Petinggi Pertamina Dicopot, Deddy Sitorus Kritik Pernyataan Luhut Panjaitan dan Perang Kepentingan di BUMN

Rabu, 10 Maret 2021 – 22:10 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI menyesalkan pernyataan Menko Marves Luhut Panjaitan di depan publik terkait pencopotan petinggi Pertamina. Menurut Deddy, pernyataan itu tidak etis dan menimbulkan banyak pertanyaan publik.

“Menurut saya apa yang disampaikan oleh Pak Luhut itu sangat tidak etis dan menimbulkan kasak kusuk publik dan internal BUMN,” kata Deddy, melalui rilis tertulis kepada media, Rabu (10/3).

BACA JUGA: KPK Periksa Tiga Saksi, Ada Pihak Pertamina Patra Niaga Dumai

Deddy meyakini bahwa masalah Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bukanlah alasan utama pencopotan petinggi dimaksud. Karena sepengetahuannya, ada banyak pihak yang memang kurang menyukai yang bersangkutan secara pribadi maupun kepentingan yang tidak terakomodasi.

Jika soal TKDN yang dimaksud, menurut Deddy, sudah dibahas bersama Komisi VI DPR beberapa waktu lalu dan diyakini sudah tercapai sesuai penugasan pemerintah.

BACA JUGA: Gandeng BRI, Pertamina Sosialisasikan Program Pertashop kepada Ribuan Agen Brilink

“Coba Pak Luhut cek deh, apakah yang dia persoalkan itu sudah terakomodir atau belum,” kata Deddy.

Lebih jauh Deddy berharap agar soal TKDN ini jangan justru memberatkan investasi, karena banyak pemburu rente yang bermain di samping produk dalam negeri yang in-efisien sehingga harganya menjadi terlalu mahal dan merugikan BUMN.

BACA JUGA: Pertamina Mandalika SAG Team Resmi Diluncurkan, Siap Berlaga di Moto2

“Saya termasuk Wakil Rakyat yang selalu menekankan perlunya TKDN dalam investasi pemerintah,” tutur Deddy.

“Tetapi bukan berarti boleh merugikan BUMN dan memelihara inefisiensi industri manufaktur kita, apalagi memberi ruang kepada para pemburu rente,” kata wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.

Di periode pertama Jokowi, menurut Deddy, masalah TKDN justru menjadi bancakan sekelompok elit yang menjadi pemasok barang tertentu untuk semua proyek infrastruktur.

“Akibatnya proyek-proyek itu harus membeli produk itu dengan harga yang lebih tinggi demi keuntungan perusahaan elit itu,” kata Deddy.

Dia berharap hal itu tidak terulang di periode kedua ini, sebab mayoritas BUMN sudah tergerus kemampuannya untuk membiayai sendiri berbagai investasi penting. Deddy menuturkan, hampir semua BUMN akan sangat tergantung kepada strategic partner, baik pembiayaan maupun pelaksanaan proyek.

“Sudah barang tentu efisiensi dan ‘value for money’ akan menjadi isu penting dalam pelaksanaan proyek,” ujarnya.

Deddy menyarankan, seharusnya Menko Marves itu mengurai benang kusut yang menyebabkan industri manufaktur Indonesia sulit bersaing.

“Coba periksa di hulu dan jangan hanya menekan di hilir dengan ‘memaksa’ BUMN menerima produk-produk yang in-efisien dan memberatkan,” ungkapnya.

“Kita semua berkeinginan agar produk-produk dalam negeri bisa mengambil manfaat dari proyek-proyek yang ada, tetapi dalam jangka panjang harus berkontribusi dalam memperbaiki kinerja dan struktur biaya produksi industri manufaktur kita,” lanjut Deddy.

Jika pemerintah tidak memperbaiki ekosistem industri manufaktur, kata Deddy, maka sulit diharapkan investasi baru mau masuk ke Indonesia.

Sebab investor khawatir perusahaan yang in-efisien akan selalu memakai tangan-tangan kekuasaan untuk mendapatkan proyek dan menyebabkan persaingan tidak sehat.

“Seharusnya hal ini menjadi concern Pak Luhut,” ujar Deddy.

Terkait pencopotan petinggi BUMN Pertamina sebagaimana yang disampaikan Luhut Panjaitan, menurut Deddy itu menunjukkan lemahnya ‘conflict resolution’ dan kuatnya intervensi dalam tubuh BUMN.

“Ini tidak sehat dan bahkan merusak suasana kerja di dalam tubuh BUMN dalam jangka panjang sebab para pengelola BUMN akan cenderung mencari patron dan perlindungan elit dan pada akhirnya akan merusak ‘merrit system’ di dalam BUMN,” tegas Deddy.

“Tanda-tanda kerusakan itu sudah terlihat di banyak BUMN kita,” ujar Deddy.

Dia menjelaskan, Board of Directors atau Dewan Direksi itu sekarang sulit sekali untuk menjadi satu tim kerja yang solid, karena banyak Direksi yang memiliki patron sendiri dan tidak tunduk kepada Direktur Utama.

“Mereka merasa punya ‘backing’ dan setiap saat bermanuver untuk menggusur Dirut atau mempersembahkan proyek kepada para patron itu,” ungkap Deddy.

“Jika proyek diberikan dengan tidak mengorbankan BUMN-nya mungkin tidak terlalu masalah, tapi jika kualitas dan efisiensi pembiayaan proyek dikorbankan tentu tidak bisa dibiarkan,” sambung dia.

Oleh karena itu, Deddy berharap Kementerian BUMN benar-benar menjadi pihak yang netral, proporsional dan profesional dalam mengelola konflik di dalam BUMN.

Karena menyangkut aksi korporasi atau SDM BUMN adalah ranah Kementerian dan bukan pihak lain, karena itu Kementerian BUMN sebagai pemegang saham harus memeriksa secara seksama dan adil menyikapi setiap masalah yang ada.

Demikian pula jika terjadi konflik antara Dewan Direksi dan Dewan Komisaris, seharusnya diselesaikan oleh Kementerian sebagai pemilik saham dan tidak terjadi ‘dead-lock’ antara Direksi dan Komisaris.

“Sekarang ini banyak Komisaris BUMN yang berperilaku seperti eksekutif atau pemilik saham, ini enggak sehat dan salah kaprah sebab tugas mereka hanya mengawasi dan memberi nasihat,” tutup Deddy. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler