Petkuq Meheuy, Para Penjaga Benteng Paru-Paru Bumi

Rabu, 28 Oktober 2015 – 09:44 WIB

jpnn.com - PENEBANGAN hutan demi komoditas kayu dan pembakaran hutan demi terbukanya lahan selalu saja berulang. Semua seakan tanpa solusi. Karenanya, sungguh mulia ketika di dalam hutan Wehea, Kalimantan Timur, masih ada sejumlah anak muda yang mengabdikan hidup untuk menjaga kelestarian alamnya.

Hutan Wehea terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Jika ingin kesana Butuh perjalanan darat sekitar 15 jam dari Balikpapan menuju ke lokasi itu. Di sana, terhampar 38 ribu hektare hutan lindung yang masih terjaga dengan baik.

BACA JUGA: Arzetti Bilbina Bakal Buka-bukaan Hari Ini

Itu adalah rumah bagi tiga spesies yang terancam punah, yakni orang utan, macan dahan, dan beruang madu. Pada 2009, pemerintah menetapkan Lembaga Adat Dayak Wehea sebagai penerima kalpataru karena melestarikan hutan lindung Wehea.

Di saat hutan-hutan di Kalimantan terus menciut sebagai dampak alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri, dan pertambangan, hutan Wehea tetap terjaga dengan baik.

BACA JUGA: Wasekjen PKB: Kami Sedang Terserang Fitnah

Faktanya, Kalimantan dengan hutannya yang disebut sebagai paru-paru bumi terus tergerus luasnya dari tahun ke tahun. Luas hutan Kalimantan pada awal 2000-an masih 40,8 juta hektare, sekarang diperkirakan tak lebih dari 20,5 juta hektare.

Lalu, bagaimana cara Lembaga Adat Dayak Wehea melestarikan hutan? Berbagai kiat dilakukan, dan salah satunya adalah membentuk Petkuq Meheuy, kelompok anak muda penjaga hutan. Mereka hanya terdiri atas 45 orang yang menjaga hutan seluas 38 ribu hektare.

BACA JUGA: Tangani Kabut Asap, Jokowi Disarankan Minta Petuah SBY

Tentu, itu bukan jumlah yang ideal. Tentu banyak tantangan yang dihadapi. Tetapi, Sabinus Yatim, 27, komandan Petkuq Meheuy sejak 2005 hingga Februari 2015, punya strategi khusus agar luas hutan yang tak sebanding jumlah penjaga itu bisa diatasi.

''Kami membangun tiga pos penjaga. Biasanya lokasi-lokasi itu menjadi akses masuk para penebang ataupun penambang liar,'' kata Yatim kepada Jawa Pos (Induk JPNN). Tiga pos itu dibangun di tiga titik, yakni gerbang masuk, titik Sepan, dan titik P.

Dari 45 orang Petkuq Meheuy, Yatim membaginya menjadi tiga kelompok dalam jumlah yang sama. Setiap kelompok ditempatkan pada tiga titik yang sudah ditentukan. Secara bergantian, tak jarang hampir sebulan lamanya pasukan Petkuq Meheuy berjaga di hutan untuk mengusir oknum yang dicurigai merusak alam.

''Kami menyadari, tidak semua wilayah bisa terjaga. Setidaknya kami mengurangi akses masuk bagi para perusak hutan,'' ujar pria yang menjadi Petkuq Meheuy sejak berusia 17 tahun itu.

Mereka hidup di hutan hanya berbekal beras, garam, kecap, dan sebilah mandau. Ya, hanya itu senjata mereka untuk survive dan menjaga alam dari tangan-tangan perusak. Tidur di tengah hutan dengan binatang buas yang mengintai sudah jadi kehidupan mereka.

''Kami sering bertemu mereka di tengah hutan. Bagi kami, binatang buas sebenarnya adalah manusia yang merusak alam. Mereka lebih mematikan,'' lanjut suami Rosalina itu.

Jawa Pos sempat diajak Yatim untuk mengunjungi titik Sepan pekan lalu. Dulunya, itu tempat Yatim dan beberapa rekannya bertugas. Pos itu berupa bangunan kayu khas Dayak yang sederhana. Di dalamnya, hanya ada alas seadanya untuk beristirahat para Petkuq Meheuy. ''Jarang anak-anak tidur di sini, biasanya di hutan,'' ucapnya.

Sebagai Petkuq Meheuy, mereka pantang berlaku semena-mena. Saat bertemu penebang hutan ilegal, tidak serta-merta mereka mengusir dengan kekerasan. Meski, terkadang memang berakhir pada perdebatan dan usiran dengan kasar.

''Mereka kami ajak ke pos. Kami jelaskan alasan melarang mereka menebang dan akibat buruknya terhadap alam. Malah, beberapa dari yang kami jelaskan ingin ikut menjaga hutan ini,'' ujar Yatim. 

Begitu banyak tantangan yang dihadapi para penjaga hutan seperti Yatim. Selain binatang buas dan oknum penebang hutan ilegal, tersesat tanpa arah bisa menjadi petaka. ''Saat itu, saya hanya berjalan dan tanpa meninggalkan tanda,'' kisahnya.

Pernah, Yatim tersesat jauh dan sendirian di dalam hutan Wehea. Setelah berjalan selama dua hari, bukannya menemukan jalan pulang, dia malah tersesat semakin dalam, jauh dari pos penjagaan. Perbekalan pun habis. Dia memakan biji-bijian di hutan untuk bertahan.

Sekian hari hilang tanpa jejak, rekan-rekannya dari Petkuq Meheuy pun mulai menyusuri hutan untuk mencarinya. Akhirnya, dia ditemukan setelah lebih dari sepekan menghilang. Saat ditemukan, dia sudah terduduk lemas di bawah pohon.

Sementara itu, terkait Petkuq Meheuy, kepala adat Dayak Wehea Ledjie Taq menjelaskan, sejak menjadi hutan adat, mereka memutuskan membentuk penjaga hutan. Nama Petkuq Meheuy dipakai dengan arti berjaga bersama. "Saat awal berdiri, tak ada syarat khusus. Dan, mereka juga dididik oleh alam," kata Ledjie Taq. (rid/c17/ham)

 

(Sejumlah sosok ini diangkat pada Edisi Khusus Jawa Pos-Induk JPNN. Mereka adalah para pemuda-pemuda yang tidak menangis dalam kondisi runyam yang menerjang diri, lingkungan atau bangsanya.

Dengan tekad baja, mereka bergerak untuk mengubah kondisi eksternal yang yang tidak menguntungkan. 

Merekalah penantang krisis. Persona yang dengan sigap menyerap stamina dan antusiasme sebesar pendahulu mereka, peserta Kongres Pemuda II di Gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, 26-28 Oktober 1928.)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Horeee...Usulan Pembentukan Pansus Kabut Asap Sudah Mantap


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler