Pilih Tinggal di Rumah Kayu Bikinan Para Tahanan

Kamis, 28 Maret 2013 – 14:07 WIB
Raja Larantuka Don Andre III Marthinus DVG dan Permaisuri Maria Ronny Naema di ruang tamu rumahnya. FOTO: DOAN WIDHIANDONO / JAWA POS
Larantuka, sebagaimana daerah-daerah lain di Nusantara, masih punya raja yang dituakan. Raja Larantuka sekarang adalah Don Andre III Marthinus DVG. Tapi, dia tidak tinggal di istana, melainkan menempati rumah papan yang sederhana.

-----------------------------------------------
DOAN WIDHIANDONO
, Larantuka
-----------------------------------------------------

RUMAH itu masih terlihat seperti separo jadi. Dinding temboknya hanya setinggi perut orang dewasa. Tak seperti rumah lain, dinding tersebut masih berwujud bata telanjang. Hanya sapuan cat yang sedikit menyamarkan penampilannya.

Di atas dinding itu terpasang papan-papan yang menjulang hingga menyangga atap. Ketika diraba, terasa sekali betapa dinding papan tersebut masih kasar. ’’Tapi, ini rasanya pedas. Rayap tidak mau makan,’’ kata Raja Don Andre III Marthinus DVG saat menemui Jawa Pos, Selasa (26/3). Tangan sepuhnya mengetuk-ketuk dinding papan rumahnya itu.

Don Marthinus –sapaannya di kalangan warga Larantuka– tak tahu pasti jenis kayu yang dijadikan bahan rumahnya tersebut. ’’Ini kayu naungan pohon kopi,’’ ujarnya. Kalau basah, kayu itu bisa lembek dan mudah lapuk, seperti kayu randu. Tapi, kalau kering, ia cukup kuat.

Sesaat, pria kelahiran Larantuka, 23 Juli 1947, itu terdiam. Mata sepuhnya menyapu langit-langit ruang tamunya. Ada dua lubang besar di situ. Bekas pesta rayap-rayap rakus. ’’Aduh. Kalau itu, saya tidak tahu. Katanya, itu kayu ngando yang rayap tidak mau. Tapi, eh, itu ada rayap juga, to,’’ ujarnya.

Meski tinggal di rumah yang bersahaja, Don Marthinus bukan orang kebanyakan. Dia punya garis trah darah biru di Larantuka. Ayahnya adalah Don Lorenzo III DVG yang memerintah pada 1937–1957.

Akhir pemerintahannya ditandai dengan penyerahan kedaulatan kerajaan kepada Daerah Swatantra II Larantuka (kini disebut Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur), Nusa Tenggara Timur (NTT).

Don Lorenzo III, yang dalam bahasa daerah dinamai Raja Nuha Usi, punya 10 anak. Lima putra dan lima putri. Don Marthinus adalah anak kelima. Dalam tata urutan warisan takhta, dia nomor tiga. Sepeninggal Don Lorenzo III pada 28 September 1982, seharusnya yang jadi raja adalah kakak sulung Don Marthinus. Tapi, sang kakak juga meninggal.

’’Kerajaan sempat vakum kekuasaan. Kakak saya yang nomor dua malah mengamanatkan saya untuk menggantikan dia,’’ katanya. Maka, jadilah Don Marthinus sebagai raja Larantuka sejak 12 tahun silam.

’’Tapi, Bapak Raja tidak tinggal di istana. Dia malah tinggal di gubuk ini, to,’’ timpal Maria Ronny Naema DVG, istri Don Marthinus, lantas tertawa lepas.

Yang disebut sebagai istana pun bukan bangunan bergaya kastil layaknya Buckingham Palace di Inggris. Bukan pula berwujud pendapa agung sebagaimana rumah raja-raja Jawa.

Istana Raja Larantuka adalah rumah tua yang dibangun pada 1937, berlantai semen, dan beratap seng. Di bagian belakang rumah itu menjulang Ile (Gunung) Mandiri, kebanggaan warga Larantuka. Di depannya, tampak laut yang membatasi Larantuka dengan Pulau Adonara.

Di depan istana itu ada patung Bunda Maria berjubah biru. Ia memandang ke lautan lepas sembari menggendong Yesus yang masih anak-anak. Itulah patung Maria Bintang Lautan (Stella Maris).

Di bawah patung itu ada prasasti dengan kalimat ejaan lama yang berbunyi: Santa Maria, Renya Larantuka, Lindungkanlah Kami.

’’Sejak dahulu, Kerajaan Larantuka memang sudah dipersembahkan kepada Bunda Maria. Kami, para raja, hanya menjadi pelaksana duniawi,’’ ungkap Don Marthinus.

Larantuka memang sangat terasa sebagai bekas jajahan Portugis. Agama Katolik begitu merasuk dalam sendi-sendi kemasyarakatan mereka. Tak heran, raja-rajanya pun selalu beragama Katolik.

Mereka memerintah dengan memegang teguh keimanan serta perilaku hidup Katolik yang sederhana. Karena itu, setidaknya tiga kali Kerajaan Larantuka diserahkan di bawah ’’kepemimpinan’’ Bunda Maria.

Pertama, saat pemerintahan Don Gaspar I DVG pada 1665. Lalu, ketika Don Lorenzo I memerintah pada 1887. Juga, era Don Lorenzo III pada 1954. Mereka secara simbolis menyatakan menyerahkan kekuasaan kepada Bunda Maria. Mereka letakkan tongkat kerajaan yang berkepala emas, mahkota emas, sabuk bertakhta berlian, serta rosario (tasbih) emas di bawah kaki patung Bunda Maria.

’’Jadi, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak hidup sederhana,’’ kata Don Marthinus.

Dia mengakui bahwa sejatinya dirinya bisa tinggal di istana. Tapi, dia masih belum mau menjalankannya.

Sebab, di istana masih tinggal Dona Martina Kanena Ximenes da Silva, istri Don Lorenzo III, yang kini usianya hampir seabad. ’’Juga, masih ada istri kakak-kakak saya,’’ katanya.

Biasanya, Don Marthinus menerima tamu di istana. Tapi, akhir-akhir ini dia tak mau. ’’Mama Dona sedang sakit. Masak di dalam ada ibu sakit, lalu saya terima tamu. Lebih baik saya tinggal di gubuk ini dulu,’’ ungkapnya.

***

Gubuk tempat tinggal raja Larantuka itu bukannya tidak menyimpan sejarah pribadi. Ada kisah yang terus dikenang Don Marthinus.

Pada 1997, setelah pensiun dari jabatan salah satu kepala seksi di Dinas PU NTT, Don Marthinus pulang kampung.

Ternyata, dia langsung dimintai tolong oleh Dinas Tenaga Kerja dan Rumah Tahanan Larantuka untuk melatih para tahanan agar mempunyai keahlian.

Kala itu ada sembilan tahanan yang sudah punya bakat menjadi tukang. Ada yang jadi tukang batu, ada yang tukang kayu. ’’Mereka saya latih langsung bikin rumah. Ya, ini jadinya,’’ kata Don Marthinus sembari mengelus dinding ruang tamu.

Salah seorang tahanan yang punya bakat memahat memberikan hadiah istimewa. Yakni, semacam gebyok mini untuk pintu masuk kamar Don Marthinus. ’’Itu hasilnya. Dari kayu jati, khas Jepara. Saya gambarkan polanya, dia yang memahat,’’ ungkap Don Marthinus lalu menunjuk pintu kamarnya.

Kini meski sudah menjadi raja, raja delapan anak itu masih begitu sayang pada rumah berlantai semen kasar tersebut. Rumah yang sebersahaja si empunya rumah. J

angankan mengenakan pakaian kebesaran raja, siang itu Don Marthinus mengenakan batik lengan pendek, celana berwarna khaki, plus sandal jepit biru.

Tapi, dia bukannya tak punya baju kebesaran sebagai raja. Dalam pertemuan resmi, misalnya forum silaturahmi raja-raja NTT, Don Marthinus mengenakan pakaian kebesaran. Mahkotanya adalah destar dari kain tenun ikat, sabuk kain, dan kalung medali biru.

’’Tidak pakai emas. Tidak tahu sekarang emasnya pada lari ke mana,’’ ujar raja ke-23 Larantuka itu lantas tertawa.

Dalam banyak hal, peran raja di NTT memang masih kuat. Misalnya, dalam menyelenggarakan upacara adat hingga merampungkan sengketa tanah adat. Namun, di Larantuka, peran raja justru begitu terasa dalam bidang kerohanian.

Raja, misalnya, juga menjabat Presidente Confreria Reinha Rosari atau serikat persaudaraan Ratu Rosari. Itu adalah persaudaraan awam (non-biarawan) yang mengabdikan diri kepada Bunda Maria sebagai pelindung Larantuka.

Anggotanya harus berkeluarga dan diseleksi ketat untuk melihat kualitas keimanan serta hidup mereka. Di seluruh Keuskupan Larantuka, jumlah anggota confreria lebih dari 1.600 orang.

Mereka punya peran penting dalam berbagai upacara adat dan religius di Larantuka. Misalnya, dalam prosesi Semana Santa (Pekan Suci) yang kini sedang terjadi di kota ujung timur Pulau Flores tersebut. Anggota confreria, misalnya, bertugas memimpin arak-arakan pada puncak acara Hari Jumat Agung (29/3).

Mereka juga membersihkan patung Tuan Ma (Bunda Maria), Tuan Ana (peti perlambang sengsara Yesus), dan Tuan Menino (Patung Kanak-Kanak Yesus). ’’Ini tugas kami sekarang di kerajaan. Membaktikan hidup rohani demi Bunda Maria,’’ tegas Don Marthinus.

***
Puncak acara Semana Santa adalah tradisi yang sudah berumur lebih dari 500 tahun. Ia adalah perkawinan budaya antara agama Katolik dan budaya Portugis, Romawi, hingga Larantuka.

Selain itu, tradisi kerajaan tersebut kental dengan budaya Portugis. Misalnya, nama dan gelar. Setiap keturunan bangsawan Larantuka memakai nama Don kalau laki-laki dan Dona kalau perempuan. Mereka juga memakai gelar Diaz Vieirea de Godhino (DVG).

Rasanya, Don Marthinus cocok memakai gelar itu. Kulitnya putih, hidungnya mancung, rambutnya lurus. Seperti orang mediterania. ’’Tapi, saya benar-benar asli Larantuka. Mungkin ini anugerah Tuhan saya diberi kulit seperti orang Portugal,’’ ujarnya lalu tertawa. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Preman Baru Penguasa Keamanan Kafe

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler