jpnn.com, JAKARTA - Kejaksaan Tinggi NTT menggunakan instrumen UU Tipikor terkait kasus 30 Ha lahan Toro Lema, Manggarai Barat Provinsi NTT. Kasus tersebut semestinya masuk dalam rezim hukum perdata dan hukum adat Manggarai Barat. Namun, Kejati NTT menjadikan Theresia Koroh Dimu, seorang Notaris/PPAT di Kupang sebagai tersangka korupsi dan ditahan di Rutan.
Ketua Presidium Kongres Rakyat Flores (KRF) Petrus Selestinus menilai langkah yang diambil Kejati NTT tersebut memunculkan protes dari organisasi Profesi Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) NTT di Kupang pada Kamis, 21 Januari 2021.
BACA JUGA: Siap Tahan Bupati Manggarai Barat, Kejaksaan Tinggi NTT Minta Izin Mendagri
“Protes itu dengan aksi tutup kantor (tidak melayani masyarakat) sebagai upaya membangun solidaritas dan kepedulian dalam menjaga harga diri dan kehormatan profesi Notaris dan PPAT dalam wadah INI dan IPPAT wilayah NTT,” kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis diterima JPNN.com, di Jakarta, Kamis (21/1) malam.
Menurut Petrus, reaksi yang muncul tidak tanggung-tanggung, tidak sekadar protes tetapi juga aksi tutup Kantor alias mogok, terhitung Kamis 21 Januari 2020 entah sampai kapan.
BACA JUGA: Nizzardo Fabio, WN Italia Tersangka Korupsi Rp 1,3 Triliun di Labuan Bajo Ditahan
“Itu berarti ada yang salah dengan tindakan Penyidik Kejaksaan terhadap profesi Notaris dan PPAT dalam proses peradilan ini, karena Notaris/PPAT seharusnya hanya boleh dijadikan Saksi fakta tentang peristiwa hukum apa yang terjadi di hadapannya saat Akta dibuat,” kata Petrus yang juga Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini.
Perlawanan Ketidakadilan
BACA JUGA: Perkara Tanah Pemda Manggarai Barat di Labuan Bajo, Error In Objecto
Aksi solidaritas dan kepedulian terhadap profesi Notaris/PPAT, dengan cara mogok tutup kantor atas penetapan tersangka dan penahanan terhadap Notaris/PPAT, Theresia Koroh Dimu oleh Kejaksaan Tinggi NTT, sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
“Karena Kejaksaan NTT dinilai keblabasan, sewenang-wenang, apalagi hanya memilih kasus-kasus tertentu atas dasar pertimbangan subjektif Dr. Yulianto, SH. MH (Kepala Kejaksaan Tinggi NTT, red) dan dengan bukti-bukti yang sangat sumir,” kata Petrus.
Menurut Petrus, INI dan IPPAT NTT berencana akan melaporkan aksi Dr. Yulianto, Kajati NTT ke Presiden Jokowi, Menko Polhukam dan lain-lain termasuk kepada Jaksa Agung. Karena di mata INI dan IPPAT NTT, Kejaksaan Tinggi NTT telah melakukan tindakan melampaui wewenang.
“INI dan IPPAT memiliki bukti dan memastikan ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Dr. Yulianto, SH.MH dkk sebagai penanggung jawab tertinggi atas penyidikan perkara korupsi lahan Toro Lema,” katanya.
Menurut Petrus, INI dan IPPAT, pasti masih ingat pesan Presiden Jokowi pada pembukaan Rakornas Pemerintah Pusat dan Forkopimda seluruh Indonesia di Sentul, Bogor tanggal 13 November 2019 lalu, kepada Kajati dan Kapolda seluruh Indonesia agar Jaksa dan Polisi jangan mencari-cari perkara. Jangan menggigit orang yang benar, jangan pura-pura salah gigit, jangan menakut-nakuti dan memeras birokrat, Kepala Daerah dan Pelaku Usaha yang berinovasi membangun bangsa ini.
Banyak Kasus Korupsi Mangkrak di NTT
Petrus menilai sikap Kajati NTT Dr. Yulianto dan Kejaksaan Tinggi NTT di luar akal sehat publik, karena begitu banyak kasus korupsi di NTT yang penanganannya mangkrak. Begitu banyak kasus lahan yang diklaim Pemerintah Daerah atau Pusat dikuasasi pihak ketiga. Bahkan tidak kurang dari 79 kasus korupsi dilaporkan ke KPK, namun Kejaksaan Tinggi NTT tidak memberikan perhatian untuk dilakukan penindakan.
“Kami dukung pemberantasan korupsi di NTT, bahkan kami tagih utang janji Kajati-Kajati NTT sebelumnya yang pindah tanpa pertanggungjawaban dan datang yang baru tanpa visi dan misi yang jelas, hanya mewariskan perkara korupsi lama yang tidak tertangani, tanpa alasan yang jelas. Padahal prinsip hukum Tipikor, perkara korupsi harus didahulukan penanganannya dari perkara yang lain,” kata Petrus.
Karena itu, Petrus secara tegas menyatakan akan tetap kritis, jika pemberantasan korupsi yang dilakukan itu hanya sekadar kedok, sekadar aksi sesaat untuk sebuah sensasi, hanya tebang pilih, memilih kasus yang dinilai empuk untuk sekadar gertak sambal demi mengisi pundi-pundi pejabat, hingga pejabat yang bersangkutan pensiun atau dimutasi ke pos baru atas nama prestasi, padahal minus prestasi.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich