Petugas Partai

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 01 Juni 2021 – 12:04 WIB
Politikus PDI Perjuangan Ganjar Pranowo. Foto: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com - Joko Widodo adalah presiden Republik Indonesia. Namun, di mata Megawarti Soekarnoputri, ketua umum PDIP, Joko Widodo adalah petugas partai.

Menjelang pilpres 2014 Jokowi diundang ke markas PDIP di Lenteng Agung, dan di depan kader-kadernya Mega menyerahkan rekom kepada Jokowi untuk menjadi calon presiden.

BACA JUGA: Jokowi Sempat Berikan Perhatian, Ganjar Pranowo Langsung Dikoordinasi

Ketika itu Mega mengingatkan kepada Jokowi bahwa meskipun dia sudah mengantongi rekom sebagai calon presiden, tetapi dia tetap petugas partai yang harus menjalankan garis dan perintah partai. Jokowi pun mengangguk takzim dan mencium tangan Mega.

Ungkapan petugas partai itu sekarang diungkapkan lagi oleh Mega. Kali ini lebih keras.

BACA JUGA: Oh, Ternyata Ini Awal Mula Pak Ganjar Mencari Keluarga Ajudan Bung Karno

Siapa pun kader PDIP yang memegang jabatan apa pun harus tetap menjadi petugas partai. Menolak menjadi petugas partai berarti harus out.

Kali ini ungkapan petugas partai itu kelihatannya ditujukan kepada Ganjar Pranowo, gubernur Jateng yang beberapa waktu yang lalu diseruduk oleh Puan Maharani.

BACA JUGA: Megawati Singgung Petugas Partai, Nyarwi: Upaya Memagari Kader PDIP agar Tidak Tergoda

Ganjar yang populer di medsos dan elektabilitasnya tinggi di berbagai survei dianggap tidak cukup bekerja, karena tidak cukup turun ke bawah.

Ganjar dijewer karena, kata Ketua Bappilu PDIP, Bambang Pacul, kemajon dan keminter, Terlalu kencang dan sok pintar.

Manuver Ganjar dianggap bisa merusak skenario perjodohan politik yang sudah dirancang untuk pilpres 2024.

PDIP dan Gerindra, katanya, sudah sepakat menjodohkan Prabowo dengan Puan.

Karena itu, manuver Ganjar harus dihentikan supaya tidak merusak perjodohan itu.

Gawe pilpres masih tiga tahun lagi, tetapi ributnya sudah terasa sekarang.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga sudah menegaskan tidak akan berkoalisi dengan Partai Demokrat karena sudah memastikan tidak berjodoh dengan mereka.

Jodoh, rezeki, dan mati itu urusan Tuhan. Manusia tidak ada yang pernah tahu, karena semuanya penuh misteri. Rezeki bisa datang dari mana saja tanpa bisa diduga.

Rezeki juga tidak pernah salah alamat. Kalau sudah rezeki tidak akan jatuh kepada orang lain.

Kematian dan umur manusia juga menjadi misteri yang sama. Mati tidak hubungannya dengan umur, tidak perlu menunggu tua. Mati juga tidak ada hubungannya dengan kesehatan. Tidak perlu menunggu sakit, orang sehat pun bisa mati tiap saat.

Begitu pula jodoh, tetap menjadi misteri yang tidak pernah bisa diprediksi. Anak-anak milenial menyebut, cinta dan benci itu beti alias beda tipis.

Karena itu nasihat bijak orang tua mengingatkan agar cinta dan benci secukupnya saja. Benci tidak usah berlebihan, cinta pun sebaiknya biasa-biasa saja, tidak perlu sampai harus jadi bucin, budak cinta, kata anak milenial.

Siapa tahu, yang dicinta tiba-tiba menjadi musuh, siapa tahu yang dimusuhi menjadi jodoh.

Politik adalah seni dari segala kemungkinan, the art of possibilities. Tidak ada yang mustahil dalam politik, semua serbamungkin.

Jodoh, rezeki, dan mati dalam politik bisa sama misteriusnya dengan yang dialami oleh manusia dalam kehidupan keseharian.

Itulah hukum besi atau iron law politik, segala sesuatu sangat mungkin terjadi.

Namun, bagi PDIP hukum besi itu tidak ada, atau setidaknya dianggap tidak ada. Setidaknya Mega sudah memastikan jodoh Prabowo dengan Puan, dan Hasto memvonis tidak bakal ada perjodohan dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) karena alasan perbedaan ideologi.

Kalau dengan PKS okelah PDIP tidak mau berkongsi, meskipun dalam praktiknya kongsi itu sudah sangat sering terjadi di level pemilihan kepala daerah.

Ideologi kedua partai itu memang berbeda. PKS partai agama dan PDIP partai abangan yang nasionalis.

Namun, dengan Partai Demokrat, apa beda ideologi PDIP? Dua-duanya sama-sama berbasis nasionalis, meskipun Demokrat menambahi dengan bumbu nasionalis-religius, itu pun religius untuk semua agama, bukan hanya Islam seperti PKS.

Basis dukungan PDIP adalah wong cilik dan kader yang militan. Sementara itu, basis dukungan Demokrat lebih menyebar ke kalangan menengah perkotaan.

Kekuasaan politik di Indonesia dalam 20 tahun terakhir reformasi dibagi rata antara Demokrat dan PDIP. Demokrat melalui Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa selama sepuluh tahun, dan PDIP melalui Jokowi juga berkuasa selama sepuluh tahun.

Menilik masa kepemimpinan dua parpol itu, di Indonesia tidak terlihat perbedaan ideologi yang signifikan. Dua partai itu sama-sama partai yang pragmatis dan menjadikan ideologi sebagai slogan semata.

Berbagai macam paradoks kebijakan terjadi pada masa kekuasaan kedua partai itu, sehingga nyaris tidak bisa dibedakan ideologi kedua partai itu selain sama-sama pragmatis.

Ini tentu beda dengan dua partai musuh bebuyutan di Amerika, Partai Republik dan Partai Demokrat yang ideologinya jelas berbeda.

Dalam setiap kontesasi politik kedua partai itu berhadap-hadapan secara ideologis yang kemudian diwujudkan dalam berbagai program kebijakan.

Partai Demokrat berideologi liberal-sekular dan pro-kemajemukan, serta lebih membela rakyat miskin. Partai Republik, di sisi lain, berideologi konservatif kanan dan lebih dekat dengan kalangan kulit putih Protestan atau yang dikenal sebagai WASP, white anglo-saxon protestant. Dalam kebijakan ekonomi, Partai Republik lebih pro kepada orang-orang kaya dan elite.

Sampai sekarang persaingan ideologi itu terjadi dengan sangat keras. Pemilihan presiden 2019 antara Donald Trump melawan Joe Biden menunjukkan betapa kerasnya persaingan ideologi dalam kontestasi politik di Amerika.

Meski demikian, sosiolog Daniel Bell berpendapat bahwa ideologi telah mati di Amerika. Dalam ‘’The End of Ideology’’ (1962) Bell melihat bahwa pertarungan ideologi sudah tidak relevan lagi di Amerika.

Sudah terlalu banyak ideologi yang overlap, campur bawur antara kiri dan kanan, antara liberal dan konservatif, sehingga kedua partai itu tidak bisa lagi dibedakan ideologinya.

Fenomena di Indonesia mirip dengan yang digambarkan Bell pada masyarakat Amerika. Secara ideologis perbedaan kapitalisme dan sosialisme kabur karena masyarakat menjadi lebih pragmatis.

PDIP mengeklaim bahwa ideologinya bertumpu pada Trilogi politik Bung Karno, yaitu berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang kebudayaan.

PDIP sekarang mengeklaim sebagai penerus ideologi Bung Karno itu. Namun, itu tidak lebih dari klaim retorika belaka. Alasan PDIP tidak bisa berkoalisi dengan Partai Demokrat karena ideologi, juga harus dilihat sebagai retorika politik saja.

Semua tahu, persoalan utama PDIP dengan Demokrat adalah persoalan perseteruan pribadi Mega vs SBY. Tidak ada hubungan dengan ideologi, karena ideologi sudah lama terkubur mati. (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler