Pilih Amerika atau Tiongkok

Rabu, 04 April 2018 – 11:44 WIB
Dahlan Iskan. Ilustrasi: Jawa Pos

jpnn.com - Satu dari ratusan inspirasi yang saya peroleh dari Amerika adalah: jangan lagi gunakan mesin ketik. Gunakan komputer.

Rombak. Minggu itu juga. Sepulang dari Amerika. Jadilah Jawa Pos koran pertama di Indonesia yang wartawannya tidak lagi menggunakan mesin tik.

BACA JUGA: Industri Baja Lokal Kewalahan Hadapi Gempuran Tiongkok

Pada zaman yang Jawa Pos masih susah. Yang belum cukup punya uang. Yang gaji wartawannya masih di bawah UMR.

Saya paksakan. Cari komputer murahan. Saya masih ingat istilahnya: komputer jangkrik. Tidak pakai hard disk. Yang untuk save naskah harus pencet ‘control KD’. Tiga puluh enam tahun yang lalu. Hasil rakitan anak muda bernama Minto. Dari Scomtec Surabaya. Orangnya masih hidup saat ini.

BACA JUGA: Mengapa Tiongkok Melulu?

Maka sejarah komputerisasi di ruang redaksi itu dimulai oleh koran daerah nan kecil di Surabaya. Oleh inspirasi Amerika. Bukan oleh koran-koran besar nan kaya dari Jakarta.

Berkat inspirasi dari Amerika itu pula puluhan inovasi saya lakukan. Sering membuat ‘yang pertama’ dalam sejarah pers Indonesia. Yang pertama terbit berwarna. Yang pertama terbit tujuh kali seminggu.

BACA JUGA: Tiongkok Siap Resmikan Jembatan di Atas Laut China Selatan

Kerja seperti orang gila. Tidak memikirkan kesejahteraan. Tidak memikirkan kesehatan. Membuat Jawa Pos menjadi raksasa. Kaya raya. Sampai saat saya meninggalkannya. Secara total. Sekarang ini.

Waktu itu Tiongkok masih sangat miskin. Lebih miskin dari Indonesia. Cerita-cerita dari Tiongkok adalah cerita tentang kemiskinan, keruwetan, sepeda butut, kediktatoran, kekejaman komunisme dan kekumuhan kota-kotanya dan orang-orangnya dan kebiasaan meludahnya dan kejorokan WC-WC-nya. Semua bersumber dari kantor berita barat.

Beberapa teman Tionghoa saya sudah sering ke sana. Membenarkan semua kisah kemiskinan itu.

Dia sering terpaksa membagikan baju bekas di sana. Di kampung halaman leluhurnya. Dianggap orang Indonesia yang kaya.

Dua tahun kemudian, 1986, barulah saya ke Beijing. Untuk pertama kalinya. Memimpin tim nasional basket yunior ke kejuaraan Asia.

Baru kali itulah saya melihat Tiongkok. Dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa keadaan ‘Tiongkok benar-benar lebih miskin dari Indonesia’.

Tim basket itu tinggal di sebuah hotel bernama Mudan. Nama bunga.

Di halaman hotel itu berceceran onggokan batu bara. Dan onggokan boiler tua. Untuk masak air panas. Untuk keperluan hotel.

Jalan-jalan raya Beijing terasa lebar dan lengang. Hanya sesekali ada mobil lewat. Itu pun mobil pejabat. Belum ada orang yang punya mobil di sana.

Di kanan kiri jalan yang lapang itu banyak orang bersepeda. Seperti air bah. Berjubel. Dengan suara-suara ting-tong. Bel sepeda yang ribut.

Ke mana-mana orang naik sepeda. Saya putuskan untuk juga beli sepeda. Yang murah. Yang penting ada belnya.

Bisa untuk ke mana-mana di Beijing. Selama 10 hari. Misalnya: ke pasar. Beli buah.

Di pasar itu pula saya kaget: tidak bisa beli buah. Uang yuan yang saya miliki tidak laku. Saat lembaran yang masih baru itu saya sodorkan penjual buahnya seperti takut-takut. Takut menyentuhnya. Seperti takut ketahuan oleh intel negara.

Ternyata rakyat tidak boleh memiliki uang yuan. Tidak boleh bertransaksi dengan uang yuan. Kalau ketahuan ditangkap. Ada uang tersendiri untuk rakyat Tiongkok. Bernama renminbi.

Saya melihatnya dipegang banyak orang. Di pasar itu. Tidak terlalu jelas. Tidak ada yang warnanya masih baik.

Renminbi itu berpindah-pindah tangan dalam keadaan sangat lusuh. Dan kumal. Ternyata yuan yang seperti saya punya hanya untuk orang asing. Yang hanya bisa dipakai berbelanja di tempat-tempat tertentu.

Saat itulah saya tahu: ada dua mata uang yang berlaku di suatu negara.

Sehari sebelum pulang saya berpikir: saya apakan sepeda ini. Saya putuskan: saya berikan ke anak muda yang kelihatan miskin sekali. Yang bekerja di bagian kotor di hotel itu.

Saya belum bisa bahasa mandarin sama sekali. Tidak pula tertarik untuk mempelajarinya. Bahasa aneh. Tulisan aneh. Ruwet.

Saya pilih pakai bahasa isyarat. Sambil menyodorkan sepeda kepadanya. Dia menghindar. Takut. Menolak. Takut kena urusan polisi.

Menerima sepeda dari orang asing. Atau memiliki sepeda tanpa surat-surat. Saat itu memiliki sepeda butut pun harus ada suratnya.

Akhirnya sepeda itu saya taruh di dekatnya begitu saja. Saya copot belnya. Saya bawa pulang ke Surabaya. Untuk kenangan. Dan seperti umumnya barang kenangan yang saya miliki umurnya pun tidak panjang. Hilang. Lupa. Ditaruh di mana. Atau diminta siapa.

Dengan gambaran Tiongkok seperti itu idola saya tetap: Amerika. Negeri inspirasi. Negeri mimpi. Negeri menakjubkan.

Sejak itu tiap enam bulan saya harus ke Amerika. Untuk shopping. Shopping ideas. Belanja ide. Belanja inspirasi. Dalam hati: semoga kelak anak-anak saya bisa sekolah di Amerika.

Lho, mana jawaban atas pertanyaan di Unpad itu? Tentang mengapa sering menulis tentang Tiongkok itu? Maafkanlah. Mungkin besok. Mungkin lusa. Atau di lain hari. Kapan-kapan.(*****)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemilu Era Big Data


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler