Petrus Selestinus: Intervensi Eksternal Terhadap Golkar Harus Dilawan

Selasa, 13 Agustus 2024 – 11:48 WIB
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba Airlangga Hartarto menyatakan mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar pada Sabtu (10/8/2024) malam.

Hal itu dilakukan setelah sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian itu bertemu empat mata dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (9/8/2024).

BACA JUGA: Malam Ini, Golkar Bikin Rapat Pleno Buat Tentukan Plt Ketum

Menanggapi pengunduran diri Airlangga itu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar melalui salah satu ketuanya, Meutya Hafidz menyatakan DPP Partai Golkar menghargai langkah Airlangga yang mundur dari jabatan Ketum Partai Golkar.

Namun, keputusan akhir akan dibahas dalam rapat DPP dalam waktu dekat. Airlangga, kata Meutya, saat ini secara de jure bukan Ketua Umum Partai Golkar lagi, tetapi secara de facto masih.

BACA JUGA: Ini Dalih Istana soal Komitmen Airlangga Setelah Mundur dari Ketum Golkar, Unsur Jokowi Melekat

Menanggapi hal itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus SH berpendapat sebagai partai politik besar, kuat dan modern, Golkar tidak boleh menjadi alat permainan kekuasaan yang bersifat pragmatis oleh siapa pun juga, termasuk oleh pihak eksternal, yaitu Presiden Jokowi sekalipun.

"Oleh karena itu, meskipun Airlangga Hartato sudah mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis kepada DPP Partai Golkar bahkan sudah membacakannya, DPP Partai Golkar memiliki wewenang untuk 'mengabulkan atau menolak' permintaan pengunduran diri dimaksud," kata Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (12/8/2024).

BACA JUGA: Airlangga Hartarto Mengundurkan Diri, Golkar Masih Dukung Dedi Mulyadi?

DPP Golkar, kata Petrus, harus bermanuver untuk mencegah dan menangkal setiap manuver politik yang bersifat mengintervensi persoalan internalnya atas nama apa pun, termasuk atas nama penegakan hukum, apalagi bernuansa politisasi hukum.

Cekal Intervensi

Oleh sebab itu, kata Petrus, permohonan pengunduran diri Airlangga dari jabatan Ketum Golkar harus dicegah dan ditangkal (cekal), karena terdapat gejala-gejala yang tidak normal, memperlihatkan ada "invisible hand" (tangan tak kelihatan) yang tengah bermain.

“Apa pun kesalahan Airlangga, selesaikan sesuai mekanisme hukum di internal, yaitu Mahkamah Partai, bukan atas dasar desakan kekuasaan mengatasnamakan penegakan hukum untuk menguasai partai politik," pintanya.

DPP Golkar, kata Petrus, harus tetap mempertahankan irama pergantian ketua umumnya sesuai mekanisme Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART), apalagi masa bakti DPP Airlangga berakhir pada Munas (Musyawarah Nasional) yang akan datang yaitu Desember 2024.

“Jika terdapat dorongan atas dasar kepentingan pihak ketiga, sehingga Golkar harus mengadakan Munaslub, maka Golkar akan terlihat seolah-olah berada dalam keadaan terancam atau dalam keadaan kegentingan yang memaksa, sehingga diperlukan langkah penyelamatan melalui Munaslub, dan inilah yang merugikan Golkar dan pemerintahan yang akan datang," cetusnya.

Wewenang Mahkamah Partai

Menurut Petrus, jika saja Airlangga diduga telah melakukan pelangaran AD/ART sehingga memilih jalan mengundurkan diri, maka sebelum Rapat Pleno DPP memutuskan pemberhentian Airlangga dari jabatan ketua umum, terlebih dahulu DPP Golkar menempuh proses melalui Mahkamah Partaii sebagai lembaga yudikatif partai yang diamanatkan UU Parpol dan AD/ART Golkar untuk membuktikan apakah Airlangga melanggar AD/ART atau tidak.

"Dengan cara seperti itu, DPP Golkar dapat meminimalisir intervensi politik dari pihak eksternal mana pun, termasuk dari Presiden Jokowi, yang disebut-sebut memiliki keinginan dan agenda untuk melengserkan Airlangga, sehingga Golkar dengan mudah diintervensi bahkan diambil alih," ujar Petrus.

Dalam keadaan demikian, lanjut Petrus, maka Golkar harus mengedepankan sikap menegakkan kedaulatan, marwah dan hukum dasar Golkar, yaitu AD/ART.

"Perkokoh kedaulatan partai yang bertumpu pada keputusan Munas atau Munaslub yang tunduk pada AD/ART Golkar," sarannya.

Dugaan Kriminalisasi

Saat ini, kata Petrus, muncul suara-suara yang meyatakan bahwa kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya periode 2021-2022, konon masih diusut penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyidik, katanya, akan kembali menetapkan status tersangka, dalam hal ini Airlangga Hartato.

"Jika seknario ini berjalan maka desas-desus bahwa Airlangga selama ini menjadi korban kriminalisasi melalui politisasi hukum, terbukti benar adanya. Apalagi Kejaksaan Agung ketika dikonfirmasi wartawan soal kemungkinan dibukanya pemeriksaan terhadap Airlangga terkait kasus ini akan diinfokan," kata Petrus mengutip pernyataan Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada media, Minggu (11/8/2024).

"Jika Kejagung akhirnya memanggil Airlangga, menjadikannya tersangka bahkan melakukan penahanan, maka ini benar-benar praktik korupsi kekuasaan dengan cara penyalahgunaan wewenang, berupa bertindak sewenang-wenang, mencampuradukkan wewenang atau melampaui wewenang," lanjutnya.

Kondisi seperti ini, tegas Petrus, tak bisa dibiarkan partai politik, termasuk Golkar. "Jangan biarkan kekuasaan bergerak tanpa rambu kekuasaan atau memghalalkan segala cara, sehingga harus dilakukan perlawanan secara hukum dan politik dengan cara-cara yang progresif, tidak bisa dengan cara-cara yang biasa, karena kekuasaan sudah terlanjur bergerak terlalu jauh ke dasar yang paling dalam daya rusaknya," tegas Petrus yang juga Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler