JAKARTA -- Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang membawa materi pidato Ketua Umum PDI Perjuangan seolah-olah sebagai pembenar kebijakan menaikkan harga BBM saat ini, dinilai sungguh amat keliru. "Menunjukkan tidak adanya pemahaman soal intractable policy dan juga etika politik. Mari kita simak dan dalami teorinya Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Implementing Public Policy)," kata Anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI Perjuangan, Dewi Aryani, Senin (19/3) di Jakarta.
Seperti diketahui, dalam sambutannya di acara silaturahmi kader Partai Demokrat di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Minggu, 18 Maret 2012 Anas Urbaningrum membawa-bawa nama Megawati Soekarnoputri, terkait masalah BBM. Anas menegaskan, bahkan kebijakan kenaikan harga BBM ini, turut didukung oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. "Mantan Presiden Megawati juga menyampaikan yang realistis adalah menaikkan harga BBM," ujarnya.
Sontak saja, ini membuat kader PDIP berang. Dewi menegaskan, sebelum memberikan pernyataan harusnya pahami dulu situasi saat ini seperti apa? "Jelas-jelas pemerintah sedang mencoba memaksakan kehendaknya kepada rakyat, yang dalam teori kebijakan publik disebut dengan 'Intractable Policy'. Yaitu policy atau kebijakan yang pada dasarnya tidak mungkin dijalankan atau diimplementasikan," ujar Dewi.
Menurutnya, tingkat intractability sebuah kebijakan pada masa lalu dan kini sangat berbeda. Sehingga tidak bisa membandingkan kebijakan secara parsial dalam tempus yang berbeda.Apalagi jika dimaknai sepotong-potong dan dipolitisasi. Yang terjadi saat ini adalah kebijakan yang sulit untuk diimplementasikan harusnya menjadi analisa pemerintah. Harus disadari semuanya terkondisikan karena buruknya integritas pelaksana, atau implementor, karena tingkat kepercayaan masyarakat yang berada dalam posisi titik terendah. "Karena peralihan subsidi BBM yang tidak mungkin mengenai sasaran," katanya.
Dewi menjelaskan saat ini pemerintah harus sadar sedang berada pada tingkat sukarnya pengendalian masalah yang tidak mungkin mencapai hasil kebijakan. "Terbukti kebijakan BBM selalu gagal mencapai ultimate goal," ujarnya.
Penyebabnya baik kesukaran teknis, keragaman perilalu korup, susahnya mengidentifikasi kelompok sasaran, kesulitan menstrukturisasi proses implementasi kebijakan BBM termasuk dukungan publik yang rendah.
"Kebijakan yang dilaksanakan dalam kontek dukungan publik yang rendah bukan hanya akan menyebabkan sulitnya implementasi, tapi justru akan jadi back fire bagi pemerintah," tegasnya. "Banyak pemerintahan jatuh karena intractability policy. Pahami benar bahwa Kebijakan adalah aktivitas intelektual dalam proses politik," tambahnya.
Dia mengatakan, tidak bisa hanya karena interest politik yang tidak berdasar pada perhitungan matematis rasional, dimana hal ini tidak dilaksanakan pemerintah.
"Jika kadar aktivitas intelektualnya sangat rendah, tetapi kandungan politiknya sangat tinggi, maka resistensi publik hanya menunggu waktu," katanya.
Tidak ada keterbukaan dalam pengelolaan kebijakan sektor energi. "Perhitungan biaya produksi minyak kita tidak pernah dijelaskan, rakyat dihadapkan pada kenyataan pemaksaan kehendak dengan dalih yang tidak lagi rasional", tandas Dewi.
Jika dikaitkan dengan etika politik, kata dia, bahwa setiap pejabat politik terikat dengan public previlege. Maka harus disadari semua perkataan dan tindakan pejabat publik maupun pejabat politik memiliki implikasi besar bagi jalannya pemerintahan. Pernyataan politik dalam kacamata etika politik harus didasarkan pada data dan informasi yang valid, dasar hukum yang jelas, dan analisis yang rasional, sehingga semua perdebatan dan kritik harus berada dalam konteks dan konten yang bisa dipertanggungjawabkan. "Bolanya ada di pemerintah, jika bisa menyuguhkan realitas perhitungan biaya di segala sektor termasuk penerimaan negara yang jujur, mari kita jelaskan bersama-sama kepada rakyat. Itulah politik beretika," kata Dewi. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gatot Kandidat Tunggal PKS
Redaktur : Tim Redaksi