Pidana Mati Dalam KUHP

Oleh I Wayan Sudirta - Anggota Komisi III DPR RI

Minggu, 05 Maret 2023 – 18:02 WIB
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Belakangan ini, pembahasan mengenai pidana mati dalam hukum pidana di Indonesia kembali terjadi. Putusan pidana mati pada kasus Irjen FS oleh Majelis Hakim mengakibatkan pro dan kontra di masyarakat.

Banyak masyarakat yang menilai bahwa putusan tersebut telah tepat, sebagian masyarakat menilai bahwa putusan pidana mati sudah tidak lagi relevan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

BACA JUGA: Pelaku Penusukan Bocah Perempuan di Cimahi Terancam Pidana Mati

Terdapat pula diskusi terkait pendapat beberapa pihak yang mempertanyakan terkait implementasi atau eksekusi pidana mati FS di bawah rezim KUHP baru, dimana dimungkinkan untuk diubah.

Namun apapun pendapat yang boleh saja dikemukakan oleh semua pihak, pada saatnya tentu akan bergantung pada putusan akhir Lembaga Peradilan dan tentunya kewenangan Pemerintah dalam tindak lanjutnya.

BACA JUGA: Ancaman Pidana Mati untuk Ferdy Sambo?

FS masih memiliki waktu dalam menempuh upaya hukum dan berhak untuk melakukan segala upaya dalam mencari keadilan bagi dirinya.

Dalam sejarah pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana mati ini sebenarnya menjadi salah satu hal krusial karena mengandung pro dan kontra pada saat pembahasan maupun masukan yang diterima DPR.

BACA JUGA: Bertanya kepada Saksi dalam Sidang Munarman, Jaksa Sebut Pasal Pidana Mati

Komisi III DPR RI dan Pemerintah pada saat itu, menerima banyak penolakan terkait dengan pemberlakuan pidana mati sebagai sanksi pidana yang masih ada dalam RUU KUHP (pada saat itu masih rancangan undang-undang), terutama dari lembaga swadaya masyarakat atau lembaga bantuan hukum masyarakat; maupun masukan dari dunia internasional.

Demikian pula, beberapa masukan dari pihak masyarakat terhadap pemberlakuan hukuman mati yang perlu ada untuk memberikan efek jera, terutama dalam pemidanaan terhadap tindak pidana khusus seperti tindak pidana HAM Berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan terhadap Bandar Narkoba.

RUU KUHP pada saat itu memang telah memberi jalan tengah bagi dua kaum tersebut, yakni pihak yang setuju bahwa hukuman mati harus tetap diatur (retentionis) dan pihak yang menolak sepenuhnya hukuman mati (abolis) dengan pengaturan pidana mati bersyarat (conditional).

Pembahasan terkait pidana mati ini boleh dikatakan cukup panjang dan melalui pendalaman dan pengayaan materi oleh Panitia Kerja (Panja) bersama Tim Ahli Pemerintah pada saat itu.

KUHP yang ada saat ini lebih mengedepankan semangat demokratisasi sehingga mengandung penghormatan kepada nilai-nilai Hak Asasi Manusia maupun Prinsip Hukum Umum dengan mengedepankan prinsip atau filosofi restoratif dan re-integrasi sosial.

Filosofi Pengaturan Pidana Mati

Sejarah dan perkembangan sistem pemidanaan di dunia saat ini telah mengalami reorientasi, terutama sejak diakui dan ditandatanganinya Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia, Universal Declaration of Human Rights, yang mengubah persepsi dunia mengenai penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Pengaturan mengenai perlakuan terhadap seseorang yang didasarkan pada terpenuhinya hak-hak seseorang sebagai manusia yang perlu dijamin tercantum dalam Deklarasi PBB.

Kemudian diikuti dengan pengaturan-pengaturan lainnya seperti International Covenant on Political Rights, Convention Against Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, dan berbagai pengaturan-pengaturan dalam Perjanjian Internasional, Traktat, maupun Hukum Nasional negara-negara peserta PBB.

Pengakuan atas HAM ini menjadi dasar bagi negara-negara dalam memberlakuan suatu aturan hukum dan menjadi hal utama dalam Prinsip Umum dalam sumber hukum yang harus ada dalam setiap aturan.

Hingga saat ini pengaturan mengenai Hukuman Mati (Pidana mati atau Death Penalty/ Capital Punishment) masih menjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat dunia.

Terjadi perbedaan dalam pemberlakuan pidana mati disesuaikan dengan modernisasi dan perkembangan masyarakat, sebagian negara masih memberlakukan hukuman pidana mati (retentionist) dan negara yang menghapus hukuman mati (abolist).

Perkembangan di dunia hukum terutama tentang hukuman (Criminal Punishment) membuat negara-negara di dunia saat ini terbelah menjadi tiga kelompok besar yakni retentionist, abolist, dan conditional (dengan syarat-syarat tertentu).

Namun pada prinsipnya, sejak ditandatanganinya Convention Against Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, negara-negara di dunia mengakui bahwa sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, perlu dilakukan pembaharuan terhadap sistem pemidanaan atau penghukuman pada sistem peradilan pidana baik sebelum maupun jatuhnya pemidanaan.

Dengan begitu, hampir di seluruh negara-negara yang masih memberlakukan penjatuhan hukuman mati pun berubah lebih “manusiawi” atau tidak menggunakan metode-metode yang sadistik, seperti Pancung, Sengatan Listrik, Gantung, Rajam, Kamar Gas, atau dengan hewan (seperti diinjak gajah).

KUHP merupakan rekodifikasi terhadap tindak pidana baik konvensional maupun tindak pidana yang selama ini berkembang dan diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu KUHP juga mengatur hal-hal baru, seperti perubahan terhadap konsep sistem pertanggungjawaban pidana, penerapan asas legalitas yang non-absolut atau terbuka dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, dan reorientasi sistem pemidanaan yang lebih “memasyarakatkan” atau tujuan pembinaan.

Reorientasi tersebut terkait dengan penerapan prinsip Restorative Justice (Keadilan Restoratif) daripada Retributive (Keadilan Retributif) atau prinsip balas dendam. Prinsip inilah yang penting untuk digarisbawahi dalam KUHP saat ini.

Kebijakan Penghapusan Pidana Mati

Menurut data yang dihimpun PBB, saat ini sebagian besar negara-negara di dunia telah menghapuskan pidana mati.

Sebanyak 103 (seratus tiga) negara telah menghapus secara keseluruhan, 6 (enam) negara telah menghapuskan pidana mati terhadap kejahatan konvensional biasa, dan 50 (lima puluh) negara sudah memberlakukan moratorium terhadap penggunaan pidana mati.

Hanya 36 (tiga puluh enam) negara yang masih memberlakukan hukman mati. Pemberlakuan pidana mati oleh pihak abolist ini memang dipandang sebuah kontroversi.

Bahkan dalam berbagai ketentuan, penggunaan pidana mati ini dinilai sangat bertentangan dengan Hak Hidup seseorang atau Hak Asasi Manusia.

Di Eropa (Charter of Fundamental Rights of the European Union) yang tergabung dalam Council of Europe dengan 47 (empat puluh tujuh) negara anggota menolak dengan tegas penggunaan hukuman mati.

Adapun PBB melalui United Nations General Assembly (Majelis Umum) telah mengadopsi dan menyerukan sebuah kebijakan tentang resolusi untuk moratorium eksekusi hukuman mati yang tentunya akan berujung pada pemberian Maaf atau Abolisi/Grasi.

Bagi para abolist ini, hukuman mati sudah tidak relevan lagi untuk digunakan karena merupakan sebuah metode penghukuman konvensional yang berlaku di zaman atau era sebelum demokrasi atau perang dunia.

Hukuman Mati dinilai merupakan cara negara-negara yang berupaya menghukum musuh-musuhnya, baik musuh politik maupun musuh militer dari luar. Hukuman mati ini juga diberlakukan dalam hal ada perlawanan atau pemberontakan terhadap kekuasaan absolut yang sewenang-wenang.

Lebih jauh lagi hukuman mati ini dilakukan dengan cara-cara yang menyiksa atau merendahkan martabat manusia.

Kemudian berkembanglah teori untuk menghapus hukuman mati menjadi lebih rendah tingkatannya yakni dengan hukuman penjara dengan tujuan pembinaan dan mengembalikan seseorang pada komunitas masyarakat kecuali dalam hal tindak pidana berat, yakni penjara seumur hidup.

Bagi para pendukung penghapus pidana mati, hukuman mati tidak mempunyai relevansi yang kuat dengan upaya menurunkan angka kriminalitas atau kejahatan tersebut.

Para pegiat HAM di Indonesia misalnya menilai bahwa pemberlakuan hukuman mati di Indonesia sudah tidak relevan dengan upaya menimbulkan efek jera dan hukuman mati sendiri dinilai sangat melanggar HAM.

Contohnya adalah kejahatan Narkoba yang terus menerus ada dan meningkat sekalipun ada pengaturan terkait dengan hukuman mati dan eksekusinya terhadap pelaku kejahatan Narkoba yang tergolong produsen atau Bandar. Rehabilitasi menjadi salah satu solusinya.

Demikian pula terjadi pada tindak pidana korupsi, yang walaupun telah ada ancaman hukuman mati, tidak juga menurunkan angka kasus korupsi maupun budaya perilaku koruptif, sehingga memerlukan pendekatan berbeda.

Dalam hal program kejahatan terorisme, saat ini lebih dikedepankan pula program deradikalisasi, kontra-radikalisasi, dan peningkatan kesiap-siagaan nasional. Pendapat-pendapat ini muncul dan mengemuka di tengah pembahasan KUHP.

Teori Pemberlakuan Hukuman Mati

Tidak seluruh negara di dunia setuju untuk menghapus pidana mati. Terdapat negara-negara yang saat ini masih memberlakukan hukuman mati seperti di China, India, Amerika Serikat 2/3 negara bagian masih memberlakukan hukuman mati)[2], dan sebagian negara di Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Karakteristik di berbagai negara pun berbeda-beda.

Pendukung dari pemberlakuan hukuman mati ini berpendapat bahwa tindak pidana tertentu perlu diancam dengan hukuman mati.

Negara India contohnya berkembang pendapat masyarakat bahwa perlunya pemberlakuan pidana mati bagi pelaku kejahatan perkosaan.

Bahkan saat ini berkembang opini besar dari masyarakat di Afrika Selatan untuk mengembalikan hukuman atau pidana mati dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku di Afrika Selatan.

Di Amerika Serikat bahkan responden untuk tetap memberlakukan hukuman mati tetap tinggi (65%).

Preseden dalam Furman v. Georgia tidak lagi digunakan dalam dalam kasus Gregg v. Georgia[3] di tahun 1976 oleh the US Supreme Court, yang mengambil pandangan yang berlawanan dengan preseden terdahulu.

Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim dalam US Supreme Court berpendapat bahwa hukuman mati tidak melanggar Amendemen Kedelapan maupun Keempatbelas Konsitusi Amerika Serikat, sepanjang hukuman mati tersebut dituangkan dalam sebuah peraturan perundangan yang memastikan bahwa otoritas hukum (termasuk pengadilan) memiliki informasi, bukti, serta prosedur beracara yang memadai untuk sampai pada putusan mereka.

Pada saat putusan ini dijatuhkan, tingkat dukungan publik AS terhadap hukuman mati bagi pelaku kejahatan pembunuhan tertentu sedang naik kembali.

Keadaan ini dapat ditafsirkan bahwa di AS pun kuatnya pendapat publik ditangkap otoritas hukum sebagai sebuah refleksi social justice yang dikehendaki publik dan perlu dicerminkan baik dalam perundang-undangan maupun putusan pengadilan.

Di Indonesia juga berkembang di sebagian masyarakat tentang pentingnya ancaman hukuman mati terhadap pelaku kejahatan Narkoba, HAM Berat, Terorisme, dan bahkan Korupsi.

Masyarakat menilai bahwa tindak pidana tersebut sangat jahat dan merugikan masyarakat (mala perse), sehingga pengaturan dengan ancaman hukuman mati tetap diperlukan.

Walaupun saat ini telah ada perkembangan dengan eksekusi hukuman mati yang tidak menyiksa, menyengsarakan, atau menurunkan harkat dan martabat manusia.

Namun, pemberlakuan hukuman mati bagi pendukung hukuman mati merupakan hal yang penting dalam tujuan untuk mencegah dan menurunkan niat untuk melakukan tindak pidana tersebut.

Sama halnya dengan di Amerika Serikat, nampaknya keinginan tersebut dinilai sebagai implementasi sosial keinginan masyarakat.

Para retensionis ini juga berpendapat bahwa dalam Covenant on Political Rights, Convention Against Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, tidak sepenuhnya mengharuskan hukuman mati dihapuskan.

Karena yang menjadi tujuan utamanya adalah penghapusan terhadap metode pidana mati yang sangat menyiksa, kejam/sadis, dan merendahkan martabat manusia.

Hukuman mati menjadi salah satu cara untuk mencegah atau menurunkan niat pelaku kejahatan berat sehingga diharapkan dapat memberi efek jera.

Konvensi tersebut masih membuka kemungkinan pengaturan hukuman mati dalam hal kejahatan yang dianggap paling serius dan memakan banyak korban.

Filosofi Kondisional Pidana Mati

Dalam KUHP, terdapat upaya menempatkan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok namun diancamkan dengan persyaratan, sehingga masuk dalam sanksi pidana khusus atau alternatif. Pengaturan ini merupakan kompromi atau sebagai jalan keluar antara kaum retentionist dan abolist.

Hal ini mengandung arti bahwa pidana mati merupakan pidana perkecualian. Hakim harus memberikan pertimbangan yang sungguh-sungguh dan hati-hati sebelum menjatuhkan pidana mati, sebagaimana diatur dalam KUHP.

Perdebatan tentang pidana mati selalu berkisar pada alasan-alasan atas dasar ukuran-ukuran, perlindungan masyarakat dan sistem penyelenggaraan hukum pidana, pencegahan kejahatan, sifat dikriminatif dan kejam pidana mati, biaya yang lebih murah, sifat retributif, opini masyarakat yang pro dan kontra pidana mati dan sifat tidak dapat diubah pidana mati.

Apa yang terjadi dalam The Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime One the Treatment of Offenders, 1980 di Caracas, menjadi alasan tersendiri.

Berbagai delegasi melaporkan apa yang terjadi di negerinya baik dari perspektif yuridis maupun praktis.

Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 74 negara diperoleh data bahwa sekalipun sebagian besar tetap mempertahankan pidana mati, tetapi berbagai macam alat hukum diatur untuk lebih memanusiawikan pidana mati.

Hampir semua negara mempertahankan pidana mati memiliki persyaratan-persyaratan yuridis, yang mengatur hak-hak dari terpidana untuk minta peninjauan kembali, meminta pengampunan, perubahan pidana dan penangguhan pidana mati.

Hal ini kemudian memperoleh penguatan yakni dengan keluarnya Resolusi Sidang Umum PBB No. 35/172.

Pengaturan pidana mati dilakukan dengan alasan demi pengayoman masyarakat. Di samping pengaturan tentang tujuan pemidanaan tersebut, diatur pula hal yang strategis dalam pemidanaan yaitu pengaturan tentang pedoman pemidanaan.

Hal ini penting untuk menghindari disparitas pidana, yakni penjatuhan pidana yang berbeda-beda untuk tindak pidana yang sama, atau yang ancaman pidananya kurang lebih sama tanpa pertimbangan yang bisa dipahami, semata-mata atas dasar diskresi hakim.

Dengan pedoman pemidanaan tersebut tidak dimaksudkan adanya penjatuhan pidana yang seragam (parity of sentencing) tetapi penjatuhan pidana yang rasional (rational sentencing).

Dalam praktik teori kondisional seperti dalam KUHP, menilai bahwa hukuman mati dapat diberlakukan namun dengan syarat yang sangat ketat dan selalu menjadi ancaman dan jalan keluar paling akhir (last resort).

Pidana mati juga dapat dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan Narkoba yang merupakan sindikat atau Bandar, teroris, dan pelaku kejahatan HAM Berat.

Pidana Mati harus dicantumkan sebagai ancaman pidana dalam ketentuan materiil pasal tertentu.

Pada saat pembahasan, memang berkembang opini bahwa pidana korupsi juga dapat diancam pidana mati sehingga dinilai dapat memberi efek jera.

Masyarakat di Indonesia sepertinya lebih banyak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati terutama terhadap kejahatan Narkoba yang saat ini dinilai masif dan sangat merusak generasi bangsa.

Pendapat dari beberapa fraksi dalam Panja RUU KUHP pada saat itu, juga memandang bahwa pemberlakuan hukuman mati memang masih diperlukan namun memang membutuhkan syarat yang sangat ketat dan diatur secara tegas dalam ketentuan pidana.

Dalam KUHP pemberlakuan hukuman mati ini tidak hanya melihat jenis tindak pidana yang dilakukan tetapi juga faktor subyektivitas.

Sehingga pidana mati menjadi pilihan yang paling dihindari dengan melihat faktor pelaku seperti kesengajaan dan kesadaran.

Dengan begitu diharapkan pula bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh penegak hukum juga terhindarkan dalam hal kewenangan hakim untuk selalu menghindari Hukuman mati dalam penjatuhan putusan pidana.

Alhasil dalam KUHP saat ini, Pidana mati selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu (paling lama 20 (dua puluh) tahun) dan pidana penjara seumur hidup, sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 67.

Hal ini tercermin dalam pasal-pasal tertentu dalam Buku II KUHP. Lebih lanjut, Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 Ayat (1).

Mekanisme pemberian masa percobaan diatur dalam Pasal 100 dan 101 yang selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tersendiri.

Namun yang penting untuk dicatat di sini adalah juga pertimbangan hakim, yang mana harus memuat pidana mati dengan masa percobaan dalam putusan hakim.

Selanjutnya mekanisme penilaian pada masa percobaan diatur dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung.

Bilamana tidak ada dalam putusan hakim, maka seorang terpidana memiliki hal untuk memohon grasi pada Presiden dengan persyaratan tertentu, sebagaimana mekanisme yang telah ada saat ini.

Pengaturan Pidana Mati Dalam KUHP

Pasal 67

Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 98

Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.

Pasal 99

(1)  Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

(2)  Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan Di Muka Umum.

(3)  Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang-Undang.

(4)  Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Pasal 100

(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:

a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau     

C. ada alasan yang meringankan. 

(2). Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. 

(3). Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

(4). Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5). Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang  terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101 

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Penutup

Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa pengaturan Pidana Mati dalam KUHP pada saat ini dapat dinilai sebagai jalan yang terbaik untuk mengakomodasi seluruh kepentingan dan pandangan tentang relevansi Hukuman Mati.

Pasal Pidana Mati yang diatur dalam Pasal 67, 98, 99 100, 101 KUHP. Pidana Mati lebih tepat jika dikeluarkan dari kelompok Pidana Pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP.

Pidana mati diatur secara khusus atau bersyarat sebagaimana menjadi pidana yang selalu diancamkan secara alternatif.

Ketentuan untuk mengatur pidana mati memang diperuntukkan untuk tindak pidana khusus (baik sangat serius maupun luar biasa) yang ditempatkan dalam bab khusus dan tetap dianggap sebagai jenis sanksi pidana yang paling berat.

Namun begitu, KUHP tetap memperhatikan filosofi restoratif dan reintegrasi sosial yang mencerminkan karakter pemidanaan yang lebih manusiawi. KUHP bertujuan untuk memperhatikan faktor-faktor subyektif, objektif, dan tujuan pemidanaan itu sendiri.

KUHP ingin meninggalkan sifat kolonialisme dan otoritarian yang tercermin dalam KUHP warisan Pemerintah Kolonial Belanda.

Oleh sebab itu, KUHP memberi kesempatan bagi seseorang untuk memperbaiki diri dan berperan lebih baik untuk masyarakat, hal ini sejalan dengan nilai-nilai agama dan HAM yang sangat dijunjung tinggi di Indonesia.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler