang bagus,” kata Hambali.

Sayangnya, kebahagiaan warga di Kodeme tak berumur lama. Pabrik yang sedang mekar, justru dirundung masalah. Lahan seluas 25 are yang digunakan pemerintah untuk membangun pabrik adalah milik almarhum Daeng Sumile. Belum genap lima tahun pabrik beroperasi, Daeng Sumile meninggal dunia. Lalu para ahli warisnya tidak melanjutkan kerja sama pemantaatan lahan. Pabrik pun harus tutup.

Semenjak itu, hidup warga Kedome pun meredup. Terutama petani garam yang berjarak beberapa meter dari lokasi pabrik. Mereka tak bergairah lagi mengelola tambak garam mereka. Mencari pembeli garam kian susah. Akhirnya, tambak garam pun diganti menjadi tambak ikan. Rupanya itu jauh lebih menguntungkan. Dan kini, warga Kedome, pun memilih jadi TKI di Malaysia. Gemerincing Ringgit, jauh lebih menggiurkan rupanya.

Mahmud, salah seorang petani garam di Desa Pinjot, desa tetangga Kedome mengaku, sejak pabrik Tanjung Karya tutup, usaha tambak garam lesu. Garam-garam milik petani tak ada yang menyerap lagi. Kalapun saat ini harga naik, itu hanya terjadi sekali dalam seumur hidupnya menjadi petani garam.

Dan sejarah mencatat, tutupnya pabrik garam beryodium satu-satunya di NTB itupun, menjadi catatan kelam. Dan hingga kini, tak satupun perusahaan dapat menyusul Tanjung Karya lagi.

Baru 24 Persen Potensi Tergarap

Inilah yang namanya ironi. Sebab, NTB punya potensi yang sangat besar. Tapi sayangnya, potensi garam NTB seperti disia-siakan. Data Dinas Kelautan dan Perikanan NTB menunjukkan, luas lahan potensial usaha garam mencapai 9.789 hektare (ha). Tapi yang baru dimanfaatkan hanya 2.348 ha atau 24 persen.

Tahun 2015 lalu, produksi garam NTB mencapai 178.605 ton. Namun, pada 2016 produksi garam merosot hingga hanya tinggal 24.307 ton. Jumlah itu mencerminkan produktivitas tambak garam di NTB cuma 10 ton per hektare tiap tahun.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB H Lalu Hamdi menuding penurunan produksi garam disebabkan cuaca yang tidak bersahabat. Curah hujan yang tinggi sepanjang tahun membuat petani gagal panen. Sebab sebagian besar petani garam masih menggunakan sistem tambak tradisional.

Di NTB ada enam daerah yang menjadi pusat produksi garam yakni Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Kota Bima dan Kabupaten Bima. Dari semua lokasi itu, Kabupaten Bima menjadi sentra garam sekaligus menjadi penyangga garam nasional. Luas lahan potensial di Bima mencapai 4.068 ha. Namun kini, lahan yang tergarap baru hanya 1.743 ha. (Selengkapnya lihat grafis).

Sebetulnya, produksi garam NTB jauh dari cukup untuk memasok kebutuhan dalam daerah. Sebab, kebutuhan garam konsumsi setahun di daerah ini hanya 138,58 ton. Sementara tahun lalu, produksi sudah tembus hingga 24.307 ton setahun. Tentu ada kebutuhan garam untuk industri pengolahan dan lainnya. Dan itu masih bisa dipenuhi dari dalam daerah. Sehingga produksi sebetulnya sudah surplus dari kebutuhan.

Masalahnya, ketiadaan pabrik pengolahan garam beryodium di NTB menyebabkan segala garam konsumsi akhirnya harus didatangkan dari luar NTB. Itu sebabnya, manakala harga garam melonjak seperti sekarang, NTB pun kena imbas. Bahkan, tak cuma melonjak. Garam konsumsi pun menjadi langka.

Harga Melonjak, Pedagang Malah Menjerit

Bertandanglah ke Pasar Kebon Roek di Ampenan. Kalau sebelumnya mudah mencari garam-garam di sudut pasar, sekarang tidak lagi. Lombok Post menemukan hanya seorang penjual garam yang ada di sana. Tapi, kepada koran ini, penjual garam itu justru mengeluh.

Dalam beberapa hari ini, jumlah pembeli menurun setelah harga garam melonjak.”Yang beli garam berkurang,” kata pedagang garam yang mengaku bernama Eri tersebut.

Tapi, pedagang tak punya pilihan. Sebab, kenaikan harga garam bukan kemauan mereka. Tapi memang sudah naik dari tempat mereka mengambil barang.

Eri menuturkan. Jika sebelumnya garam kasar 60 kilogram dia beli seharga Rp 150 ribu. Sekarang garam dengan jumlah yang sama harganya melonjak hingga Rp 350 ribu.

Garam halus pun sama. Saat normal, satu karung ukuran 60 kilogram dulu biasanya harganya hanya Rp 250 ribu. Tapi sekarang sudah tembus angka Rp750 ribu.

Pantauan Lombok Post, garam kasar di Kebon Roek dijual ke pembeli rata-rata Rp 6 ribu per kilogram. Sementara garam halus Rp 12.500 per kilogram.

Dan karena bahan baku yang langka itu pula, maka banyak kolega Eli yang akhirnya memilih tidak berjualan. Mereka sulit mengatur harga. Sementara bahan baku juga susah didapat.

Eli sendiri mengatur siasat. Caranya, garam tidak lagi dijual dengan ukuran kilogram. Namun dipecah-pecah dalam kantong plastik dengan harga Rp 3.000, Rp 5.000 dan Rp 10.000. “Kalau tidak begini, lakunya pasti lama,” tandas dia.

Kelangkaan bahan baku diakui para petani garam rakyat di Desa Pijot, Keruak, Lombok Timur. Di sana bahkan kini hanya tersisa satu industri garam rakyat yang masih beroperasi dari semula empat industri. Padahal, satu industri garam rakyat dengan pengolahan tradisional saja, investasinya biasanya bisa mencapai Rp 60 juta. Alhasil, karena bahan baku susah, harga pun dinaikkan.

Di Lombok Barat pun sama. Salah satunya di Desa Cemara, Kecamatan Lembar. Di salah satu kawasan sentra pengolahan garam rakyat ini pun banyak pengolahan yang kini memilih berhenti beroperasi.

"Mau bagaimana lagi. Kami juga kesulitan mendapatkan bahan untuk membuat garam," aku Inaq Saheam, 40 tahun, salah satu petani pembuat dan pengolah garam di sana pada Lombok Post akhir pekan lalu.

Tadinya, warga biasanya membuat garam dengan mengandalkan lahan kering di dekat hutan bakau di sana. Lahan itu biasanya mengering manakala musim kemarau.

Namun, cuaca yang tidak menentu membuat tanah yang seharusnya kering, kini malah sebaliknya selalu tergenang. Sehingga saat air pasang, lahan tersebut kian penuh air. Dan saat surut, air tetap menggenang. Alhasil, tanah yang menjadi bahan baku garam pun tidak ada.

Kondisi seperti ini kata Inaq Saheam bukan hanya dialami sekarang. Bahkan, hal ini kata dia sudah berlangsung dalam tiga tahun terakhir.

Belakangan, bahan baku didatangkan dari Tanjung Luar, Lombok Timur. Biasanya secara berkala, bahan baku itu datang ke Cemare dalam wujud sudah dimasukkan dalam karung-karung. Namun, sudah dua pekan terakhir, bahan baku dari Lotim itu pun tak datang lagi.

Kalaupun ada bahan baku yang datang, harganya sudah selangit. Tadinya sekarung bahan baku dari Tanjung Luar itu dengan diterima di Cemare sebesar Rp 60 ribu. “Sekarang Rp 350 ribu per karung,” katanya.

Karena itu, mau tidak mau, Saheam pun harus menaikkan harga jual. Yang biasanya Rp 40 ribu untuk satu karung ukuran 15 kg, saat ini menjadi Rp 150 ribu untuk ukuran yang sama.

Petani Garam Tak Bergairah

Langkanya bahan baku garam di tengah potensi yang demikian besar, tentu saja menyebabkan tanda tanya terlontar. Ada apa sebenarnya? Lombok Post menemukan, betapa petani garam di NTB memang nyaris tak pernah bergairah.

Segudang persoalan harus dihadapi petani. Di antaranya kualitas produksi garam yang dihasilkan masih tergolong KW-II dan KW-III. Sehingga masih perlu pengolahan lebih, agar bisa bersaing di pasar.

Di sisi lain, harga garam di tingkat petani juga sangat rendah. Pada saat panen harga garam selalu anjlok. Garam kasar pada musim panen harganya cuma Rp 350 – Rp 500 per kg. Saat musim hujan, memang naik. Namun, kisarannya baru hanya Rp 750 - Rp 1500 per kg.

Rendahnya harga membuat petani dan pelaku industri garam menjadi tidak bergairah. Kondisi itu tidak lepas dari belum jelasnya tata niaga garam, serta terbatasnya permintaan pasar dan hanya mengandalkan pasar lokal.

Selain itu, kualitas SDM petani yang masih rendah menyebabkan kurangnya kreatifitas dalam diversifikasi produk olahan garam. Dari 692 kelompok usaha garam rakyat (Kugar) di NTB, jumlah anggotanya baru 2.844 orang.

Kepala Dinas Perindustrian NTB Hj Baiq Eva Nurcahyaningsih mengakui, hingga saat ini NTB belum memiliki industri garam dalam skala besar. Tapi NTB memiliki 22 Industri Kecil Menengah (IKM) garam yang tersebar di pusat produksi garam dengan sekala produksi terbatas. Dalam setahun 22 IKM garam itu mampu menghasilkan 15.198,40 ton garam.

Hanya saja, belum ada IKM yang mendapatkan sertifikat SNI. Pihaknya mengaku telah mendampingi pelaku IKM mendapatkan sertifikat tersebut. Tapi pelaku industri sendiri banyak tidak menghiraukan sertifikat SNI.

Dia ambil contoh IKM Wawo Garam Rakyat yang selama ini didampingi pemerintah daerah. Mereka belum bisa memenuhi syarat yang ditetapkan SNI. “Sekarang ada 6 unit IKM yang sedang melakukan uji SNI,” ungkap Eva.

Dengan mengikuti standar SNI, maka kualitas garam yang dihasilkan akan lebih baik. Antara lain standar Natrium Klorida (NaCL) harus di atas 97 persen. Itu artinya, kandungan air sangat rendah.

Sementara dari sisi kebijakan anggaran, Lalu Hamdi menjelaskan, untuk pengembangan usaha garam rakyat (Pugar), Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menggelontorkan dana miliaran rupiah setiap tahun. Pada 2015 lalu, pusat mengalokasikan Rp 8,3 miliar untuk pengembangan Pugar di semua daerah produksi.

Tahun 2016 berkurang menjadi Rp 7,8 miliar untuk wilayah Bima, Sumbawa, Lombok Timur, dan Lombok Tengah. Nyatanya, bantuan yang digelontorkan untuk sejumlah daerah itu tak menjadikan usaha garam rakyat kian bergairah.

Alhasil, tahun 2017 ini, bantuan hanya dinikmati Kabupaten Bima. Nilainya Rp 2,5 miliar. Bima mendapatkan bantuan tersebut, lantaran telah ditetapkan sebagai sentra produksi garam nasional.

Terkait pabrik-pabrik garam yang mati suri saat ini, menurut Hamdi itu menjadi PR besar bagi dinas perindustrian yang menjadi mitra kerja dinas kelautan. Ia mengaku pihaknya juga ingin agar industri garam di NTB bisa berkembang.(ili/nur/van/r8)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siswa Berseragam Merah Putih, Uang Jajan pakai Ringgit Malaysia


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler