Pilih Bela Penguasa, Polri Kehilangan Citra

Jumat, 29 Juni 2012 – 18:41 WIB

JAKARTA - Tingkat kepercayaan masyarakat pada Kepolisian RI kian merosot. Kecenderungan kepolisian yang kini lebih tunduk pada kepentingan penguasa dibanding masyarakat, dinilai menjadi sebab Korps Bhayangkara itu kian buruk citranya.

Hal tersebut diungkapkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam rangka evaluasi kinerja Polri jelang peringatan Hari Bhayangkara. "Polisi sudah ditundukkan lewat politik. Kalau sudah ada kepentingan politik dan kekuasaan yang menguasai kepolisian mereka akan lebih susah bertindak untuk menyelesaikan kasus-kasus," ujar aktivis KontraS, Papang Hidayat dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Jumat (29/6).

Ia mencontohkan lambatnya penanganan kasus yang melibatkan kepentingan politik maupun pejabat tertentu. Sebut saja, kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga menyeret sejumlah nama seperti politisi Partai Demokrat, Andi Nurpati, Politisi Hanura, Dewi Yasin Limpo, mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi dan puterinya, Neshawati.

Beberapa nama tersebut seolah hilang begitu saja, meski beberapa kali disebut dalam persidangan. Polisi beralasan, tak punya cukup bukti dalam kasus tersebut. Pada akhirnya, kasus surat palsu MK ini hanya menjerat mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan dan mantan panitera MK, Zainal Arifin Hoesein.

Masyhuri telah menjalani vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara nasib Zainal masih menggantung. Berkas perkaranya masih bolak-bolik kejaksaan dan Bareskrim.

Sedangkan Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai polisi juga selalu ragu-ragu dalam penetapan status hukum terhadap pejabat tertentu. Pada kasus pemalsuan surat Pemilu 2009 yang diduga melibatkan mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Abdul Hafiz Anshary, polisi justru berusaha menutupi status Hafiz yang telah menjadi tersangka.

Padahal Kejaksaan Agung sudah jelas menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Bareskrim dengan tersangka Hafis. Hal yang sama juga terjadi ketika mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari menjadi tersangka kasus korupsi di Kementerian Kesehatan. Polisi beberapa kali menyangkal Siti telah menjadi tersangka. Sementara, Kejaksaan Agung dengan mantap menyebut telah memperoleh SPDP atas nama Siti.

"Polisi kalau mengurus masyarakat kecil yang tidak punya akses hukum, selalu lebih cepat. Tapi kalau sudah berhadapan dengan kekuasaan, selalu seperti itu," terang Haris.

Tak hanya pada kekuasaan, polisi pun lemah ketika menghadapi ormas-ormas mayoritas. Salah satunya dalam mengatasi ormas yang selama ini terkenal anarkis seperti Front Pembela Islam (FPI). Akibatnya kaum minoritas harus menelan kekecewaan karena sejumlah pembiaran yang dilakukan polisi terhadap tindakan ormas-ormas garis keras.

"Polisi juga takut pada TNI. Bahkan ketika ada dugaan kuat bahwa peristiwa geng motor dulu dilakukan anggota TNI, polisi tidak punya cukup taring untuk menindaknya,"sambung Haris.

Ia menyatakan reformasi dalam tubuh Polri masih panjang dan membutuhkan komitmen kuat. Masyarakat harus membantu Polri untuk mewujudkan kerja Polri yang mengayomi dan melindungi warga Indonesia tanpa pandang bulu.

"Jika Polri secara institusional membiarkan dirinya di bawah kontrol kepentingan subjektif eksekutif semata, maka Polri menjadi bagian dari ancaman demokrasi di negara ini," tegasnya.(flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... FITRA Beber Potensi Mark Up Proyek Al Quran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler